Ulang Tahun
<strong>Oleh: Dahlan Iskan</strong> TIBA-TIBA saya ingat tanggal 9 Februari. Saatnya Disway.id berulang tahun. Lima hari lagi. Ulang tahun ke berapa? "Pokoknya Disway.id lahir bertepatan dengan Hari Pers Nasional di Padang," ujar ordal Disway Joko Intarto (Jto) tadi malam. Lalu saya tanya Google: itu tahun berapa. Jawabnya: 9 Februari 2018. Berarti Disway.id akan berulang tahun yang keenam. Tidak terasa sudah enam tahun saya menulis artikel di Diaway.id. Setiap hari. Tanpa absen, pun sehari. Alhamdulillah. Berarti selama enam tahun itu pula saya tidak pernah sakit. Pernah. Kena Covid-19. Masuk RS selama satu minggu. Pernah. Sakit perut. Beberapa kali. Mencret-mencret. Sampai badan lemas sekali. Karena termakan makanan yang terlalu pedas. Mungkin karena sudah 17 tahun saya tidak punya organ empedu. Tapi sakit-sakit itu tidak membuat saya absen menulis. Bahkan dari rumah sakit itu lahir banyak tulisan --dua di antaranya viral luar biasa: soal D-dimer dan level vitamin D. Kalau tidak dirawat di RS saya tidak tahu bahwa D-Dimer saya di atas 2.000 --padahal normalnya maksimal 500. Saya juga baru tahu bahwa yang terkena Covid itu level vitamin D-nya rendah. Sejak itu saya konsumsi vitamin D 5000iu tiap hari. Level vitamin D saya pun sekitar 60 sekarang ini. Tapi D-dimer saya tetap saja tinggi: 1.600. Sudah mencoba banyak cara belum berhasil juga. Waktu sakit perut lebih susah: badan lemes, pikiran sulit konsentrasi. Tapi keharusan menulis hari itu mengalahkan semua itu. "Apakah tulisan saya di tahun pertama dan di tahun keenam ini masih sama?" "Berubah," jawab Jto. "Sekarang lebih banyak variasinya. Pembaca lebih senang," tambahnya. "Dulu terlalu serius," katanya lagi. Selama enam tahun itu rasanya hanya dua atau tiga kali saya sangat frustrasi: sampai ingin sekali berhenti menulis. Frustrasinya muncul malam hari --mendekati pukul 21.00. Itulah jam <em>deadline</em> saya: sudah harus kirim naskah ke admin. Dua atau tiga kali itu saya belum menemukan ide tulisan. Padahal sudah mendekati pukul 21.00. Judeg. Buntu. Mondar-mandir. Tetap buntu. Lalu muncul pertanyaan: kenapa sih harus menulis? Kenapa harus menyiksa diri seperti ini? Apa salahnya sesekali tidak menulis? Siapa sih yang mengharuskan? Kan tidak ada? Sulitnya lagi saya harus menjaga mutu tulisan. Satu tulisan harus memenuhi kaidah '’rukun iman'’ yang saya tentukan. Kalau mudah bersikap menurunkan mutu tulisan itu berbahaya: akan menjadi kebiasaan. Buruk sekali. Itu sulit: mempertahankan mutu. Apalagi kian lama ruang gerak saya juga kian sempit. Saya tidak bisa lagi menulis tentang Donald Trump. <div id="div-gpt-ad-multibanner1" data-google-query-id="COq0idXdkoQDFcJVnQkdWz4IcA"> Mengapa? Komentator seperti Bung Mirza sudah menuliskannya dengan baik. Cepat pula. Kadang justru saya yang kalah cepat. Bung Mirza juga sangat membantu saya soal perang di Gaza. Saya merasa tertohok ketika ada komentar yang mengkritik: kok saya belum juga menulis tentang perang di Gaza. Jujur: saya sulit mencari bahan yang bermutu. Maka ketika Bung Mirza menulis panjang tentang Gaza saya pun horeee... Langsung saya masukkan komentar pilihan. Tidak kangen komentator? Tentu saya kangen dengan komentar seperti dari Bung mBediun. Ia lama tidak muncul. Tanpa pamit pula. Semoga ia sudah bahagia di sana --entah di mana dengan siapa. Satu hilang seribu terbilang. Bahkan kian tahun rasanya kian banyak komentar yang bermutu. Sampai sulit memilihnya. Kadang terpikir juga: komentar pilihan saya terlalu banyak. Ada yang sampai 39. Rata-ratanya saja sekitar 25 --angka pastinya tunggu jurnal resmi dari Bung Fiona. Tentu saya tidak pernah menetapkan harus berapa yang dipilih. Berapa saja. Toh berapa pun tidak menambah biaya. Beda dengan di koran dulu --perlu kertas tambahan. Yang saya kaget: kok ada komentar yang dengan benar menebak apa latar belakang saya memilih komentar itu, itu dan itu. Ada yang karena benar-benar bermutu, karena lucu, karena menghormati karya sastra (puisi dan pantun), karena unik dan juga karena kesal hahaha. Apa pun langkah saya, kelihatannya memang sudah bisa ditebak. Termasuk mengapa saya suka durian mahal: karena gratis! Beda dengan Gaza, pembaca tampaknya paham mengapa saya menghindari politik. Tidak satu pun tulisan mengenai debat capres/cawapres. Justru ada yang berkomentar: tidak perlu saya ikut-ikutan menulis soal politik. Sudah terlalu banyak info soal itu. Bahkan berlebihan. Sampai inflasi. Tumpah ruah. Banjir bandang. Lima hari lagi kita berulang tahun. Tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas tidak mungkin dirayakan di stadion Gelora Bung Karno. <strong>(Dahlan Iskan)</strong> </div>
Sumber: