Wacana Penundaan Pemilu 2024 Disebut Pengkhianatan Konstitusi

Wacana Penundaan Pemilu 2024 Disebut Pengkhianatan Konstitusi

<!-- wp:paragraph --> <p></p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>]<strong>DISWAY, JAKARTA</strong> -- Wacana penundaan Pemilu 2024 harus dicermati tentang apa alasan pare elite politik menyuarakan, bukan dinamika politik semata.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Demikian pernyataan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti dalam acara diskusi virtual KEDAIKopi, bertemakan Kata Pakar Bila Pemilu Ditunda, Minggu (6/3/2022).</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Menurut Bivitri argumentasi 3 pimpinan partai politik yakni PKB, PAN dan Golkar yang disampaikan secara terbuka di media bisa dibaca orkestrasi apa yang sedang dibangun.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Bivitri secara tegas menyebut wacana penundaan pemilu 2024 sebagai bentuk dari pengkhianatan konstitusi yang dilakukan oleh seglintir elite politik di Indonesia.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Saya kira saya memberikan kata yang lebih tepat penghianatan sebenarnya, kenapa? karena kita harus sadari bahwa konstitusi itu bukan sekadar teks dan juga politik bukan sekadar matematika,” demikian analisa Bivitri.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dia menjelaskan, konstitusi bukan sekadar teks. Sebab, kalau caranya dengan mengubah konstitusi akan sangat mudah bagi penguasa mengubahnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ia mengaku baru menyadari bahwa perubahan konstitusi sangat mudah dilakukan. Ia menceritakan bahwa dirinya bersama kawan-kawannya dulu tahun 2002 melakukan upaya perubahan konstitusi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Kemudian menyadari agak belakangan mengapa kita dulu tidak dorong di perubahan konstitusi seperti referendum,” ujarnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Pihaknya melakukan riset kecil tentang proses legislasi aturan amandemen Undnag Undang (UU). Hasilnya, aplikasi mengenai amandemen UU tidak semua yang diatur dalam pasal 37 UUD 1945.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dalam pandangan Bivitri, Pasal 37 uUUD 1945 yang ada hanya mengatur sepertiga saja dari jumlah anggota MPR DPR dan DPD 575 + 136. Dengan komposisi dukungan politik itu sudah bisa mengagendakan perubahan konstitusi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sedangkan secara teknis, rapatnya forum yaitu 2/3 dari anggota MPR dan persetujuan amandemen itu bisa sah dengan 50 persen plus 1 dari yang hadir.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Rapat begitu mudah bahkan menurut saya lebih mudah daripada proses legislasi yang kemudian mencatatkan partisipasi publik,” katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Apalagi, lanjut Bivitri, sekarang ditambahkan partisipasi bermakna lebih sederhana ketimbang misalnya dalam konsep legislasi itu disyaratkan soal-soal asas-asas peraturan peraturan perundang-undangan yang baik dalam konstitusi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Berbeda dengan proses referendum di AS. Analisa Bivitri, jika di AS diberlakukan soal syarat tambahan persetujuan dari negara-negara bagian.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sedangkan di Indonesia, dikatakan Bivitri bisa saja mengundurkan Pemilu hanya dengan mengubah pasal 22 UUD 1945.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali untuk Presiden DPR dan DPD semuanya kalau mau tiga periode tinggal mengubah pasal 7,” tutupnya(rmol/*)</p> <!-- /wp:paragraph -->

Sumber: