Kasus Kekerasan Seksual di Kota Makassar Masih Tinggi
<strong>diswaysulsel.com, MAKASSAR </strong>- Kekerasan seksual yang terjadi di kota Makassar dalam dua bulan terakhir ini masih cukup tinggi. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Makassar mencatat ada sebanyak 69 kasus kekerasan seksual terhitung sejak Januari hingga Februari 2024. Hal tersebut diungkapkan Pelaksana tugas (Plt) kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) DP3A Muslimin Hasbullah beberapa waktu lalu. Data ini berdasarkan jenis kasus kekerasan terhadap (KT) anak dan perempuan masih mendominasi, dengan bentuk kekerasan yang diterima oleh anak dan perempuan itu berbeda-beda. “KT anak berjumlah 33 kasus, anak laki-laki 11 anak perempuan 22, KT perempuan 16 kasus, selebihnya ada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 8 kasus, Rekomendasi Nikah (RN) 6 kasus dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) sebanyak 4 kasus,” kata Muslimin. Sementara, berdasarkan bentuk kekerasan seksual dan fisik mendominasi di Kota Makassar. “Kekerasan seksual terhadap perempuan terdapat 29 kasus, kekerasan fisik kepada laki laki 9, perempuan ada 14, terhadap psikis ada 10 kasus, penipuan ada 2 kasus dan trafficking 1 kasus,” terangnya. Sebelumnya, Kepala DP3A Kota Makassar Achi Soleman mengatakan, terus berupaya melakukan pendampingan dan menghilang stigma pelecehan seksual (PS) sebagai aib, dengan mendorong shelter warga di lorong wisata milik Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar. “Kita bangun shelter ini untuk memudahkan warga melapor atau memudahkan kami mengkonfirmasi ke bawah jika ada kasus yang terjadi,” ujarnya kepada awak media di Hotel karebosi premier, Selasa (27/2/2024). Saat ini, kata Achi, sapaan akrabnya, sudah ada 85 shelter yang tersebar di 85 kelurahan yang ada di kota Makassar, dan ini akan terus bertambah. “Mekanisme shelter ini, dilakukan dari bawah ke atas. Berbasis di lorong wisata. Alasannya, karena lorong sel terkecil di masyarakat,” katanya. Kasus kekerasan pada anak dan perempuan bukan tanpa sebab, menurut pengamat Perempuan dan Anak, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Rahmawati Latief, penyebabnya utamanya adalah budaya patriarki dan rendah kesetaraan gender, yang dimana semua proses kebijakan dikeluarkan oleh pihak laki-laki sehingga menguntungkan mereka. Selain itu, pemahaman pendidikan lebih diutamakan kepada laki laki ketimbang perempuan, dan ini juga yang masih tinggi di kota Makassar “Budaya patriarki ini juga mengatur bahwa perempuan laki-laki jauh lebih diprioritaskan daripada perempuan ya seperti itu jadi budaya patriarki ini yang memang masih melekat ya khususnya di daerah-daerah ya,” ujarnya. “Dan jangan salah, sekali pun semakin modern masih banyak orang tua berpikir tidak terlalu penting pendidikan untuk anak perempuan karena dia akan masuk juga di area dapur, sumur dan kasur,” lanjut Rahmawati. Selain persoalan patriarki, kualitas hidup yang rendah yang di dalamnya ada faktor ekonomi rendah. Hal ini yang ini juga yang bisa menimbulkan kekerasan pada anak dan perempuan. Hal tersebut tidak dapat disepelekan karena menyebabkan pertengkaran yang tidak ada habisnya. “Jadi memang kalau dalam Islam itu dikatakan fakir itu dekat kepada kekufuran ya. Jadi Itulah sebabnya makanya sebuah keluarga yang baik itu harus berusaha agar bisa mapan secara ekonomis,” katanya. Tidak sampai di situ, Rahmawati Latief juga mengatakan, bahwa pola asuh kepada anak, baik dengan cara suami kepada istrinya untuk menjadi guru anaknya ataupun bimbingan orang tua, jika langka ini salah maka on the track. “Ya, kekerasan juga kan begitu, tidak sedikit anak-anak yang menjadi korban kekerasan dari orang tuanya sendiri, baik verbal atau nonverbal,”ungkapnya. Dalam pendidikan keluarga anak-anak harus diajarkan bentuk kekerasan, bagaimana menghadapi kekerasan dan tidak menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. “Anak anak itu peniru yang ulung, jika kita besarkan dia dengan memaki, dia juga akan memaki setelah keluar dari rumah, jika besarkan dia dengan memukul dia akan jadi pelaku pemukulan,” lanjutnya. Bukan hanya itu, sosial media yang tampilan kekerasan dengan terang terangan baik youtube, Facebook, twitter, televisi dan yang lainnya. Selain itu, sosial media juga masih menampilkan perempuan sebagai objek seksual baik tayangan iklan, film dan konten produk-produk media massa. “konten-konten media massa ya atau kata yang tayangan film ya yang tidak mencerminkan bagaimana perempuan dan anak itu diperlakukan sebagaimana mestinya," ungkapnya. Kata Rahmawati media massa seperti sekeping mata uang memiliki dua sisi, satunya bisa menjadi cerminan bagi masyarakat, yang lainnya menjadi panutan bagi masyarakat. "Sehingga perlu bijak dan kehati hatian dalam menggunakannya,” tutup Rahmawati. (Jun)
Sumber: