Paradoks Energi Bersih: Surga Dikeruk Demi Baterai

Ahmad Syafii Hafid, Ketua Umum Pikom IMM Faperta Unismuh Makassar.--
Oleh: Ahmad Syafii Hafid, Ketua Umum Pikom IMM Faperta Unismuh Makassar
Di ufuk timur Nusantara, mentari terbit menyinari gugusan pulau yang tak hanya memesona, tapi juga mengandung harapan bagi dunia yang tengah mengejar energi bersih.
Di balik gemerlap teknologi kendaraan listrik global, tersimpan ironi yang memilukan: alam yang disebut surga, perlahan berubah menjadi ladang luka. Nikel, sang logam mulia untuk masa depan ramah lingkungan, justru hadir sebagai sumber petaka bagi bumi yang selama ini memberinya kehidupan.
Di balik gemerlap industri kendaraan listrik dunia, yang kini tengah berlomba menuju masa depan ramah lingkungan, terdapat realitas yang kelam dari tanah air kita sendiri.
Indonesia, yang disebut-sebut sebagai lumbung nikel dunia, kini menghadapi dilema besar: bagaimana menjadi tulang punggung transisi energi global tanpa mengorbankan lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat lokal yang selama ini menjaga keseimbangan ekosistem.
Indonesia, negeri dengan cadangan nikel terbesar di dunia, kini berada di persimpangan sejarah. Apakah kita akan dikenang sebagai penyumbang utama dalam transisi energi global? Atau justru sebagai bangsa yang membiarkan harta alamnya dikuras hingga tandas, meninggalkan jejak kerusakan yang tak terpulihkan?
Logam nikel memang menjadi kunci dalam produksi baterai kendaraan listrik. Permintaannya meningkat tajam, seiring ambisi negara-negara maju dalam mencapai target emisi nol bersih.
Namun, narasi besar tentang “green energy” ini menjadi ironi saat kita menengok dampak nyatanya di lapangan. Di berbagai wilayah Indonesia, nikel justru hadir sebagai pemicu konflik, kerusakan lingkungan, hingga pemiskinan struktural.
Raja Ampat selama ini dikenal sebagai salah satu kawasan ekowisata paling menakjubkan di dunia. Dengan lebih dari 1.500 pulau kecil dan keanekaragaman hayati laut tertinggi yang pernah tercatat secara ilmiah, wilayah ini ibarat permata Nusantara yang tak ternilai.
Namun kini, keindahan tersebut tengah diambang kehancuran. Aktivitas pertambangan nikel secara perlahan merayap masuk, menodai keharmonisan ekologi yang telah terjaga selama ribuan tahun.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru-baru ini menyegel empat lokasi tambang nikel di Raja Ampat, termasuk milik PT Gag Nikel. Penyegelan ini merupakan buntut dari temuan pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan dan pengelolaan pulau kecil.
Aktivitas pertambangan di pulau kecil seperti Pulau Gag dan Pulau Kawe secara hukum telah dilarang melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa eksploitasi sumber daya alam di pulau kecil tidak diperbolehkan karena daya dukung lingkungan yang sangat terbatas.
Namun, faktanya, industri tambang terus saja mencari celah hukum atau berlindung di balik restu birokrasi daerah yang rentan korupsi.
Kerusakan ekologis akibat tambang nikel bukan sekadar ancaman teoritis. Di Halmahera, Maluku Utara, ekspansi tambang telah menyebabkan deforestasi besar-besaran.
Sumber: