Liberalisme Cengkeram Siswa Miskin

Liberalisme Cengkeram Siswa Miskin

<strong>Oleh: Salim</strong> <strong>ANAK-ANAK</strong> Indonesia adalah aset yang berharga. Merekalah yang akan menjadi nakhoda penentu masa depan bangsa dalam mengarungi bahtera kehidupan untuk meneruskan perikehidupan yang layak bagi umat manusia. Dampak globalisasi di satu sisi berjasa membuat hidup manusia lebih berkemajuan, secara progresif akibat perkembangan teknologi dan informasi, transportasi maupun komunikasi yang menghubungkan antara manusia yang satu dan yang lain tanpa batas baik secara fisik maupun nonfisik secara moral maupun tanpa moral. Di sinilah globalisasi telah menciptakan penderitaan yang lebih menyakitkan. Tanpa disadari, globalisasi telah banyak melahirkan pecundang daripada pemenang, perang berkecamuk di berbagai belahan dunia, runtuhnya ekonomi di beberapa kawasan dan pada akhirnya muncullah persaingan langsung ”setiap manuisa adalah musuh bagi lainnya” seperti yang disampaikan Thomas Hobbes. Globalisasi tanpa arah merupakan kejahatan kemanusiaan yang mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan melalui pelipatgandaan kemiskinan dan pemiskinan. Ketidakadilan global itu merupakan representasi kontemporer dari apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Yaitu, Qarun, Firaun, Haman, dan Samiri. Mereka suka berdalil, tetapi tujuannya untuk memanipulasi doktrin-doktrin dan hukum-hukum agama untuk eksploitasi kaum fakir miskin dan mustadh’afin. Melalui cara itu, mereka mendapatkan keuntungan finansial dan material dari Qarun, Firaun, dan Haman globalisasi neoliberalisme yang menjadi patronnya. Itulah tipikal agamawan candu seperti apa yang disampaikan Karl Marx, agama adalah opium bagi masyarakat karena ia meninabobokan mereka dalam kesadaran palsu dan membuat mereka lemah, letih, dan lesu gairahnya untuk bangkit melawan kemiskinan, pemiskinan, dan penindasan. Hasil penelitian beberapa tahun lalu, kreativitas anak-anak Indonesia berusia 10 tahun adalah terendah di antara anak-anak seusianya dari delapan negara lainnya. Studi tersebut memang belum menggambarkan secara utuh keadaan motivasi siswa dan guru sebagai pilar utama keberhasilan pembangunan SDM di Indonesia. Bagi golongan miskin, pendidikan merupakan persoalan yang dilematis. Di satu pihak, kemiskinanlah yang membuat mereka tidak bisa bersekolah. Di lain pihak, karena tidak bersekolah, mereka sulit untuk bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Pendidikan yang ditujukan kepada equality in education dan equity in education tampaknya belum beriringan, bahkan dikatakan saling berseberangan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Meski, tujuan negara dalam UUD 1945 yang ketiga adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang memastikan bahwa seluruh warga negara Indonesia memiliki kesempatan dan akses ke pendidikan yang layak dan berkualitas. Tujuan itu bukan hanya tanggung jawab negara dan pemerintah, melainkan juga seluruh warga negara Indonesia. Namun, asas educational for all yang sering digaungkan juga masih berhadapan dengan perlakuan diskriminasi masyarakat atas dasar golongan dan status dalam memperoleh keadilan serta kesempatan pendidikan. Negara-negara di dunia gagal hadir mengatasi persoalan pendidikan dari anak-anak termiskin. Dengan begitu, mereka mengecewakan dirinya sendiri. Demikian kata Direktur Eksekutif Unicef Henrietta Fore. Melalui analisis data dari 42 negara, Unicef menemukan bahwa ”dana pendidikan untuk anak-anak dari 20 persen keluarga kaya dialokasikan hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah dana pendidikan untuk anak-anak dari 20 persen keluarga miskin”. Kita tengah berada di titik kritis. Jika kita berinvestasi dan adil dalam pendidikan anak, kita akan memiliki peluang terbaik untuk mengangkat anak-anak keluar dari kemiskinan. Yaitu, dengan memberikan keterampilan yang mereka butuhkan, bahkan mengakses peluang kerja dan menciptakan peluang baru bagi mereka sendiri. <strong>SISTEM PENDIDIKAN</strong> Situasi deprivasi orang-orang miskin bukan semata pada urusan perut dan kesehatan, tetapi juga masalah pendidikan. Untuk menjadi melek huruf pun, mereka sulit setengah hidup. Banyak orang miskin yang tidak sanggup menyekolahkan anak-anaknya secara layak. Angka putus sekolah dari tahun ke tahun makin meningkat, bahkan bunuh diri, karena malu menunggak membayar SPP, tidak mampu bayar iuran, dan lain-lain. Pendidikan inklusi bukan untuk orang yang berat membayar uang gedung dan SPP. Alhasil, sudah miskin, bodoh pula… Dijamin, indeks pembangunan SDM insani akan kian karut-marut di negeri ini. Lembaga pendidikan harus mampu menatap masa depan perkembangan ilmu pengetahuan dengan mandiri dan otonom seperti apa yang pernah disampaikan Ki Hadjar Dewantara dengan asas zelf bedruiping yang artinya ”mengelola sendiri dengan sumber sendiri”. Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa proses pembudayaan bertujuan membangun kehidupan individual dan sosial. Apakah sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi telah berhasil membangun itu? Justru malah Finlandia yang menerapkan itu dan menjadi negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik untuk warganya. Budaya bangsa sendiri seharusnya dipakai sebagai petunjuk jalan untuk mencari penghidupan baru yang selaras dengan kodrat bangsa dan akan memberikan kedamaian dalam hidup. Dengan keadaan tersebut, bangsa ini akan pantas berhubungan bersama-sama dengan bangsa lain. Saat akan mencontoh sistem pendidikan di Finlandia, kita semestinya, pertama, menjadikan profesi guru yang sangat dihormati memiliki otonomi yang besar dalam menentukan konten pengajaran. Kedua, pemerintah mewujudkan ”setiap sekolah adalah sekolah baik”. Ketiga, Finlandia mengejar kesetaraan, bukan kesempurnaan. Juga, berusaha mendorong kooperasi, bukan kompetisi. Keempat, saat penulis mengunjungi Finlandia pada 2022, setiap masyarakat gemar membaca dan menggunakan closed loop system yang mendukung lifelong learning. Kini Finlandia akan menerapkan metode terbaru dengan meniadakan mata pelajaran dengan fokus pada kerja sama kelompok dan pemecahan masalah yang telah diterapkan pada pendidikan awal. Maka, kita akan jauh tertinggal bila tidak berbenah dari sekarang. Meski ada sekolah gratis dengan didukung bantuan operasional sekolah yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dengan mengurangi anak putus sekolah, biaya-biaya yang lain membengkak. Misalnya, biaya baju seragam, alat tulis, buku-buku, dan kursus ektrakurikuler. Standardisasi yang pernah diberlakukan dengan menjadikan negara-negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development/Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) sebagai acuan memperlihatkan ratifikasi TRIPs (trade related aspects of intellectual properties) WTO memaksa Indonesia untuk bertekuk lutut di hadapan liberalisme. Potensi-potensi lokal dimatikan. Indonesia dengan budaya masyarakat petaninya terpinggirkan. Padahal, siswa Indonesia hidup dalam lingkungan alam melimpah sehingga seharusnya memiliki sumber daya petani yang baik. Akibatnya, pada saatnya nanti tidak ada lagi yang tertarik menjadi petani. Jika kita menerima bahwa pengetahuan dasar itu adalah keterampilan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, kita dapat mengatakan bahwa kemiskinan terjadi pada mereka yang buta huruf dan gagal mencapai setidaknya pendidikan dasar secara penuh. (<strong>Salim)</strong>

Sumber: