Saset Kompor
<strong>Oleh: Dahlan Iskan</strong> <strong>SAYA</strong> lagi di pedalaman Tiongkok. Naik kereta api sejauh 14 jam. Dari Beijing. Bukan kereta Whoosh. Kereta lama. Jalur lama. Gerbong lama. Bisa tidur sepanjang malam. Juga bisa mimpi terkena luka. Stasiunnya baru. Stasiun Fengtai. Di Beijing sisi selatan. Beda lagi dengan stasiun Nanzhan yang juga di Beijing selatan. Saya sudah sering datang-pergi di Nanzhan tapi baru sekali ini lewat Fengtai. Bisa saja saya naik whoosh. Dari Beijing. Ke Changsha. Atau Nanchang. Atau Ganzhou. Tapi harus pindah kereta. Ke pedalaman ini. Maka kami putuskan naik kereta lama saja. Sekalian nostalgia. Lima tahun lalu saya naik kereta jenis ini. Dari Xinjiang. Ke Ganshu. Gerbongnya juga berkamar-kamar. Tidur sepanjang hari. Sepanjang malam. Satu kamar berisi 4 tempat tidur. Dua atas, dua bawah. Ada bantal. Selimut tebal. Lengkap: colokan listrik USB dan yang lubang dua. Air panas satu termos. Lampu baca. Tiap gerbong punya dua toilet: di ujung sini toilet duduk, di ujung sana toilet jongkok. Terpelihara. Bersih. Di depan toilet berjajar wastafel: untuk ramai-ramai sikat gigi pagi hari. Kereta lama ini lebih lambat: 200 km/jam. Maksimum tambah 50 km. Tenaganya juga pakai listrik. Tidak ada lagi kereta yang pakai diesel. Kereta cepat pakai rel khusus. Dibangun baru. Rel layang semua. Tidak mengganggu sama sekali jaringan rel kereta lama. Ketika masuk gerbong teman saya membawa banyak makanan instan. Dari packaging-nya terlihat seperti mie instan. ''Untuk sarapan besok pagi,'' katanyi. Bangun pagi kereta sudah sampai di kota Jiujiang. Kota indah di pertemuan antara bengawan Yangtze (Chang Jiang) dengan untaian danau. Ini sungai berdanau-danau. Atau sebaliknya. Waktunya sarapan. Saya lihat mie instan itu. Saya perhatikan baik-baik tulisannya. Ternyata bukan mie. ''Ini apa?'' tanya saya. Dia turun dari atas. Semula saya yang usul agar saya saja yang di atas. Saya kan laki-laki. Dia menjawab: ''saya yang di atas''. Dia merasa lebih muda. Lebih kuat di (ke) atas. Ternyata itu nasi. Lauknya kare. Bisa pilih: kare ayam atau daging sapi. Dia menyodorkan dua pilihan itu. ''Yang ini untuk saya,'' katanyi. Saya lirik tulisan di luarnya: 猪肉. Daging babi. Nasi di dalam kotak itu masih berupa beras. Saya harus memasaknya dulu untuk menjadi nasi. Masak nasi di kereta api. Saya buka bungkus plastiknya. Saya buka tutupnya. Isinya macam-macam. Tersimpan dalam berbagai saset terpisah. Ada saset berisi beras. Ada saset berisi kare daging, irisan kentang dan wortel. Ada saset berisi sayuran kering. Ada dua saset berisi air. ''Nah, ini saset yang jadi kompornya,'' katanyi. Saset yang berfungsi sebagai ''kompor'' itu jangan dibuka. Ada tulisan di luarnya: jangan dimakan. Saset ''kompor'' ini harus ditaruh di bagian paling bawah kotak. Lalu air satu saset dituangkan. Sesaat kemudian air itu mendidih. Beras dituang ke kotak kecil. Diberi air dari saset kedua. Karenya ditaruh di kotak sebelah beras. Sayur kering ditabur di atas kare. Kotak pun ditutup. Air mendidih. Kotaknya saya pegang: panas sekali. Uap didih keluar dari lubang kecil di penutup kotak. Sekitar 12 menit kemudian tidak ada uap lagi. Pertanda nasi sudah masak. Saya buka tutup kotak itu. Uap mengebul. Masih panas. Nasi panas. Kare panas. Merangsang selera makan pagi setelah satu malam kedinginan. Nasinya punel sekali. Seperti nasi Jepang. Saya tahu: ini berasnya pasti dari Tiongkok bagian Dongbei. Jagung ketan pun awalnya dari provinsi Heilongjiang dan sekitarnya. Rasa karenya sudah disesuaikan dengan lidah Tiongkok. Tidak terlalu menyengat –seperti di tempat asalnya, India. Banyak orang Tiongkok kini sudah suka kare. Itulah sarapan seharga sekitar Rp 50.000. Saya tidak menghabiskannya. Saya khawatir kembali diejek sebagai si tembem. Atau si perut buncit. Timbangan saya sudah 72 kg –turun 3 kg sejak di rumah bambu. Makanan instan kian banyak jenisnya. Juga kian disukai. Jangan-jangan begitu juga pemimpin instan. (<strong>Dahlan Iskan</strong>)
Sumber: