Bupati Bulukumba menerima kunjungan Presiden Indonesia Diaspora dari USA

Bupati Bulukumba menerima kunjungan Presiden Indonesia Diaspora dari USA

Presiden Indonesia Diaspora dari USA, Butce Lie, bersama Dr. Ariella Hana Sinjaya, berpose dengan masyarakat Adat Kajang di Bulukumba. Pakaian hitam khas Kajang melambangkan kesederhanaan, kesetaraan, dan harmoni hidup yang menjadi filosofi suku Kajang.--

DISWAY,SULSEL -- Bupati Bulukumba, Andi Muchtar Ali Yusuf. menyambut hangat Presiden Indonesia Diaspora Global, Butce Lie, dalam sebuah rangkaian kunjungan ke Sulawesi Selatan. Dalam acara penyambutan resmi, Bupati mengalungkan sarung khas Bulukumba kepada Butce Lie, sementara tokoh adat Kajang memakaikan kain penutup kepala sebagai tanda penghormatan.



Pada kesempatan silaturahmi tersebut, tim dari Pemerintah Kabupaten juga memaparkan potensi alam Bulukumba—dari laut hingga hutan—sebagai destinasi unggulan dan peluang bagi investor; dan dilanjutkan dengan jamuan makan malam penuh kehangatan dan persahabatan .

 

Upacara Adat Suku Kajang

Keesokan harinya, Butce Lie berkesempatan menghadiri upacara adat Suku Kajang, komunitas adat yang sering dijuluki “Badui-nya Bulukumba.” Kunjungan ini sangat istimewa karena bertepatan dengan peringatan 100 hari kematian istri Ammatoa dan upacara pemasangan batu nisan, pemimpin adat tertinggi Kajang. Prosesi digelar sederhana namun sarat makna, menegaskan falsafah hidup masyarakat Kajang.

 

Mengenakan pakaian hitam sederhana khas Kajang, Butce Lie mengikuti prosesi dengan penuh penghormatan, termasuk berjalan nyeker (tanpa alas kaki) menyusuri jalan tanah dan batu yang diratakan untuk tamu. “Dulu waktu kecil saya sering nyeker, tapi sudah 30 tahun tidak pernah lagi. Rasanya unik, apalagi ada tongkat untuk membantu menapaki jalan tanah. Ini pengalaman yang sangat berkesan,” ujarnya.

 

Menapaki jalan berbatu di Kampung Kajang, Butce Lie teringat pada Imam Shamsi Ali, tokoh diaspora Indonesia asal Kajang yang kini dikenal luas di New York. Dari sebuah kampung kecil di Bulukumba, ia menapaki jalan panjang hingga menjadi tokoh lintas agama dunia, memprakarsai dialog antarumat, bahkan membawa komunitas Yahudi berkunjung ke masjid dan mengajak Muslim hadir di sinagoga. “Beliau sosok hebat yang aktif menyuarakan kepentingan diaspora Indonesia,” kata Butce dengan penuh kagum.

 

Kearifan Adat Kajang di Bulukumba

Dalam penuturan masyarakat Kajang, menjadi orang Kajang berarti memilih jalan hidup yang sederhana dan berpegang pada falsafah leluhur. Salah satunya tercermin dalam arsitektur rumah adat. Semua rumah berbentuk rumah panggung dengan model yang sama, sederhana, dan menghadap ke barat. Arah barat dipilih karena menjadi pengingat bahwa kehidupan dunia ini fana, sebagaimana matahari yang setiap sore terbenam. Dengan cara itu, setiap orang Kajang diajak untuk senantiasa mengingat kematian dan menyadari bahwa hidup hanyalah sementara.

 

Bagian depan rumah memiliki makna keterbukaan, sebab dari dapur yang terlihat tamu dapat membaca hati tuan rumah. Prinsip keterbukaan ini melatih masyarakat Kajang untuk hidup jujur dan apa adanya. Kayu penopang rumah pun diperlakukan dengan penuh hormat, diperlakukan seperti anak sendiri—dikasihi, dihormati, dijaga—bukan sekadar tiang biasa.

 

Kehidupan sehari-hari masyarakat Kajang banyak yang masih bergantung pada hasil hutan dan daun rumbia. Mereka membagi wilayahnya dalam dua lingkar: Kajang Dalam yang masih memegang teguh aturan adat, dan Kajang Luar yang relatif lebih terbuka. Dari wilayah ini lahir pula tokoh-tokoh yang kini merantau jauh, seperti Imam Samsan yang mendirikan pesantren di New York, Amerika Serikat.

 

Salah seorang tetua adat yang bertugas di pintu gerbang menjelaskan, bahwa adat Kajang juga berpadu erat dengan ajaran Islam. Ketika ada warga meninggal dunia, masyarakat melaksanakan doa dan tahlilan hingga 100 hari, mirip tradisi takziyah. Ada pula jabatan adat bernama Kalia, yang khusus menangani urusan keagamaan dan menjadi jembatan sinergi antara adat dan Islam.

 

Dengan cara hidup yang sederhana namun sarat makna, masyarakat Kajang menunjukkan bagaimana adat, falsafah hidup, dan agama bisa berpadu membentuk tatanan sosial yang unik. Falsafah menghadap ke barat bukan sekadar arah rumah, tetapi sebuah pengingat rohani bahwa setiap hari manusia makin dekat pada Sang Pencipta.

 

Di sela prosesi, rombongan juga berjumpa dengan pasangan suami-istri keturunan Tionghoa Kajang yang masih kerabat dengan almarhumah, menambah nuansa keakraban dalam pertemuan lintas identitas tersebut.

 

Kapal Pinisi: Warisan Bahari Dunia

Selain adat Kajang, Butce Lie juga menaruh perhatian besar pada ikon budaya bahari Bulukumba: kapal Pinisi. Dikenal sebagai tanah kelahiran Pinisi, Bulukumba telah mewariskan keterampilan turun-temurun dalam pembuatan kapal yang kini diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia.  Salah satu lokasi pembuatan kapal Pinisi adalah Bantilang, di mana proses pengerjaan kapal dilakukan secara tradisional namun tetap megah dan kokoh.

 

Dalam tradisi setempat, sebelum pembuatan kapal dimulai, masyarakat melakukan ritual Songkabala, yaitu doa penolak bala. Setelah itu, para pengrajin mencari kayu di hutan untuk dijadikan bahan dasar. Namun saat ini sebagian kayu didatangkan dari luar daerah, khususnya kayu besi yang terkenal berat dan kuat. Kayu ini harus melalui proses penyimpanan dan pengeringan terlebih dahulu, karena semakin lama terkena air, kayu besi justru akan semakin keras.

Proses pembuatan satu kapal Pinisi memakan waktu minimal enam bulan, bahkan bisa lebih lama tergantung ukuran. Untuk bagian bawah (lunas dan rangka utama) digunakan kayu besi, sementara bagian atas dan interior menggunakan jati merah.

 

Sebuah kapal Pinisi dapat mencapai kapasitas hingga 80 GT. Kini, kapal Pinisi tidak hanya dipakai untuk pelayaran tradisional, tetapi juga bertransformasi menjadi hotel terapung maupun rumah sakit terapung, seperti yang pernah dibuat untuk kebutuhan medis oleh seorang dokter asal Makassar.

 

Konstruksi Pinisi sangat khas: papan-papan kayu dipasang rapat tanpa paku besi, melainkan menggunakan teknik tradisional yang memungkinkan kayu tetap lentur mengikuti perubahan bentuk karena cuaca dan air laut. Kapal ini juga dilengkapi layar besar, mirip kapal legendaris Dewa Ruci.

Kesan dan Pengalaman Butce Lie

Butce Lie menuturkan bahwa dirinya merasa beruntung dalam kunjungannya saat ini, selalu “dipertemukan” dengan momen besar budaya. “Seperti ketika saya di Toraja, saya tiba tepat saat ada acara adat besar. Demikian juga di Bulukumba ini. Saya yakin Tuhan yang sudah mengatur semua ini,” ujarnya.

 

Usai menghadiri upacara adat Kajang, Butce juga menikmati indahnya laut Bira di belakang Bara Cocco, berenang di air jernih yang menjadi magnet wisatawan dunia.

Kunjungan Butce Lie ke Bulukumba merupakan bagian dari rangkaian perjalanannya di Sulawesi Selatan, yang sebelumnya mencakup Audeinsi dengan Dinas Pariwisata dan Perdagangan Pemprov Sulsel, Leang-Leang di Maros, Toraja Utara, dan Tana Toraja. 

 

Setiap destinasi memberi pengalaman unik tentang kekayaan budaya, sejarah, dan kearifan lokal masyarakat Sulawesi Selatan.

 

Harapan untuk Sulawesi Selatan

Sebagai penulis sekaligus sahabat yang menjadi narahubung Butce Lie dengan pemerintah daerah, Dr. Ariella Hana Sinjaya, S,Pd., M.Div., MH, Pendiri Yayasan Anak Bangsa Berakhlak Mulia dan Ketua Persatuan Masyarakat Kristen Indonesia Timur (PMKIT) Sulsel menyampaikan syukur dan apresiasi kepada Ibu Wakil Gubernur dan Pejabat Dinas terkait, para Pimpinan Daerah dan seluruh jajaran, serta kebanggaan dan harapan besar atas kunjungan ini.

“Melalui perjumpaan yang penuh makna ini, saya berharap situs-situs budaya dan destinasi pariwisata di Sulawesi Selatan semakin dikenal luas melalui jaringan Indonesia Diaspora Global dan kemitraan internasional lainnya. Kunjungan ini juga diharapkan dapat menarik perhatian investor untuk mengembangkan potensi alam dan pariwisata yang dimiliki Sulawesi Selatan.” (*)

Sumber: