Serentak Kepala Daerah

Serentak Kepala Daerah

--

Oleh: Armin Mustamin Toputiri

“Seseorang yang ingin memimpin orkestra, harus bersedia membelakangi penonton”

Menyatakan kalimat itu Max Lucado, penulis buku-buku terlaris asal San Antanio Texas. “A man who wants to lead the orchestra, must turn his back on the crowd”.

Lucado, mengingatkan saya, sekian hari lalu ada 961 kepala daerah, yang serentak dilantik Presiden RI Prabowo di pelataran Istana Negara di Jakarta. Sejak resmi memangku jabatan, para kepala daerah (tanpa wakil) itu, belum pernah pulang kampung. 

Usai mengikuti “retret”, orientasi semi militer -- misal Ospek mahasiswa baru -- hari ini meninggalkan Akmil TNI di Magelang. Lalu, serentak pulang ke daerah masing-masing. Jadi sosok konduktor, memimpin orkestra. 

Pemimpin itu, idialnya seperti kata Lucado, konduktor orkestra yang tak menghadap penonton. Tak berharap keplok, riuh puja puji tepukan tangan. Justru fokus menghadapi bawahan, demi bersesama memainkan musik mutu tinggi. Beda-beda “tufoksi”, tapi satu irama permainan.

Orang bijak berkata; “bukanlah pujian membuahi karya, tapi karyalah yang berbuah pujian”. Makanya, "tunjukan karyamu, bukan gayamu! Tampilkan fungsimu, bukan gengsimu!". Kaisar Prancis, Napoleon Boneparte berkata; “pemimpin adalah pemimpi, sesosok pedagang harapan”.

Ratusan kepala daerah yang kita pilih akhir 2024 lalu, para pencatat sejarah kali pertama di republik ini. Serentak dipilih, serentak dilantik presiden, di Jakarta pula. Serentak ikut “retret”, pulang ke daerah juga serentak. Dan tentu, memulai debut kepemimpinan, juga cara serentak.

Jika demikian, besok ataukah lusa, di manapun bandara ibukota provinsi di republik ini, bakal serentak dikepung orang-orang daerah. Beramai, ramai menyambut kedatangan pemimpin baru mereka. Tentu saja, didominasi pendukung. Tak kecuali, para pejabat daerah masing-masing. 

Maklumilah, itu euforia pendukung. Juga, bagi pejabat daerah, "so ngana belom tulis, kita su-baca". Itu risiko kultur birokrasi kita, tak menganut “merid system”. Pula, andai ada terselip bukan pendukung. Wajar, itu ampas. Impas pertarungan politik. Ubahnya penumpang kapal Titanic segera karam, berebut pelampung.

Alkisah, sebulan pasca KPU ketok palu pasangan pemenang Pilkada. Di satu daerah, si kepala daerah terpilih, pidato syukuran di posko pendukung. “Yang tak mendukung saya, jauh-jauh. Usah mendekat. Saya ini, tau siapa mendukung saya, siapa tidak”, desak si kepala daerah.

Video rekaman pernyataan si kepala daerah, dibubuhi narasi “narsis” sang pendukung, melintas di akun medsos saya. Saya tahu, kenal, dekat kepala daerah itu. Dia adik saya, ulang saya mengingatkan. “Pemimpin terpilih, sendirinya berakhir sebagai pemimpin pendukung. Gilirannya, pemimpin seluruh rakyat!”.  Harap makhfum, teguran saya belaka retorika semata.

Sekian kali, saya pernah melewati pertarungan politik, tak lebih kurang serupa. Dalih retorik itu, bisa diucap, tak semudah diterapkan. “Coba tetap tersenyum, sekalipun rasanya pahit”. Hanya petarung politik sejati, pemilik “track record”, jam terbang tinggi matang menitihnya. 

Nelson Ralihlahla Mandela, tokoh pergerakan anti rasisme “apartheid” di Afrika Selatan. Gigih menggerakkan massa, menentang kolonialisme kulit putih yang membelah perbedaan suku dan warna kulit. 

Sumber:

Berita Terkait

1 bulan