Bonus Demografi di Era Indonesia Emas 2045, Berkah atau Musibah?

Bonus Demografi di Era Indonesia Emas 2045, Berkah atau Musibah?

<strong>Oleh: Sukarijanto</strong> <strong>BERDASAR</strong> proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2035 penduduk Indonesia berjumlah 305,6 juta jiwa. Jumlah itu meningkat 28,14  persen dari tahun 2010 sebanyak 238,5 juta jiwa. Pada 2030 hingga 2040, penduduk usia produktif (15–64 tahun) akan menjadi lebih dominan daripada usia nonproduktif (65 tahun ke atas), yakni mencapai lebih dari 60 persen dari total populasi Indonesia. Bonus demografi, yang menjadi fokus perencanaan pemerintah, merupakan fase kritis yang memerlukan strategi matang untuk memaksimalkan potensinya. Konsep bonus demografi merujuk pada fenomena saat kelompok usia produktif mengalami peningkatan signifikan, yakni usia 15 hingga 64 tahun. Sesuai penegasan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, pemerintah tengah merancang berbagai program untuk mencapai Visi Indonesia Emas 2045. Bonus demografi memang akhir-akhir ini getol menjadi perbincangan di berbagai forum. Sebagaimana diketahui saat ini, sebagai negara berkembang, Indonesia tengah mengalami fase itu dalam sejarah demografisnya. Istilah bonus demografi memang menarik dan seolah menjadi harapan Indonesia untuk generasi mendatang. Namun, tentu saja, istilah itu sekaligus bagai pisau bermata dua. Ada keuntungan, tapi juga disertai dengan tantangan. Istilah bonus demografi kali pertama dipaparkan ekonom Universitas Harvard, yaitu David Bloom dan David Canning. Dalam bahasa Inggris, istilah itu disebut demographic dividend atau demographic bonus. Istilah tersebut merujuk pada kondisi saat jumlah penduduk usia produktif melampaui jumlah penduduk yang terlalu muda atau terlalu tua. Bonus demografi adalah keuntungan ekonomi yang disebabkan penurunan rasio ketergantungan sebagai hasil turunnya fertilitas jangka panjang. Keuntungan yang diperoleh dengan adanya bonus demografi adalah melesatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara karena perubahan struktur usia penduduknya. Bonus demografi terjadi ketika kelompok usia produktif, yang biasanya berada dalam rentang usia 15–64 tahun, memiliki proporsi yang signifikan dalam struktur demografi suatu populasi. Umumnya, fenomena itu menciptakan kondisi penuh potensi untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan jika mampu dikelola dengan baik. Sebab, bonus demografi adalah faktor pendorong yang kuat dalam pertumbuhan ekonomi yang berkontribusi lebih besar dari segmen usia produktif. Kendati begitu, perlu kita ingat juga bahwa kondisi itu bukanlah jaminan pertumbuhan yang luar biasa untuk sebuah negara. Dalam konteks persaingan global yang kian kompetitif, faktor-faktor seperti pendidikan yang berkualitas, pelatihan keterampilan, dan lingkungan bisnis yang kondusif menjadi penentu utama apakah bonus demografi akan menghasilkan dampak positif atau sebaliknya, menjadi bumerang. <strong>Ada beberapa dampak positif yang diciptakannya. </strong> Pertama, peluang tenaga kerja yang relatif berkualitas bagi perusahaan untuk mencari karyawan yang berkompeten. Hal itu memberikan keuntungan bagi calon pekerja yang berada dalam usia produktif. Juga, momentum tepat bagi perusahaan dan calon pekerja untuk mengoptimalkan peluang itu untuk meraih keuntungan. Kedua, mendongkrak produk domestik bruto (PDB) karena usia produktif mengambil peran terbesar dalam aktivitas pertumbuhan ekonomi. Ketiga, meningkatkan tabungan masyarakat dan sosial. Meningkatnya penduduk usia produktif yang bekerja akan menaikkan tingkat pendapatan yang pada gilirannya mengatrol tingkat kesejahteraan dan kemakmuran. Keempat, merupakan embrio generasi emas yang secara strategis diharapkan bertanggung jawab dan mampu mengelola aktivitas ekonomi dan sosial demi kelangsungan hidup bernegara. Terlebih, keberlangsungan regenerasi merupakan faktor determinan bagi sistem pertahanan sebuah bangsa. Selain dampak positif, jika tidak dikelola dengan baik. <strong>Bonus demografi memunculkan dampak negatif.</strong> Pertama, dengan jumlah usia produktif mencapai 60–70 persen dari total penduduk, jika peluang kerja tidak sepenuhnya bisa tersalurkan secara efektif, angka pengangguran dapat melonjak tajam. Bursa lowongan kerja sangat terbatas, sedangkan suplai tenaga kerja melimpah. Ketidakseimbangan itu berpotensi memicu naiknya angka kriminalitas akibat pengangguran. Tindakan antisipatif, seperti perencanaan peluang kerja dengan suplai tenaga kerja sejak dini, menjadi aspek penting untuk mencegah dampak negatif ini. Kedua, bonus demografi merupakan peluang strategis bagi Indonesia untuk mempercepat pembangunan dengan dukungan sumber daya manusia (SDM) usia produktif yang melimpah. Terutama mengingat adanya agenda besar pembangunan berkelanjutan tahun 2030, yang dicanangkan sebagai sustainable development goals (SDG’s). Sejalan dengan tujuan itu, pemerintah telah menetapkan Visi Indonesia Emas 2045 dengan harapan menciptakan generasi produktif yang berkualitas. Pembangunan ekonomi difokuskan pada upaya penyeimbangan antara lapangan pekerjaan dengan suplai tenaga kerja berkualitas agar bonus demografi dapat dimanfaatkan secara optimal. Penting untuk disadari bahwa kegagalan dalam memanfaatkan bonus demografi mengakibatkan kehilangan momentum, yang pada gilirannya dapat menggiring negara ke fase aging population. Ketiga, dengan besarnya komposisi individu berusia produktif, potensi munculnya inovasi dan kreativitas dalam berbagai sektor ekonomi menjadi lebih tinggi. Fenomena demografi itu idealnya bisa menciptakan kondisi yang mendukung perkembangan teknologi dan ide baru yang diharapkan mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Dibandingkan dengan beberapa negara Asia, Indonesia relatif terlambat memasuki momentum bonus demografi. Kita tengok Tiongkok. Negara itu berhasil memanfaatkan bonus demografi dengan baik di akhir abad ke-20. Tiongkok mengalami lonjakan signifikan dalam jumlah penduduk usia produktif akibat kebijakan satu anak yang diberlakukan sejak 1979. Pertumbuhan tenaga kerja di usia emas ditambah dengan reformasi ekonomi yang dimulai pada 1980-an menjadikan Tiongkok menjadi pusat manufaktur dunia. Kemudian, disusul Korea Selatan mengalami bonus demografi pada 1960-an hingga 1990-an. Pemerintah Korea Selatan mengambil langkah-langkah signifikan untuk memanfaatkan fenomena itu dengan berinvestasi besar-besaran dalam pendidikan dan infrastruktur. Penduduk usia produktif yang terdidik dan terampil menjadi pendorong utama industrialisasi cepat di negara itu. Korea Selatan berubah dari negara berkembang menjadi salah satu ekonomi terbesar di dunia dalam waktu relatif cepat, terutama di sektor industri teknologi dan otomotif yang kini tak bisa dipandang sebelah mata. Tak ketinggalan, India saat ini berada di tengah-tengah periode bonus demografi. Dengan lebih dari 50 persen penduduknya berusia di bawah 25 tahun, India memiliki salah satu populasi muda terbesar di dunia. Pemerintah India sangat menyadari fase emas itu dan berusaha memanfaatkan potensi melalui inisiatif. Misalnya, ”Made in India” dan ”Digital India” yang bertujuan membangun kesadaran kemajuan bangsa dan meningkatkan keterampilan teknologi sumber daya manusianya. Keberhasilan sebuah negara dalam mengelola bonus demografi yang memiliki proporsi penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan dengan proporsi penduduk usia nonproduktif (anak dan lanjut usia) niscaya mendorong negara tersebut menjadi kekuatan ekonomi dunia yang diperhitungkan. Demikian pula Indonesia memiliki peluang yang sama dengan tiga negara di atas dalam memanfaatkan momentum agar pengelolaan bonus demografi menjadikan sebagai berkah dan bukan musibah. (Sukarijanto)

Sumber: