Mental Health Pelajar Sebagai Generasi Sandwich di Tengah Gempuran Era Disrupsi
<strong>Oleh: Warhamna Ilham</strong> KESEHATAN Mental atau Mental Health merupakan kondisi kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial yang memungkinkan seseorang untuk mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam kehidupan, mampu bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta mampu memberikan kontribusi di lingkungannya. Kesehatan mental dipengaruhi oleh peristiwa dalam kehidupan yang meninggalkan dampak yang besar pada kepribadian dan perilaku seseorang. Di era disrupsi saat ini, di mana teknologi terus berkembang pesat dan pandemi global seperti COVID-19 merambah ke seluruh dunia, kesehatan mental menjadi semakin krusial. Tantangan ini tidak terkecuali bagi generasi sandwich, sebuah generasi yang harus menanggung beban merawat orang tua sambil menjalani tuntutan hidup modern. Generasi sandwich adalah istilah yang digunakan untuk menyebut generasi yang merawat orang tua mereka sambil juga memiliki tanggung jawab terhadap diri mereka dan anak-anak mereka sendiri. Mereka berada di tengah-tengah dua generasi, seperti "selai" di antara dua "roti". Dalam konteks disrupsi, peran ini dapat menjadi lebih kompleks dengan adanya perubahan sosial, ekonomi, dan teknologis. Era disrupsi membawa perubahan cepat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Para pelajar, khususnya generasi muda, mendapati diri mereka terjebak di antara tekanan dari berbagai arah. Mereka disebut sebagai generasi sandwich, terjepit di antara tuntutan dan tekanan dari kedua arah, baik dari tuntutan Akademis yang semakin ketat dan perubahan sosial, tekanan dan ekspektasi yang mungkin datang dari orang tua, maupun dari teman-teman sebayanya. Dalam konteks ini, kesehatan mental pelajar menjadi perhatian utama, karena mereka berusaha menavigasi kompleksitas hidup pada zaman ini. Menurut data Survei Kesehatan Mental Remaja Nasional Indonesia pada tahun 2022, sekitar 15,5 juta remaja atau sekitar 34,9% dari populasi remaja mengalami masalah mental. Selain itu, sekitar 2,45 juta remaja atau sekitar 5,5% menghadapi gangguan mental. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 2,6% yang memanfaatkan layanan konseling, baik untuk aspek emosional maupun perilaku. Generasi pelajar saat ini menghadapi tekanan akademis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sistem pendidikan yang kompetitif dan persaingan yang meningkat mendorong mereka untuk mencapai prestasi tertinggi. Kurikulum yang padat, ujian standar, dan tugas-tugas berat menjadi bagian sehari-hari dari kehidupan pelajar. Sebagai hasilnya, banyak di antara mereka mengalami stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Laporan Cross River menunjukkan bahwa 45% siswa mengalami stres setiap hari. Laporan tersebut lebih lanjut menyebutkan bahwa 61% remaja mengalami stres karena nilai yang buruk. Statistik ini sejalan dengan angka yang diterbitkan oleh American Institute of Stress. Stres terjadi ketika seorang siswa harus mengerjakan tugas dengan cepat dan menghadapi tuntutan yang berat. Hal ini menurut sebuah studi yang dilakukan oleh International Journal of Humanities and Social Science Invention. Laporan tersebut mencatat stres menyebabkan konsentrasi buruk dan kecemasan akademis. Di sisi lain, generasi pelajar juga harus mengatasi perubahan sosial yang cepat dan kompleks. Era disrupsi membawa transformasi dalam teknologi, budaya, dan nilai-nilai masyarakat. Pelajar dituntut untuk mengikuti perubahan ini sambil tetap memahami dan menjaga nilai-nilai tradisional. Tantangan ini dapat menciptakan konflik internal dan kebingungan identitas, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Dalam lingkungan di mana orang tua mungkin terlibat dalam pekerjaan penuh waktu, pelajar kadang-kadang merasa terasing dan kurang mendapatkan dukungan emosional. Mereka mungkin kesulitan mengekspresikan perasaan dan kekhawatiran mereka, karena terjebak di antara tuntutan akademis dan sosial. Keterbatasan waktu yang dihabiskan bersama keluarga dan teman-teman dapat memperburuk isolasi sosial, merugikan kesehatan mental mereka. Untuk mengatasi tantangan ini, Lingkungan pendidikan, keluarga, dan masyarakat harus bersatu untuk menciptakan solusi holistik yang mampu memahami dan mengatasi kompleksitas kesehatan mental pelajar, seperti; Mendorong pembentukan komunitas pendidikan yang mendukung, serta meningkatkan peran orang tua dan guru dalam memberikan dukungan emosional, Menyertakan program-program kesejahteraan mental dalam kurikulum pendidikan untuk membantu pelajar mengembangkan keterampilan pengelolaan stres dan ketahanan mental, Menyadari dampak stres akademis dan memberikan pendekatan yang lebih adaptif dan berorientasi pada pembelajaran daripada hanya menekankan hasil akademis, Meningkatkan kesadaran orang tua tentang tekanan yang dihadapi oleh anak-anak mereka, dan memberikan dukungan yang diperlukan di rumah. Kesehatan mental pelajar adalah aspek penting dalam mencapai keberhasilan akademis dan pengembangan pribadi yang seimbang. Dukungan dari segala pihak, termasuk lembaga pendidikan, orang tua, dan masyarakat, sangat diperlukan untuk memastikan bahwa pelajar dapat berkembang secara sehat dan produktif di tengah kompleksitas zaman yang terus berubah.
Sumber: