Membaca Azhar di Makassar
<strong>Oleh: Wawan Mattaliu</strong> 14 Februari 2023, tak ada valentine day di Makassar. Hujan yang datang sehari sebelumnya melumpuhkan hampir seluruh kota. Ada 2293 warga malah menjadi pengungsi. Curah hujan yang tinggi dan air laut yang pasang menjadi penyebabnya menurut pemerintah. Tata ruang yang salah menurut Walhi. Ruang Terbuka hijau yang sangat minimal. Dan seabrek alasan lainnya berdengung. Tapi peristiwa ini tak sekali saja. Di 5 tahun terakhir, hujan 2 jam bisa melumpuhkan Pettarani dan Urip Sumoharjo. Pada saat tertentu banjir mengambil alih kota terbesar di Indonesia Timur ini. Di catatan lain, rentang 2022-2023, ada 195 kasus perang antar kelompok. Catatan yang datang dari Polrestabes ini menunjukkan adanya retakan sosial. Bisa jadi pula karena tidak akseleratifnya kemampuan kota menunjang urban yang sangat progresif. Belum lagi soal darurat sampah, air bersih, intrusi air laut dan kemacetan yang makin awet. Beruntunglah bahwa di tengah proses sengkarut itu, Makassar didaulat sebagai kota terhappy yang ke 234 dari 250 kota yang terbaca dalam happy city index. Hari ini, Makassar sebagaimana daerah lain, terjebak dalam teror visual. Hampir setiap jengkal menawarkan senyum orang-orang yang akan mewakafkan dirinya menjadi solusi dari berbagai persoalan. Lengkap dengan tagline. Tapi bagi saya, senyum dan tagline hanya benda permukaan, sejatinya kita telah diperhadapkan dengan narasi-narasi besar yang solutif. Dan biarlah publik menyelami track record setiap orang itu, mempertemukan gagasan-gagasannya dengan kelampauannya. Beberapa partai sudah mulai mengambil sikap. Juga PKB Makassar yang dengan bulat mendorong Azhar Arsyad. Sekedar catatan, PKB Makassar adalah partai dengan progresivitas yang mentereng. Dari satu kursi di 2019 menjadi 5 di 2024. Menjadi menarik, karena Azhar menjadi satu-satunya kandidat yang datang dari lingkaran volunterism. Lingkaran yang sangat percaya bahwa kesetaraan sanggup melahirkan pranata yang berkeadilan. Dirinya tak merepresentasikan sebuah simpul bisnis, apalagi konglomerasi. Azhar menghabiskan 2/3 usianya untuk pemberdayaan masyarakat. Sejak tahun 2000 dirinya sibuk melakukan pendampingan pada kualitas siswa dan guru SD juga Tsanawiah melalui DBE USAID dan SIPS CIDA sekaligus mengembang amanah sebagai koordinator FIK ORNOP Sulsel. Aktifis ini lahir dari seorang guru. Mungkin itul pulalah yang memengaruhinya dengan kuat, bahwa pendidikan adalah sarana fundamental untuk meningkatkan kesejahteraan. Bahkan sampai saat ini, gugatannya pada dunia pendidikan yang tak adil terus saja didengungkan. Keseriusan atas pendidikan itu pula yang mengantarnya ke Australia dan Amerika, menemukenali sistem pendidikan yang bisa dielaborasi dengan tanah Sulawesi. Azhar muncul tak instan, berbagai lembaga mematangkannya dengan baik. KNPI Sulsel, GP Ansor, PB. DDI, PMII, PKB dan berbagai lembaga menjadi kawah candradimuka yang menbentuknya. Semua itu mendidiknya untuk bergerak secara egaliter. Tukang parkir, guru honorer, wartawan, aktifis sampai ke elit politik Sulsel kerap ada di ruangannya. Sebagian besar hanya sekedar silaturrahim yang penuh tawa. Beberapa pula datang memberinya ucapan selamat atas capaiannya sebagai ketua PKB Sulsel yang bertengger di top five. Azhar menjawabnya, bahwa itu hasil kerja semua orang di PKB. Sebuah pernyataan yang tegas atas kecintaannya pada kerja-kerja kolaboratif. Kerja yang berjejaring secara bermartabat. Maka sah saja, jika beberapa kalangan berterimakasih kepada PKB Makassar yang telah memberi opsi kandidat yang rekam jejaknya terang untuk di baca. Tokoh yang keberpihakannya pada publik masih didiskusikan sampai sekarang. Seorang pemimpin yang terus kokoh pada ikhtiar PKB sebagai partai yang menempatkan issue ekologis secara primer. Persoalan yang tersisa adalah ketika Pilwali Makassar diukur oleh kapasitas ketajiran. Mungkin Azhar tak ada di lima besar. Kecuali jika sepakat bahwa pemimpin Makassar ke depan adalah tokoh yang sanggup menuntaskan problem-problem dasar yang muncul. Seseorang yang bisa kita bayangkan mengantar Makassar tidak saja sebagai kota dunia, tapi menjadi rumah hangat yang berkeadilan bagi 1,47 juta jiwa penduduknya. Maka H. Azhar Arsyad, SH, MH pantas dan layak ada di situ.
Sumber: