Parkir Liar: Tantangan Akuntansi dan Hukum Pajak dalam Pengelolaan Retribusi Parkir
<strong>Oleh: Muh Akbar Fhad Syahril dan Hamida Hasan, Dosen Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada</strong> PARKIR liar merupakan fenomena yang kerap ditemui di berbagai kota besar di Indonesia. Keberadaan parkir liar tidak hanya mengganggu ketertiban lalu lintas, tetapi juga menimbulkan tantangan serius dalam perspektif akuntansi dan hukum pajak, serta berdampak signifikan terhadap pengelolaan retribusi parkir. Pajak parkir dan retribusi parkir memiliki perbedaan mendasar dalam hal objek dan proses pemungutannya. Pajak parkir dikenakan pada pengguna lahan parkir yang disediakan oleh pengusaha parkir di luar badan jalan, seperti di gedung atau pelataran parkir milik swasta atau pemerintah. Sebaliknya, retribusi parkir dikenakan pada pengguna layanan parkir yang disediakan oleh pemerintah daerah, seperti parkir di tepi jalan umum atau tempat khusus parkir yang dikelola oleh pemerintah daerah. Parkir liar sering kali tidak tercatat dalam sistem resmi dan retribusinya masuk ke kantong pribadi, bukan ke kas daerah. Hal ini menyebabkan kebocoran pendapatan yang seharusnya menjadi bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai contoh, di Kota Parepare, parkir liar di badan jalan menyebabkan pendapatan daerah tergerus karena retribusi yang seharusnya masuk ke kas daerah malah masuk ke kantong pribadi. Fenomena ini juga terjadi di berbagai kota lain di Indonesia, di mana petugas parkir ilegal menarik retribusi tanpa menyerahkan karcis parkir, sehingga pendapatan dari retribusi parkir tidak optimal. Dari perspektif akuntansi, parkir liar menimbulkan tantangan dalam pencatatan dan pelaporan keuangan daerah. Ketidakjelasan dalam pendataan dan pengawasan parkir liar menyebabkan kesulitan dalam mengestimasi pendapatan yang hilang. Selain itu, parkir liar juga mengganggu transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Akuntansi yang baik memerlukan data yang akurat dan lengkap, namun parkir liar menyebabkan data yang diperoleh menjadi tidak valid dan tidak dapat diandalkan. Hal ini mengakibatkan laporan keuangan daerah tidak mencerminkan kondisi sebenarnya, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dan perencanaan anggaran. Pengelolaan retribusi parkir diatur dalam berbagai regulasi, seperti Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di Kota Parepare, pengelolaan retribusi parkir diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Kota Parepare Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Regulasi ini menetapkan bahwa retribusi parkir merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan masyarakat. Regulasi ini juga mengatur mekanisme pemungutan, pelaporan, dan pengawasan retribusi parkir untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi parkir liar, termasuk penertiban dan pengawasan yang lebih ketat. Misalnya, di Kota Parepare, Dinas Perhubungan melakukan patroli rutin dan tindakan hukum seperti penertiban juru parkir liar. Selain itu, pemerintah juga memberikan arahan kepada juru parkir liar untuk mendapatkan legalitas dalam memungut retribusi parkir. Parkir liar mengurangi efektivitas pemungutan retribusi parkir karena banyaknya retribusi yang tidak masuk ke kas daerah. Di Kota Parepare, pengawasan yang dilakukan oleh UPTD setempat menunjukkan bahwa parkir liar sangat mengganggu pelaksanaan retribusi parkir resmi. Hal ini menyebabkan target pendapatan dari retribusi parkir tidak tercapai dan mengurangi potensi PAD. Media massa memiliki peran penting dalam sosialisasi kebijakan retribusi parkir dan penertiban parkir liar. Informasi yang disampaikan melalui media massa dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya membayar retribusi parkir secara resmi dan dampak negatif dari parkir liar. Penertiban parkir liar menghadapi berbagai kendala, termasuk kurangnya kesadaran masyarakat dan keterbatasan sumber daya manusia di dinas perhubungan. Di Kota Parepare, meskipun sudah ada regulasi yang mengatur penertiban parkir liar, pelaksanaannya masih belum maksimal karena kurangnya kesadaran masyarakat dan keterbatasan SDM. Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk menanggulangi parkir liar antara lain adalah legalisasi titik-titik parkir tertentu, peningkatan pengawasan, dan pemberian sanksi yang lebih tegas. Di Kota Parepare, pemerintah sedang mempertimbangkan untuk melegalkan titik-titik parkir tertentu yang sebelumnya dilarang dengan harapan dapat meningkatkan retribusi yang masuk ke PAD. Efektivitas kebijakan penertiban parkir liar sangat bergantung pada konsistensi dan ketegasan dalam pelaksanaannya. Namun, kembali lagi bahwa keberhasilan kebijakan tentunya memerlukan dukungan dari semua pihak, termasuk masyarakat dan aparat penegak hukum. Parkir liar tidak hanya berdampak pada keuangan daerah, tetapi juga menimbulkan dampak sosial seperti kemacetan lalu lintas dan ketidaknyamanan bagi pengguna jalan lainnya. Di Kota Parepare, parkir liar di badan jalan menyebabkan gangguan terhadap keamanan dan kenyamanan pengguna jalan lainnya. Parkir liar merupakan tantangan serius dalam pengelolaan retribusi parkir dari perspektif akuntansi dan hukum pajak. Keberadaan parkir liar menyebabkan kebocoran pendapatan daerah, mengganggu transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, serta menimbulkan dampak sosial yang merugikan. Upaya pemerintah dalam mengatasi parkir liar melalui regulasi dan inovasi teknologi perlu didukung oleh kesadaran dan partisipasi aktif dari masyarakat. Dengan demikian, pengelolaan retribusi parkir dapat lebih efektif dan berkontribusi optimal terhadap PAD.
Sumber: