Loket Kanjuruhan
Oleh:Dahlan Iskan <strong>TULISAN</strong> itu sudah telanjur ada. Di pintu salah satu gerbang Stadion Kanjuruhan Malang. Bukan tulisan tangan. Itu tulisan semprotan cat. Anda sudah tahu tulisan itu. Dari medsos: A. C. A. B. Di daun pintu sebelahnya tertulis angka: 1312. Mungkin tulisan itu segera dihapus. Atau kini sudah dihapus. Tapi ingatan umum sudah telanjur terbentuk: polisi sebagai musuh bersama. Maka di beberapa negara tulisan ACAB dilarang digunakan. Ada negara yang memberlakukan itu sebagai tindak pidana. Ada pula negara yang mengaturnya sebagai melanggar hukum administrasi: didenda. Di Prancis ada seoramg cewek yang menggunakan kaus di tempat umum dengan tulisan ACAB. Dia ditangkap. Diusut. Akhirnya gadis tersebut dibebaskan. Dia bisa menjelaskan dengan baik bahwa ACAB yang dia gunakan itu singkatan dari All Cats Are Beautiful–semua kucing itu cantik. Tentu ACAB yang tertulis di salah satu pintu Kanjuruhan sulit dihubungkan dengan kucing. Siapa pun yang membaca itu akan menafsirkan ACAB di situ singkatan dari, Anda sudah tahu: All Cops Are Bas...***. Semua polisi itu bajingan. Itu diperkuat dengan angka 1312 di pintu sebelahnya. Angka itu dikenal sebagai pengganti huruf A, C, A, B. Artinya sama saja. Saya tidak tahu apakah hukum di Indonesia menganggap menuliskan huruf seperti itu masuk perkara pidana. Kalau pun ada aturan pidananya, tentu tidak mudah mencari siapa yang menyemprotkan cat tersebut. Yang jelas tulisan itu muncul setelah terjadi tragedi Kanjuruhan: 131 Aremania-Aremanita meninggal dunia. Ups... Tulisan itu tidak hanya ada di satu pintu. Menurut saksi mata, tulisan tersebut ada di banyak pintu. Sekitar 10 pintu. Banyak sekali. Yakni di pintu-pintu yang banyak korban berjatuhan. Peristiwa di Kanjuruhan meninggalkan citra yang begitu berat bagi polisi. Menetapkan tersangka dengan cepat sudah dilakukan polisi. Jumlahnya enam orang. Termasuk petugas kepolisian. Tapi munculnya banyak tulisan protes seperti di pintu-pintu itu memerlukan usaha yang lebih besar untuk memperbaiki nama baik polisi di Malang. Di dekat pintu itulah mayat bergelimpangan malam 1 Oktober 2022 itu. Mereka lari dari tribun untuk menghindari gas air mata. Semua menuju pintu itu. Pintu tidak membuka, atau terbuka sedikit. Mereka banyak yang mati sesak, terimpit, terdesak, terinjak. Kalau saja tidak ada gas air mata 40.000 penonton itu akan keluar bertahap. Malam itu semuanya ingin lari dari gas air mata. Kenapa pintu stadion harus ditutup? Bahkan dikunci? Anda bisa menjawabnya dengan benar: agar tidak ada penonton yang masuk stadion tanpa karcis. Malam itu pertandingan besar, Arema vs Persebaya. Stadion penuh. Di luar stadion masih ribuan orang yang ingin masuk. Biasanya pada menit ke 80 pintu-pintu stadion sudah dibuka. Kali ini tidak. Kalau dibuka ribuan penonton itu akan masuk, entah akan duduk di mana. Di Stadion Kanjuruhan memang masih memungkinkan penonton tanpa karcis mendekat ke pintu stadion. Padahal sistem penjualan tiketnya sudah online. Penonton juga mengenakan gelang sebagai tanda masuk. Namun memang masih ada loket karcis di stadion. Sekitar 20 persen tiket masih bisa dibeli di stadion, lima jam sebelum pertandingan dimulai. Sebagian besar karcis dijual lewat korwil-korwil suporter. Ada 157 korwilAremania di Malang. Mereka yang sudah mendapat karcis di Korwil bisa menukarkannya dengan gelang di kantor Arema. Yakni di hari pertandingan. Yang membeli karcis secara online, juga menukarkan karcisnya dengan gelang di hari pertandingan, di kantor Arema. Sedang yang membeli karcis di loket stadion langsung mendapatkan gelang. Dengan masih adanya loket di stadion memang tidak mungkin dilakukan seleksi total terhadap calon penonton di ring luar. Masih ada koridor khusus untuk penonton yang akan membeli karcis di loket. Memang tidak mudah mengubah sistem seperti itu. Korwil-korwil belum tentu rela dihapus. Loket di stadion juga sulit ditiadakan. Para calo akan marah. Persebaya punya pengalaman pahit ketika merombak sistem perkarcisan itu tahun 2017. Pihak yang marah banyak sekali. Tapi program jalan terus. Persebaya memaklumi kalau banyak klub yang tidak tega melakukannya. Di Stadion Gelora Bung Tomo pintu-pintu stadion tidak perlu ditutup. Tidak perlu. Tidak ada lagi orang di luar pintu stadion. Yang tanpa gelang tidak bisa masuk ke ring 1. Kelebihan Persebaya adalah: punya Persebaya Store yang banyak. Itu sekaligus menjadi tempat penukaran gelang. Tapi awal memulai sistem itu ributnya bukan main. Stadion-stadion lama di Indonesia umumnya tidak punya ring 1 (ring dalam). Siapa saja bisa mendekat ke stadion, ke pintu masuk. Seleksi penonton dilakukan di pintu masuk itu. Seperti masuk gedung bioskop. Saya ingat zaman tradisional dulu: stadion menyediakan loket penjualan karcis. Penonton antre di situ. Yang tidak punya uang ikut bergerombol di depan pintu masuk. Menunggu situasi: ikut masuk dengan cara nerombol petugas jaga atau ikut berdesakan agar penjaga karcis kewalahan. Tahun 2018 lalu terjadi peristiwa yang sama di Kanjuruhan. Yakni saat Arema melawan Persib. Skor 2-2. Penonton masuk lapangan. Gas air mata digunakan. Tidakbanyak. Pintu stadion terbuka. Yang luka-luka puluhan orang. Yang meninggal satu. Kuncinya adalah manajemen di stadion. Dan di penjualan karcis. ACAB dan 1312 mungkin bisa segera dihapus. Tapi makna di balik itu melekat sudah sangat dalam. Merombak cara lama kadang menyakitkan, tapi masa depan tidak bisa menanti. (*)
Sumber: