Bulan BK

Bulan BK

<strong>Oleh: Dahlan Iskan</strong> <strong>Di Bulan Bung Karno</strong> ini saya bertemu Sukarnois tua. Ia pernah dipanggil Bung Karno untuk mengambil serbet makan Presiden Kruschov yang jatuh ke lantai. Namanya Mochamad Soedjatmiko. Umur 84 tahun. Tinggal di Bekasi. Saya bertemu beliau di Bandung. Sabtu lalu. Di acara kawinan teman lama saya. Soedjatmiko masih keluarga ayah pengantin perempuan. Soedjatmiko juga masih keponakan Djawoto, duta besar kita di Beijing yang dapat suaka politik dari Tiongkok setelah peristiwa G30S/PKI. Soedjatmiko masih sehat dan bugar. Hari itu ia pakai pakaian Jawa lengkap dengan blangkon, beskap, dan jarit batik di bagian bawahnya. Bicaranya lancar. Pendengarannya baik. Masih bisa naik panggung kawinan. Istrinya juga sehat: 79 tahun. Sang istri seorang dokter lulusan Universitas Indonesia. Namanyi: Suheni Erningpradja. Putri pertama menteri perburuhan merangkap duta besar untuk Korea Utama: R. Ahem Erningpradja. Awal pertemuan Djatmiko dengan Bung Karno terjadi ketika ia masih mahasiswa kedokteran UI. Mahasiswa tahun pertama. Tahun 1958. Hari itu sejumlah mahasiswa kedokteran diminta jadi petugas di istana. Mereka ikut mengamankan tamu negara di istana: Presiden Uni Soviet Nikita Sergeyevich Kruschov. "Kami bangga sekali. Mahasiswa kedokteran UI sangat spesial waktu itu," katanya. Mereka membuat pagar intelek menjaga tamu negara. Saat Kruschov makan siang dengan Bung Karno, mahasiswa itu berjajar di teras istana. Istana Negara. Yang menghadap ke Jalan Juanda Jakarta. Soedjatmiko tepat berdiri di dekat pintu istana negara. Ia bisa melihat dua presiden itu di meja makan. Dari meja makannya Bung Karno menatap ke arah wajah Djatmiko. Tangannya memberikan kode agar Djatmiko mendekat. Djatmiko tidak percaya dirinya yang dipanggil. Ia toleh kanan-kiri. Tidak ada orang di dekatnya selain mahasiswa. Ia pun menudingkan jari ke dadanya. Maksudnya: saya? Bung Karno mengangguk. Setelah mendekat, Bung Karno pun menunjuk ke serbet makan tamunya yang jatuh ke lantai. Agar dipungut. Lalu dipasangkan kembali ke pangkuan Kruschov. Setelah melakukan tugasnya, Djatmiko kembali ke tempatnya bertugas. Peristiwa itu ternyata menentukan perjalanan hidup Djatmiko berikutnya. Apalagi setelah diketahui bahwa ia masih keponakan Djawoto, pendiri dan ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pusat. Ia juga pimpinan kantor berita milik negara: Antara. Lebih dari itu ia juga kenal baik dengan orang istana: Joop Ave. "Hampir saja saya jadi pacar Joop Ave," ujarnya lantas tertawa. "Dia sempat marah ke saya," tambahnya sambil melirik istrinya. Sang istri adalah mahasiswa kedokteran UI tiga tahun lebih belakangan. Namun sang istri lebih dulu menjadi dokter. Kelak Joop Ave juga dikenal dekat dengan presiden berikutnya: Pak Harto. Bahkan jadi menteri pariwisata. Rasanya baru ia menteri yang latar belakangnya pelangi. Kuliah Djatmiko sendiri tidak mulus. Ia terkena sakit malaria tropika. Tidak kuliah selama satu tahun. Ia akhirnya sembuh di tangan dokter Soemarno, menteri dalam negeri yang juga gubernur DCI Jakarta Raya. Kebetulan dr Soemarno menikah lagi secara siri dengan ipar Djawoto. Setelah itu Djatmiko masuk Resimen Mahasiswa Mahajaya. Angkatan pertama. Kuliahnya pun terganggu lagi. Pun sampai akhir 1963 ia belum jadi dokter. Bahkan tidak lagi bisa jadi dokter. Ia mendapat tugas dari Bung Karno ke Jepang. Tugasnya amat khusus: melihat dari dekat sisi politik dari Olimpiade Tokyo tahun 1964. Indonesia mengirim sekitar 80 atlet ke Jepang. Sudah tiba di Tokyo. Tapi tersiar kabar bahwa tim Korea Utara tidak akan boleh bertanding. Ini urusan politik. Korut adalah blok komunis. Djatmiko mendapat pesan khusus dari Bung Karno: "Kalau Korut benar-benar dilarang tampil di Olimpiade, kamu pulangkan seluruh atlet kita. Tarik semua". Djatmiko merasa mendapat tugas suci. Langsung dari presiden pribadi. Ia laksanakan tugas itu dengan baik. Korut dilarang tampil. Maka ia pulangkan atlet Indonesia. Pemulangan atlet itu dilakukan diam-diam. Tidak secara resmi. Tidak terbuka. Karena itu, kata Djatmiko, instruksi khusus itu dibebankan kepadanya –yang bukan siapa-siapa di struktur pemerintahan. Kalau sikap politik itu dilakukan secara resmi akibatnya tidak baik. Indonesia mengecam panitia Olimpiade karena telah mencampuradukkan politik dan olahraga. Kok Indonesia juga ikut mencampurkan politik dan olahraga. Maka instruksi pemulangan atlet itu dilakukan kepada ''swasta'' seperti Djatmiko. Bukan ke kedutaan Indonesia di Jepang. Bung Karno sendiri lagi dalam posisi sulit. Di satu pihak ia adalah salah satu vokalis politik di blok timur. Di lain pihak ia punya hubungan khusus dengan Jepang. Khususnya dengan seorang perempuan di sana. Otak Bung Karno di Timur. Hatinya di Jepang: khususnya pada geisha berumur 19 tahun bernama Naoko Nemoto. Bung Karno, saat itu 57 tahun, akhirnya mengawini Naoko Nemoto sebagai perkawinan keenamnya. Anda sudah tahu: nama Naoko lantas diubah menjadi Ratna Sari Dewi. Kini 83 tahun. Setelah memulangkan atlet itu, Djatmiko sendiri tidak pulang. Suasana politik di dalam negeri sangat kacau. Hanya 10 hari sebelum pembukaan Olimpiade itu Bung Karno dikudeta. Diungsikan ke kompleks TNI-AU Halim Perdanakusuma. Lima jenderal dan dua perwira TNI-AD diculik. Dibunuh. Dimasukkan sumur di dekat Bung Karno diungsikan. Partai Komunis Indonesia dibubarkan. Pengikut Bung Karno ditumpas. Para Sukarnois ikut jadi musuh Orde Baru. Djatmiko tidak bisa pulang. Ia memutuskan meneruskan kuliahnya di Jepang. Mulai lagi dari awal. Ia mengambil jurusan kimia industri. Seperti juga Djawoto, Djatmiko bukan PKI. Tapi nama Djawoto jadi bulan-bulanan politik di dalam negeri. Ia disamakan dengan PKI. Dihujat. Dikarikaturkan. Wartawan jadi objek berita yang dihantamkan oleh wartawan Orde Baru. Djawoto mengundurkan diri sebagai duta besar kita di Beijing. Ia mendapat suaka politik di sana. Lalu pindah ke Belanda. Jadi pengungsi politik di sana. Sampai ia meninggal dunia. Beijing sendiri saat itu lagi guncang: Mao Zedong lagi melancarkan revolusi kebudayaan. Orang kota yang dianggap berjiwa kapitalis dan borjuis dikirim ke ladang-ladang pertanian di desa-desa. Djatmiko juga tidak berani pulang. Ia terus meyakinkan Orde Baru bahwa dirinya memang Sukarnois tapi bukan komunis. Enam bulan kemudian Djatmiko, kelahiran Tuban dan lulus SMA di Malang, dipanggil pulang. Orde Baru yang memanggilnya pulang. Ia pulang. Di bandara Jakarta ia ditangkap. Langsung dikirim ke rumah tahanan Guntur. Jadilah ia tahanan politik. Dalam interogasi beruntun memang tidak ada bukti bahwa Djatmiko komunis. Setelah enam bulan ditahan, Djatmiko dibebaskan. Justru Bung Karno yang masih terus ditahan. Djatmiko menerima pesan Bung Karno yang dikirim dari tahanan rumah. Isinya: agar perkawinan Djatmiko di tahun 1962 dibuatkan resepsi di akhir 1966. Tujuannya: agar Bung Karno bisa punya alasan minta izin menghadiri kawinan. Agar dirinya bisa menghirup udara di luar. Juga agar bisa bertemu teman-teman lama. Resepsi dilaksanakan. Di gedung TNI-AL di Kwitang, Jakarta pusat. Tapi keinginan Bung Karno mendapat izin tidak bisa terlaksana. Sebelum itu, ketika Djatmiko masih ditahan di Guntur, CPM penjaga tahanan menerima memo dari Bung Karno. Saat itu Bung Karno masih ditahan di Istana Bogor. Isi memo: agar Djatmiko dan Ahem Erningpradja dihadapkan ke Istana Bogor. Dua orang satu famili itu pun dihadapkan ke Istana Bogor. Ditunggui oleh Jenderal Ibrahim Aji. Tidak bisa bebas bicara. Djatmiko sendiri, setelah bebas, tidak mengalami kesulitan hidup. Ia lantas bekerja di PT Padi Traktor. Sampai tahun 1982. Lalu diangkat menjadi general manajer di perusahaan Rahmat Gobel yang bekerja sama dengan Jepang: National Gobel. Sebagai lulusan kimia di Jepang, dan fasih berbahasa Jepang, Djatmiko ditempatkan di divisi baterai. Bertahun-tahun ia bekerja di Gobel. Sambil menjadi sekretaris Perhimpunan Pengusaha Indonesia-Jepang yang dipimpin Gobel sendiri. Kenangan lain dengan Bung Karno adalah saat ia di Jepang. Ia termasuk yang ''menjaga'' Bung Karno di sana. Termasuk dalam hubungannya dengan Dewi. "Sayalah yang menyeleksi kalau ada wanita yang ke hotel Bung Karno," katanya. "Selama Anda di sana berapa kali Bung Karno ke Jepang?" tanya saya. "Empat kali," jawabnya. Di akhir masa pemerintahan Presiden SBY, Djatmiko dipanggil Bappenas. Ia diminta menjelaskan soal adanya info bahwa Bung Karno memberi pinjaman pada Jepang lewat Kaisar Hirohito dan Perdana Menteri Jepang Eisaku Sato. "Saya memang hadir di pertemuan itu. Tapi saat tanda tangan dokumen, dilakukan di dalam ruang khusus. Saya tidak ikut masuk," katanya. Zaman itu pun ia juga sudah mendengar bahwa Indonesia memberikan pinjaman ke rakyat Jepang. Tapi ia tidak tahu detailnya. Djatmiko termasuk orang pertama yang melayat ketika Bung Karno meninggal dunia. Namanya tidak tercatat di buku orang-orang yang melayat. "Saya datang justru ketika bukunya belum disiapkan," katanya. Saya sendiri tidak sempat hadir di puncak acara besar Bulan Bung Karno di Stadion Utama Gelora Bung Tomo Sabtu lalu, tapi beruntung bertemu Sukarnois tua yang empunya cerita. Maka setelah jadi saksi di pernikahan itu saya pun lebih banyak ngobrol dengan Sukarnois asli yang tidak banyak lagi yang punya pengalaman seperti dirinya. (<strong>Dahlan Iskan</strong>)

Sumber: