Terowongan Kembar
<strong>Oleh: Dahlan Iskan</strong> <strong>AKHIRNYA</strong> saya lewat jalan tol baru di Jawa Barat ini: Cisumdawu. Dari Cileunyi ke Kertajati. Lewat sebelah gunung Tampomas. Sepanjang 61 km. Yang agak beda dengan bayangan saya: soal terowongan. Twin tunnel. Ternyata bukan menembus gunung yang tinggi. Itu menembus seonggok bukit. Karena itu terowongannya tidak panjang: 470 meter. Atau itu cukup panjang untuk ukuran Indonesia: satu-satunya. Belum ada pembandingnya. Selama ini hanya ada terowongan kereta api. Banyak sekali: 19 terowongan. Di perbatasan Jember-Banyuwangi ada terowongan Mrawan. Panjangnya 690 meter. Di bawah gunung yang lebih tinggi. Kita kagum: di tahun 1901 sudah bisa membuat terowongan sepanjang itu. Terowongan Ijo, dekat Gombong (Kebumen), lebih tua lagi: 1885. Panjangnya 580 meter. Di zaman awal Orde Baru sudah bisa membangun terowongan di Sumberpucung, antara Malang-Blitar. Tahun 1969. Namanya khas Orde Baru: Terowongan Eka Bahti Karya. Panjangnya 750 meter. Jawa Barat punya banyak terowongan tua. Salah satunya hampir 1200 meter. Namanya terowongan Wilhelmina. Tahun 1914. Di kecamatan Kalipucang, sekarang masuk Kabupaten Pangandaran. Inilah terowongan terpanjang dan terindah di Indonesia. Tapi nasibnya seperti Ratu Belanda itu: meninggal dunia. Bersamaan dengan matinya jalur kereta api di situ. Ekonomi Pangandaran perlu ditolong. Siapa tahu terowongan ini bisa membantu. Tapi untuk apa ya? Kita kembali ke Terowongan Kembar di jalan tol di dekat Tampomas. Awalnya pembuatan terowongan itu saya sangka sebagai faktor penyulit. Masa pembangunan tol 62 km ini sampai 12 tahun. Saya jadi ingin tahu: ada masalah apa saja kok begitu lambat. Atau tidak usah cari tahu. Toh kini sudah jadi. Hasilnya sudah dirasakan banyak orang. Sumedang sangat beruntung. Efisien sekali. Saya hanya perlu 35 menit di tol ini. Itu pun tidak ngebut. Mas Sukron, direktur Radar Tegal-Pekalongan yang mengemudikan mobil, tumben, tidak jadi pembalap. Begitu dekat rasanya jarak antara Bandung (dari tol di depan stasiun kereta cepat Tegalluar), ke ujung jalan tol di dekat bandara Kertajati. Yang juga jauh dari bayangan saya adalah: soal keindahan alam kanan-kirinya. Tidak seindah yang saya bayangkan. Rasanya Semarang-Boyolali lebih indah. Atau sebanding. Keindahan Semarang-Boyolali lebih panjang. Mungkin karena Cisumdawu tidak melewati bagian paling indah alam Priyangan. Memang Cisumdawu punya Gunung Tampomas yang 1.600 meter. Tapi Semarang-Boyolali justru punya gunung kembar. Duo Mer. Merapi dan Merbabu. Yang paling emosional di perjalanan Cisumdawu ini adalah Kang Dadan. Ia direktur Harian Radar Tasikmalaya dan Tasikmalaya TV. Ternyata ia lahir di desa yang dilewati jalan tol ini. Agak ke samping kanan sana. Ayahnya pernah beli tanah yang dilewati jalan tol ini. Pertimbangannya: akan ada jalan tol di situ. Ditunggu lebih lima tahun tidak juga dimulai. Dijual lagi. Sang ayah seorang guru yang ingin anaknya jadi insinyur pertanian. Kang Dadan disekolahkan ke SPMA di kecamatan Tanjungsari. Sekolah Pertanian Menengah Atas. Tiap hari ia naik angkot 1 jam. Itu karena harus ganti angkot di pertengahan jalan. Ternyata ia kuliah di jurusan jurnalistik di Universitas Islam Bandung (Unisba). Lalu jadi wartawan di Bengkulu. Di perjalanan jalan tol ini saya baru tahu Kang Dadan lahir dan besar di Sumedang. Ia duduk di kursi belakang. Di sebelah tas saya. Sambil memandang Gunung Tampomas, ia menggumamkan sebuah lagu. Sepertinya lagu Sunda. "Lagu apa itu Kang?" tanya saya. "Lagu Sumedang". "Apa judulnya?" Ia pun mencarikan link-nya di YouTube. Saya menghidupkan speaker kecil. Saya selalu membawa speaker kecil. Untuk jaga-jaga sound system di tempat senam rewel. Lagu itu pun saya keraskan lewat speaker. Judulnya Sumedang Kota Kamelang. Sulit mencari padanan kamelang dalam bahasa Indonesia. Mungkin mirip sumelang dalam bahasa Jawa. Semacam bisa bikin kangen sampai setengah mati. Itu menandakan orang Sumedang sangat lengket dengan daerahnya, tapi banyak yang harus ditinggal jauh demi penghidupan yang lebih baik. Kang Dadan meninggalkannya ke Bengkulu. Lalu ke Tasikmalaya. Ia tinggalkan Desa Serang, Cimalaka, dekat gunung Tampomas itu. Kami semua mendengarkan lagunya. Mengikuti iramanya. Kang Dadan tiba-tiba terdiam. Saya menengok ke belakang. Matanya sembab. Berlinang-linang. Saya ikut bersedih. Mata saya ikut basah. Kang Dadan bertambah basahnya. Sampai sesenggukan. Saat itu lirik lagunya berbunyi Sumgkanmiang paturai kudu pa panggang. Berat untuk pergi jauh. Meski pun itu demi ibu Pertiwi. Saya biarkan lagunya sampai selesai. Biar dada Kang Dadan lega. Orang Sumedang memang harus merantau. Terutama ke Jakarta. Lebih terutama lagi ketika orang Sumedang bisa jadi gubernur DKI Jakarta yang hebat: Ali Sadikin. Begitu banyak orang Sumedang merantau ke Jakarta sampai ada bus khusus jurusan Sumedang-Jakarta. Sangat legendaris. Nama busnya Medal Sekarwangi. Sampai kini. Soal mengapa orang Sumedang harus merantau, itu karena Sumedang Ngarangrangan. Tidak banyak yang bisa diandalkan dari bumi Sumedang –selain manusianya. Sampai Sumedang digambarkan sebagai Sumedang Ngarangrangan. Ibarat pohon daunnya meranggas. Tidak lagi sekarang, mestinya. Apalagi sudah ada jalan tol yang melintasi Sumedang. Tidak lagi terisolasi. Meski perusahaan bus Medal Sekarwangi berkembang pesat, tetap saja tidak ada MS jurusan Sumedang-Cirebon. Seperti dulu tidak adanya Jalan Siliwangi di Surabaya. Juga seperti tidak adanya Jalan Gadjah Mada di Bandung. Sumedang kehilangan tiga daerah akibat kalah perang di masa nan lalu. Tiga wilayah itu jatuh ke kerajaan Cirebon: Cikedung (Al-Zaytun berada di sini), Majalengka, dan Kadipaten. Saya tidak banyak tahu sejarah di era itu di daerah itu. Legendanya mendarah mendaging. Ada versi Sumedang, ada versi Cirebon. Saya tidak ingin Kang Dadan bertengkar dengan Mas Yanto S. Utomo di mobil ini. Apalagi Kang Dadan lagi emosional: inilah kali pertama ia lewat tol di dekat tanah tumpah darahnya. Mas Yanto adalah dirut Radar Cirebon yang kini jadi dirut Disway.id. Lebih baik tidak usah berbantah. Masing-masing boleh bercerita bergantian. Toh perjalanan masih akan lama: ke Semarang. Maka keduanya bergantian bercerita soal perang itu. Meski berbeda versi keduanya sama-sama menyebut keterlibatan wanita cantik sebagai penyebab perang itu. Gadis Madura. Namanya Arisbaya. Raja Cirebon dan Raja Sumedang rebutan Arisbaya. Awalnya Sumedang kuat menahan gempuran Cirebon. Sumedang terlindung oleh jejeran gunung yang sangat panjang. Sampai dinamakan Gunung Pagar. Kalau Anda dari arah Jakarta ke Cirebon, perhatikan exit Sumber Jaya. Setelah Kertajati. Tengoklah ke kanan. Terlihat barisan gunung yang panjang. Itulah Gunung Pagar. Di situlah pusat pertempuran Sumedang-Cirebon. Kini gunung itu jadi pusat pertempuran ekskavator dan buldoser. Indocemen terus menggempur gunung itu dijadikan bahan bahan baku semen. Sumedang kalah. Kehilangan tiga daerah. Kalau saja provinsi Cirebon terbentuk, ketiganya masuk ke provinsi baru. Di Sumedang kini tinggal ada mahkota raja: emas. Kalau belum dipalsukan. Disimpan di museum kota itu. Saya sudah melihatnya, tapi tidak tahu palsu tidaknya. Di Sumedang juga masih ada peninggalan lain: kuda Renggong. Yakni kuda yang bisa menari-nari. Anak yang mau disunat biasanya diarak dengan kuda yang dihias bak pengantin. Juga masih ada peninggalan lagu kuno: Tarawangsa. Lagu melodi yang mistis. Karuhun. Masih dilestarikan di Desa Rancakalong. Kini mudah ke desa itu. Lewat tol. Exit di Pamulihan. Kalau dari arah Bandung exit tersebut setelah exit Jatinangor. Persis sebelum terowongan kembar. Sesekali Anda ke situ. Sekalian siapa tahu Anda ingin menyantet salah satu perusuh Disway. Jalan tol Cisumdawu mungkin akan mengubah semua itu. Termasuk mengubah adat ini: tiap bulan Maulud orang Sumedang berduyun-duyun ke petilasan Mahapatih Jaya Perkasa di Dayeuh Luhur, Cikoneng. Peziarah tidak boleh pakai baju batik. Itu dianggap berbau Cirebon. Sumedang sudah punya jalan tol. Akan membawa kemakmuran atau menambah perantauan.(<strong>Dahlan Iskan</strong>)
Sumber: