Kalah Takut
<strong>Oleh: Dahlan Iskan</strong> SAYA kalah pintar dengan Hendriyanto. Kami satu pesawat ke jurusan Jeddah. Juga satu jurusan dari Jeddah ke Madinah. Sama-sama pula naik kereta cepat. Saya pilih kereta pukul 15.00. Kamis lalu. Mantan wartawan IndoPos itu naik yang lebih awal: pukul 13.00. Bersama istrinya. Saya masih terpaku pengalaman lama: proses di imigrasi bandara Jeddah tidak bisa ditebak: berapa lama. Kalau naik kereta yang jam 13.00 khawatir tidak keburu. Dan lagi saya tidak pernah cari info: di mana stasiun keretanya. Berapa jauh dari bandara. Rencana saya: mengalir saja. Santai. Toh Madinah tidak akan lari dikejar. Pesawat berjendela dari Abu Dhabi itu ternyata sudah mendarat di Jeddah pukul 11.35. Di bandara baru. Beda dengan yang saya bayangan: masih di bandara haji. Di imigrasi pun saya salah lagi: proses pemeriksaan paspornya ternyata cepat. Sama dengan di mana-mana. Saudi sudah berubah. Termasuk imigrasinya. Perubahan yang nyata adalah petugasnya: semua wanita. Pakai burqah hitam. <em>Counter</em>-nya banyak sekali: lebih 20. Semua yang bertugas wanita. Kini imigrasi Saudi ternyata sudah mengutamakan pelayanan. <strong>Anda sudah tahu</strong>, dulu petugasnya banyak yang laki-laki. Saat memeriksa paspor pun sering ditinggal berbincang dengan temannya. Kadang sampai lama. Pakai upacara cipika-cipiki segala. Tidak lagi begitu. Kalau toh sedikit terhambat hanya karena proses sidik jari. Tidak bisa sekali jadi. Apalagi istri saya: sampai tangannyi beberapa kali disemprot cairan. Tangan saya pun sempat dipegang petugas: diarahkan. Agar posisinya lebih pas. Pun tidak berhasil. ''Mendung pada saatnya pasti bergeser''. Gagal bisa diulangi. Sampai berhasil. Segera menuju stasiun. Ternyata stasiun keretanya di ''situ'' saja. Jadi satu dengan bandara. Di depan tempat pengambilan bagasi. Wartawan yang kini jadi pengusaha IT itu langsung naik kereta. Saya termangu. Agak lama. ''Makan,'' kata saya. Kang Saridin, yang tahun lalu juga menjemput saya, tahu di mana makan nasi mandi dengan daging kambing yang enak. Masih pakai mobilnya yang tahun lalu. ''Saya juga baru pulang dari Madura,'' katanya. Saridin sudah 14 tahun di Jeddah. Jadwal pulangnya ke Madura ditepatkan dengan coblosan. Maka kami pun ngobrol soal kebiasaan lama pemilu di Madura. Yang pencopet pun bisa dirampok. Juga soal mengapa tokoh hebat Madura seperti Pak Mahfud Md bisa kalah telak pun di Madura. Bandara baru. Stasiun kereta cepat baru. Stasiunnya, dengan bandaranya, sama-sama istimewa. Kini tidak hanya Tiongkok yang hebat di bidang ini. Saya dapat gerbong 13. Paling belakang. Posisi tempat duduk kami di tengah. Berhadap-hadapan dengan penumpang lain. Ada meja di antaranya. Hanya jendelanya berbeda. Khususnya yang duduk di dekat jendela. Dua wanita. Dari Indonesia. Rupanya ibu dan anaknyi. Saya amati interior gerbong ini: bintang empat –Whoosh adalah bintang lima. Ketika masih baru. Saya amati layar komputer di depan itu: kecepatan maksimumnya 300 km/jam –Whoosh 350 km/jam. Sepanjang perjalanan dari bandara Jeddah ke Madinah hanya berhenti satu kali: di kawasan ekonomi khusus Jeddah. Di stasiun inilah rel kereta cepat yang dari Makkah ke Madinah bertemu. Juga yang dari stasiun Sulaimaniyah di pusat kota Jeddah. Tentu sepanjang perjalanan hanya bisa melihat padang pasir dan gunung batu. Jangan bandingkan dengan indahnya pemandangan luar jendela kereta Whoosh. Yang penting, perjalanan ini begitu efisien. Hanya 1,45 jam. Sudah sampai Madinah. Bandingkan dengan sebelum ada kereta cepat: lima jam dengan bus. Meski kalah pintar dari wartawan itu saya masih bisa salat Asar di Masjid Nabawi –tempat tinggal Nabi Muhammad di kala hidup beliau. Matahari sore masih tinggi. Apalagi hotel kami tepat di seberang gerbang No 316 masjid itu. Pada saatnya nanti saya ingin merasakan kereta di bagian timur Arab Saudi: antara Buraydah–Riyadh. Jaringan kereta di bagian timur kerajaan juga sedang dikembangkan ke berbagai kota sekitar. Kelak, jaringan barat (Makkah-Jeddah-Madinah) disambung ke jaringan rel yang di timur. Timur-barat Saudi ini seperti terpisah oleh gurun dan gunung batu yang membentang begitu luasnya. Tanpa kota, tanpa pohon, tanpa manusia, tanpa rest area. Sekarang ini dari Madinah ke Riyadh masih 12 jam: naik bus. Demikian juga dari Makkah ke Riyadh lewat Taif. Dengan kereta cepat jarak itu kelak tinggal tiga jam. Perasaan itu aneh. Sulit dimengerti. Perjalanan Jeddah-Madinah ini hanya 1,45 menit tapi rasanya lama sekali. Lebih lama dari 2,5 jam antara Abu Dhabi–Jeddah. Lain kali saya tidak akan takut lagi memepetkan jadwal di Jeddah. Negeri ini sudah menjadi negeri yang normal. <strong>(Dahlan Iskan)</strong>
Sumber: