PHK Massal di Tubuh Pemerintahan, Potensi Picu Krisis Sosial

Cover Harian Disway Sulsel edisi Kamis, 5 Juni 2025.--
DISWAY, SULSEL - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan tenaga honorer di lingkup Pemerintahan menuai polemik.
Teranyar, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan merumahkan 2.017 tenaga honorer terhitung sejak 1 Juni 2025.
Sebelumnya, Perusahaan Umum Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar, juga melakukan PHK bertahap terhadap kurang lebih 200 pegawai kontraknya.
Gelombang PHK ini dinilai bakal menimbulkan dampak ekonomi serius.
Ekonom dari Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Sutardjo Tui, menyebut PHK massal tersebut bisa memicu efek domino, mulai dari meningkatnya angka pengangguran hingga munculnya gejolak sosial.
Menurut Sutardjo, imbas dari kebijakan tersebut tidak bisa dianggap enteng.
“Kalau kita bicara PHK, itu sebenarnya adalah pilihan terakhir bagi sektor swasta. Pemerintah, secara umum, sebenarnya tidak melakukan PHK dalam pengertian formal, karena setiap tahun mereka tetap menerima tenaga kerja melalui berbagai skema, seperti PKW dan lain-lain,” ujarnya, Rabu, 4 Juni 2025.
Sutardjo memberi gambaran hitungan ekonomi dari kebijakan tersebut. Bila terdapat 2.000 honorer diberhentikan di lingkup Pemprov dan 400 di PDAM, totalnya 2.400 orang. Jika rata-rata penghasilan mereka Rp3 juta per bulan, berarti ada Rp7,2 miliar per bulan yang hilang dari perputaran ekonomi lokal.
“Kalau misalnya dia punya anak dua, istri satu, jadi tiga orang yang ikut terdampak. Jadi menjadi 9.000. Kalau 3.000 (rupiah) dikalikan 3.000 (orang), itu Rp12.000, loh, itu. Rp12.000 itu tidak punya pendapatan. Kalau dia tidak punya pendapatan, juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi,” paparnya.
Menurutnya, hilangnya pendapatan menyebabkan masyarakat tidak lagi melakukan aktivitas jual beli, yang pada akhirnya menggerus pendapatan daerah.
“Kalau tidak ada transaksi jual beli, berarti tidak ada PPN-nya. Itu mempengaruhi PAD. Kalau tidak punya pendapatan, juga tidak punya penghasilan. Berarti tidak ada PPh-nya. Itu panjang dia punya cerita,” lanjutnya.
Ekonomi yang lesu, menurutnya, akan membuka jalan pada masalah yang berujung pengangguran dan kemiskinan. Ia menyebut kemiskinan sebagai pemicu langsung dari meningkatnya angka kriminalitas dan ketidakstabilan sosial.
“Kalau miskin terjadi, itu terjadi gejolak sosial. Gejolak sosial itu berdampak padat, naiknya tingkat kriminal. Itu mahal bayarnya. Ada orang bunuh diri karena tidak makan, ada orang tawuran. Atau biasanya kalau istilah di sini kan, mendingan mati berlumuran darah daripada mati tidak makan,” terangnya.
Sutardjo menilai seharusnya pemerintah tidak serta-merta menghentikan para tenaga honorer tanpa memberikan solusi konkret.
Sumber: