Mimpi Sungai
<strong>Oleh: Dahlan Iskan</strong> <strong>SAYA</strong> sudah menduga: akan digosipkan para perusuh Disway. Yakni soal tulisan-tulisan di Disway dua hari terakhir: kenapa begitu pendek. Indikasinya: saya mimpi menyeberangi sungai dengan air tipis yang bergemercik. Untungnya tidak ada kejadian digigit ular di sungai itu. Juga tidak ada adegan terjatuh ke air ketika saya seperti terpeleset batu kecil. Dalam mimpi itu saya bisa menyeberangi sungai dengan celana dan sepatu baru yang tetap kering. Mimpi itu penanda bahwa ternyata saya juga takut perusuh –di samping takut istri. Sampai terbawa ke mimpi. Sebenarnya saya ingin membela diri atas gosip itu. Ketua MK saja bisa membela diri, masak saya tidak. Tapi saya urungkan. Mungkin saya akan pilih menggugat saja para perusuh itu lewat PTUN. Isi gugatan akan berbentuk permintaan pengesahan pasal ini: ''menulis pendek lebih berat dari menulis panjang''. Hakim harus memutuskan dengan kalimat amar seperti itu. Ini ilmiah –meski tanpa penelitian. Saya bisa menulis panjang karena yang ditulis ada. Bahan yang akan ditulis tersedia. Lengkap. Bagus. Dramatis. Penuh human interest. Banyak unsur konfliknya. Mengandung hal-hal yang baru. Menulis panjang seperti itu mudah. Sambil menonton Piala Dunia pun bisa. Tapi bayangkan kalau suatu hari tidak punya bahan tulisan sama sekali. Tidak pula ada yang membantu belanja bahan. Waktu belanja pun tidak ada. Malam pun kian malam. Stres. Panik. Malu. Jadi satu. Hasilnya: tulisan pendek. Jelaslah menulis pendek lebih berat dari menulis panjang. Harusnya, di setiap tulisan pendek disertai ilustrasi meme jidat benjol ketabrak tiang listrik. Lebih pusing. Sebenarnya saya sudah hampir pasti bangun setiap pukul 03.00. Ada waktu untuk menulis. Tapi saya harus minum air putih dulu. Air hangat: suhu 45 derajat. Saya belikan istri teko kaca digital yang kalau disetel 45 derajat airnya akan selalu 45 derajat. Itu minum untuk obat pertama. Lalu ke toilet dan lain-lain. Setengah jam kemudian minum 45 derajat lagi. Untuk obat kedua. Maka pukul 04.00 saya sudah tahu: punya bahan tulisan untuk edisi besok atau tidak. Kalau sudah punya bahan, saya tenang. Bisa ditulis jam berapa saja. Tinggal tulis. Kalau belum punya bahan saya juga tenang: nanti siang kan bisa dapat bahan. Kadang siangnya bisa dapat bahan beneran. Kadang tidak. Kalau sampai tengah hari belum dapat bahan saya juga tenang: nanti sore akan dapat. Kalau sore belum dapat, masih juga tenang: nanti malam akan dapat. Ketika sampai pukul 20.00 belum dapat bahan, barulah mulai meriang. Telepon sana-sini. Sekuat-kuat keinginan untuk nonton Piala Dunia hanya bisa saya lakukan dengan cara melirik layar TV. Itu pun kalau teriakan komentatornya lagi memprovokasi. Persoalannya: saya punya pekerjaan pokok. Misalnya hari tulisan pendek itu. Pukul 05.00 saya sudah harus siap-siap olahraga. Lalu ada rapat umum pemegang saham. Saya sendiri yang minta: pukul 07.30. Mereka menawar pukul 08.30. Saya tidak bisa. Harus ke bandara. Ada tamu yang harus dijemput. Dari luar negeri. Dari tiga negara. Mereka kumpul di Singapura agar bisa berangkat bersama. Dalam keadaan normal saya bisa menulis di dalam mobil. Kang Sahidin yang pegang setir. Kali ini tidak bisa. Setir harus saya pegang sendiri. Tamunya empat orang. Sehari penuh saya harus menemani mereka. Bahkan saya lupa: sudah punya bahan tulisan atau belum. Tengah hari saya ajak mereka ke rumah: makan siang. Ibunya Azrul ingin memamerkan rendang wagyu, sop buntut plus-plus, kepala ikan sembilang Kalimantan, ikan pipih goreng Riau, sambal balacan, sambal hijau, dan sambal soto. Dua hari sebelumnya istri saya beli cabai 2 kg. Itu setelah dia saya beri tahu: salah satu tamunya dari Chengdu, Sichuan. Itulah provinsi juara pedas di Tiongkok. Istri mau bikin mereka kapok: bikin sambal terpedas dalam sejarah hidupnyi. Tamu satunya lagi, Anda sudah tahu: Meiling, dari Singapura. Istri saya akan menyiapkan oleh-oleh sambal untuk Meiling: tiga toples. Sudah jadi kebiasaannya. Acara berikutnya ke luar kota. Perjalanan dua jam. Balik lagi dua jam. Tiba kembali sudah malam. Masih pula harus menemani makan malam. Mereka ingin makan 火锅. Sudah pukul 19.00. Piala Dunia sudah mulai: Maroko lawan Iran. Ingin sekali nonton. Tidak bisa. Lalu ingat: belum punya bahan tulisan. Bahkan belum sempat memilih ''komentar pilihan''. Padahal sudah ditunggu oleh admin. Maka ketika mereka makan malam, saya buka HP. Saya pilih baca komentar. Lapar bisa ditunda, deadline tidak bisa. Kadang mereka bertanya: 好吗?Itu karena mereka melihat saya lagi tersenyum-senyum membaca komentar. Senyum bahagia dikala lapar. Makan malam hampir selesai. Memilih komentar pun selesai. Saya buru-buru ikut makan. Tinggal sisa-sisanya. Untung sisanya lebih banyak dari yang bukan sisa. Pukul 21.30 saya meninggalkan restoran. Mengantar mereka ke hotel. Sebelum berangkat, saya kirim WA ke admin Disway. Saya minta maaf. Tulisan belum terkirim. Bahkan belum saya tulis. Minta waktu. Agar ditunggu. Sampai rumah sudah pukul 22.00. Untung kamar tidur tidak dikunci istri. Saya lirik istri sebentar. Saya tinggal ke sofa: menulis. Menulis apa? Tidak tahu. Setelah berpikir sejenak muncullah ide. Green energy. Kurang menarik tapi sangat penting. Ada hal baru: PLTS terapung pertama. Ada negara penghasil minyak justru bangun PLTS terbesar di dunia. Lalu bagaimana semua itu sebenarnya menyusahkan PLN. Lalu ada KTT COP. "Suhu tidak boleh naik lagi melebihi 1,5 derajat" saya tulis "suhu harus turun 1,5 derajat". Setelah setengah jam menulis, HP saya terjatuh. Saya pun tergagap. Terbangun. Tulisan belum selesai. Harus saya selesaikan. Pun tanpa penutup yang dapat pujian. Dan saya pun mimpi menyeberangi sungai tanpa ular. (<strong>Dahlan Iskan</strong>)
Sumber: