Pemkot Makassar

Kebijakan Kurikulum Muatan Lokal Wali Kota Makassar: Apresiasi dan Catatan Kritis Akademisi Unismuh

Kebijakan Kurikulum Muatan Lokal Wali Kota Makassar: Apresiasi dan Catatan Kritis Akademisi Unismuh

Dr. Kasman, S.Pd.,M.Pd Akademisi Unismuh Makassar, Anggota Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN)--

Penulis:

Dr. Kasman, S.Pd.,M.Pd

Akademisi Unismuh Makassar, Anggota Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN)

 

DISWAY, SULSEL -- Apakah kita masih sering melihat anak-anak menyapa guru dengan salam hormat, membantu orang tua tanpa disuruh, atau berbicara dengan santun kepada orang yang lebih tua? Pertanyaan sederhana ini menjadi pengingat bahwa nilai-nilai sopan santun kini kian tergerus di tengah derasnya arus digitalisasi.

 

Di era media sosial, kebebasan berekspresi sering kali melampaui batas etika, sehingga pendidikan karakter menjadi kebutuhan mendesak bagi generasi muda.

 

Menjawab kegelisahan ini, langkah Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, yang menggagas kurikulum muatan lokal bagi siswa SD dan SMP patut diapresiasi.

 

Kebijakan ini diharapkan menjadi solusi untuk mengembalikan nilai budaya, sopan santun, dan etika yang mulai memudar. Namun, apresiasi ini perlu diikuti dengan pandangan kritis. Sebagai akademisi dari Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, kami memandang bahwa kebijakan ini masih memerlukan penguatan agar implementasinya tidak berhenti pada tataran wacana atau sekadar formalitas.

 

Catatan Kritis atas Kurikulum Muatan Lokal

Kritik pertama berangkat dari karakter khas Kota Makassar yang multikultural. Kehidupan sosialnya terbentuk oleh keberagaman etnis seperti Makassar, Bugis, Toraja, dan Enrekang. Jika kurikulum muatan lokal tidak dirancang secara inklusif, ada risiko sebagian peserta didik merasa terasing atau mengalami cultural dissonance. Karena itu, muatan lokal perlu memberikan ruang bagi identitas kultural semua siswa agar mereka merasa diakui dalam proses belajar.

 

Selain inklusivitas, kurikulum harus disusun berbasis riset dan kebutuhan nyata masyarakat. Ia tidak boleh berhenti pada simbolisasi budaya semata, melainkan menjawab tantangan sosial-ekonomi daerah. Misalnya, pengenalan kewirausahaan berbasis potensi lokal bisa menjadi sarana agar siswa mampu memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitarnya. Dengan begitu, pembelajaran lebih relevan dan berdampak langsung pada kehidupan mereka.

 

Tantangan lainnya adalah kesiapan guru. Hingga kini, belum ada pengampuh khusus muatan lokal dan pelatihan guru masih terbatas. Tanpa kompetensi dan materi ajar yang memadai, kurikulum ini berpotensi dijalankan sekadar memenuhi kewajiban administratif. Akibatnya, tujuan awal untuk memperkuat identitas kultural bisa meleset.

Solusi yang Ditawarkan

 

Untuk menjawab tantangan tersebut, strategi yang komprehensif perlu diterapkan. Kurikulum muatan lokal sebaiknya dimulai dari lingkungan terdekat anak, menjadikan sekolah sebagai penguat nilai-nilai yang telah ditanamkan keluarga atau komunitas. Dengan demikian, pendidikan karakter akan selaras antara rumah dan sekolah.

 

Pengembangannya juga perlu menerapkan pendekatan diversifikasi dengan memperhatikan potensi daerah, keunggulan sekolah, serta bakat dan minat siswa. Implementasi kurikulum tidak harus dibatasi pada mata pelajaran formal, melainkan bisa diperluas melalui kegiatan ekstrakurikuler, pembiasaan sehari-hari, dan budaya sekolah.

 

Selain itu, pelibatan para pemangku kepentingan harus dilakukan secara berkelanjutan. Pemerintah daerah, perguruan tinggi, komunitas budaya, dan tokoh masyarakat dapat membantu memperbarui kurikulum, memberikan pelatihan guru, dan menyediakan sumber daya yang diperlukan.

 

Akhirnya, kebijakan kurikulum muatan lokal Wali Kota Makassar menjadi langkah penting dalam memperkuat identitas budaya dan membangun karakter generasi muda. Dengan pelaksanaan yang inklusif, berbasis riset, dan didukung oleh kolaborasi pemerintah, sekolah, orang tua, serta komunitas, Makassar berpotensi melahirkan generasi cerdas, beretika, dan berbudaya. Menyatu dalam keragaman, beragam dalam kesatuan. (*)

Sumber: