Abad Banser

Abad Banser

Oleh: Dahlan Iskan &nbsp; <strong>SAY</strong>A tawakal di tengah jalan tol. Apa boleh buat. Harapan bisa satu panggung lagi bersama Habib Syech, kemarin pagi, kandas. Saya pun hanya bisa mengikuti puncak acara Hari Lahir ke satu abad Nahdlatul Ulama dari layar handphone di dalam mobil. Dalam keadaan normal jarak rumah saya ke stadion Sidoarjo itu 20 menit. Lewat tol. Kalau saya berangkat 04.15 (habis Subuh) mestinya sempat ikut salawatan bersama Habib Syech pukul 05.00. Begitu masuk pintu tol Waru, kendaraan sudah padat. Lalu berhenti total sekitar 3 km dari <em>rest area</em> Sidoarjo. Di depan saya terlihat mobil pakai sirine. Tidak ada gunanya. Di belakang saya juga ada mobil bersirine. Tidak berkutik. Penumpang di mobil depan saya turun: seorang jenderal bintang satu. Ia putuskan untuk meninggalkan mobil: jalan kaki. Saya pun ingin memutuskan hal yang sama: toh tinggal sekitar 6 km lagi. Dengan jalan cepat, bisa ditempuh dalam satu jam. Jam sudah 06.00 bisa tiba di stadion. Toh acara intinya jam 07.00. Saya tidak mungkin meninggalkan mobil. Kalau saja yang  mengemudikan mobil Kang Sahidin saya bisa lakukan itu. Tapi yang memegang kemudi kemarin adalah Dirut Harian Disway, Tomy C Gutomo. Tidak mungkin saya tinggalkannya sendirian. Toh saya hanya undangan biasa, meski ada stempel VVIP. Saya bukan petugas keamanan atau petugas acara. Saya harus menerima keadaan apa adanya. Toh tidak sendirian. Berpuluh-puluh bus juga berhenti total di jalan tol ini. Sampai berjajar tiga. Banyak penumpangnya turun. Duduk-duduk di bawah pohon di dekat pagar jalan tol. Saya juga turun dari mobil: menghilangkan penat. Di situ, di tengah jalan tol itu, bertemu banyak pengurus wilayah dari berbagai daerah. Juga bertemu warga NU dari berbagai cabang dan ranting: Trenggalek, Ngawi, Ponorogo, Bojonegoro, Lamongan, Tuban.... Saya lihat ada taksi di tengah lautan mobil macet itu. Alangkah mahalnya ongkos taksi itu nanti. Argo jalan terus. Sudah dua jam. Masih ada tiga atau empat jam lagi. Pak Tomy menawari penumpangnya masuk ke mobil kami. Bisa. Mau. Ternyata dua orang Wakil Ketua PW NU Kaltim. Mereka kirim 200 Banser ke Sidoarjo: naik kapal laut. Ketika Wapres KH Ma'ruf Amin membaca doa penutupan: kami masih di tengah jalan tol yang sama. Satu jam kemudian jalur paling kanan tol itu bisa bergerak. Pelan-pelan kami bisa sampai pintu keluar tol di dekat stadion. Tapi pintu itu ditutup. Kami harus melaju ke arah Porong/Malang. Kami pun meninggalkan Sidoarjo tanpa mampir stadion. Toh acara sudah selesai. Toh saya sudah bisa mengikuti seluruh acara lewat HP. Memang layar HP itu kecil sekali. Atraksi Banser yang paling saya tunggu tidak tergambar terlalu jelas. Yang terdengar sangat jelas adalah pidato ketua panitia satu abad NU: Menteri BUMN Erick Thohir. Dengan baju Bansernya. Ia memang anggota Banser. Anggota beneran. Banser besertifikat. Bagi saya yang paling menarik adalah bagian akhir pidatonya: satu kalimat itu. Yang Anda juga pasti mengingat kalimat itu dan memperhatikan. Tentu saya juga memperhatikan Ibu Megawati Sukarnoputri. Yang wajahnya sering tampil di layar. Yang kali ini, tumben, tidak pakai kerudung sama sekali. Saya tidak bisa menebak makna ekspresi wajah Ibu Megawati Sukarnoputri kemarin pagi. Yakni saat beliau menyaksikan 12.000 personil Banser <em>in action</em> di stadion itu. Ibu Mega, sebagai ketua umum PDI Perjuangan juga dikenal punya pasukan Merah-Hitam. Yang juga disebut Satgas Banteng. Saya pun berdoa di dalam hati: semoga Banser <em>in action</em> ini tidak menggerakkan hati Ibu Mega untuk juga mengadakan apel besar Satgas Banteng. Toh belum ada momentum 100 tahun. Atraksi Banser memang terlihat sangat dominan di acara puncak satu abad NU ini. Mungkin penampilan Banser inilah yang paling diingat dari Satu Abad NU. Urutan kedua: sosok yang membaca Alquran di awal acara. Bacaannya, lagunya dan kemerduan suaranya hebat sekali: Sayyid Zulfikar Basyaiban. Orang Sidoarjo. Stadion ini terlalu kecil untuk perhelatan begitu besar. Kalau hanya dilihat di dalam stadion kesannya: kurang massal. Tribun keliling itu terlihat tidak banyak orang. Padahal sudah terisi penuh. Seandainya antara tribun dan pasukan Banser itu dibolehkan diisi 10.000 Nahdliyin kesan massalnya akan kuat. Padahal di luar stadion itu setidaknya ada 1 juta orang. Warga Nahdliyin dari segala penjuru. Mereka tidak terjangkau oleh kamera di dalam stadion. Untung kamera juga tidak bisa menjangkau banyaknya sampah yang berserakan. Presiden Jokowi menyampaikan pidato yang pendek. Mungkin Pak Jokowi ikut merasakan matahari sudah kian menyengat. Tentu saya juga menunggu acara paling penting di mata saya: Fikih Peradaban. Yakni laporan hasil Muktamar I Fikih Peradaban (lihat Disway 4 Februari 2023). Ternyata hasil Muktamar itu dibacakan oleh dua orang: kiai cum penyair KH Mustofa Bisri dan Yenny Wahid. Kiai Mustofa Bisri membacakan versi bahasa Arabnya, Mbak Yenny membaca versi bahasa Indonesia. Cara penyampaian seperti itu rasanya karena PBNU ingin hasil Muktamar Fikih Peradaban itu harus dipahami juga oleh dunia Islam di Timur Tengah. Saya pun keluar dari tol di exit Tanggulangin. Lalu sebelum masuk kota Sidoarjo saya belok ke timur. Ke arah jalan lingkar timur Sidoarjo. Tembus di bundaran Aloha. Saya pun sampai rumah lagi pukul 12.00. Saya hitung, 8 jam saya di dalam mobil kemarin pagi itu. Saya gagal masuk acara satu abad NU, tapi saya simpan undangan VVIP itu. <strong>(*)</strong> &nbsp;

Sumber: