Joe Biden Mundur dari Pilpres AS, Bagaimana Pasar Indonesia?
<strong>Oleh: Sukarijanto, Direktur di Institute of Global Research for Entrepreneurship & Leadership</strong> CALON PRESIDEN Amerika Serikat dari Partai Demokrat sekaligus petahana Joe Biden secara mengejutkan mengumumkan pengundurannya dari Pemilu 2024. Keputusan itu diambil saat Biden menjalani isolasi mandiri di rumahnya di Rehoboth Beach, Delaware, setelah dinyatakan positif Covid-19. Menurut sumber-sumber internal, Biden menghabiskan liburan akhir pekan sembari memikirkan tekanan dari Partai Demokrat yang memintanya mundur dari pencalonan. Biden mencermati data jajak pendapat yang menunjukkan makin kecilnya peluang dirinya untuk menang pada kontestasi pilpres mendatang. Setelah menelaah data tersebut, Biden berubah pikiran dan mengumpulkan tim senior Gedung Putih serta tim kampanyenya untuk mengumumkan pengunduran dirinya kepada publik pada Minggu, 21 Juli 2024. Dalam panggilan tersebut, Biden membacakan surat yang kemudian dirilis ke publik. Keputusan itu diambil setelah partainya kehilangan kepercayaan para konstituennya dan meragukan kecakapan Joe Biden mengalahkan musuh bebuyutannya dari Partai Republik yang juga mantan Presiden AS Donald Trump yang dinilai banyak pengamat memiliki peluang besar menang. Kilas balik ke belakang, ketika Joe Biden telah memenangkan Pilpres 2021 AS, pelantikan Joe Biden disambut baik oleh pelaku pasar. Itu, antara lain, terlihat dari indeks saham AS Dow Jones yang saat itu mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah di 31.188. Saat itu indeks Dow Jones naik 1,90 persen. Pasca dilantik sebagai presiden, Biden bergerak cepat mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menopang ekonomi AS pada masa pandemi. Biden mengeluarkan proposal stimulus jumbo sebesar USD 1,9 triliun. Selain itu, Biden sudah menyiapkan paket kebijakan positif lainnya. Seakan mendapat berkah kemenangan Biden, kebijakan tersebut dianggap cukup menguntungkan negara emerging market, termasuk Indonesia. <strong>Ada beberapa efek positif stimulus yang dirilis Joe Biden. </strong> Pertama, adanya kenaikan tax cuts and jobs act (TCJA) menjadi 28 persen dari sebelumnya 21 persen. Kenaikan pajak itu dapat membuat investor menoleh ke negara dengan tax yang lebih murah dan menggiurkan. Dampaknya, earning per share (EPS) growth turun ke depannya. Dengan demikian, ada potensi aliran investasi dari AS ke global market lainnya, termasuk ke Indonesia. Kedua, stimulus besar yang dikeluarkan Biden dapat membuat kurs dolar AS melemah. Sebab, jumlah dolar yang beredar lebih banyak. Itu berdampak positif bagi Indonesia karena rupiah bisa menguat. Selain itu, berdampak positif bagi perusahaan yang memiliki utang dengan mata uang dolar AS dan banyak mengimpor bahan baku. Selain itu, saham-saham emas dapat terkena dampak positif. Pelemahan dolar AS akan meningkatkan harga emas global sehingga menjadi katalis positif bagi saham emiten yang memproduksi emas. Pelemahan dolar AS juga memberikan dampak positif ke ekonomi riil dan pertumbuhan ekonomi global. Dengan demikian, berpotensi positif juga untuk harga komoditas pada umumnya. Ketiga, Biden fokus pada green energy. Dampaknya adalah dorongan bagi industri kendaraan listrik kian besar. Dengan demikian, ambisi Indonesia memiliki industri baterai kendaraan listrik terbesar di dunia mendapat angin. Terlebih, Indonesia saat ini merupakan produsen nikel terbesar. Seperti diketahui, sekitar 29 persen dari total produksi nikel dunia berasal dari Indonesia. Nikel merupakan bahan baku utama baterai kendaraan listrik. Saham emiten yang memproduksi nikel berpotensi terdorong melaju kencang oleh kebijakan itu. Namun, saat ini saham emiten produsen nikel sudah memiliki risiko tinggi karena valuasinya kian mahal. Secara umum, IHSG berpotensi rawan profit taking setelah naik sekitar 36 persen dari bulan sebelumnya. Namun, kini, pengunduran diri Biden pada kontestasi pilpres AS mendatang apakah membawa konsekuensi negatif pada pasar Indonesia? <strong>MEMICU VOLATILITAS</strong> Fenomena mundurnya Presiden AS Joe Biden dari kontestasi pilpres AS mendatang langsung direspons pasar di beberapa pasar mata uang dunia. Pertama, rupiah cenderung menguat terhadap dolar AS pada perdagangan pada 23 Juli 2024. Nilai tukar (kurs) rupiah langsung dibuka menguat 23 poin atau 0,14 persen dan bertengger di level Rp 16.197 jika dibandingkan dengan sebelumnya di level Rp 16.220 per dolar AS. Kedua, respons berbeda terjadi pada seteru dagang AS, yakni Tiongkok yang melalui bank sentral Tiongkok memutuskan untuk menurunkan suku bunga kebijakan pada sesi pertama pasar Asia. Bank sentral Tiongkok menurunkan suku bunga acuan dengan tenor satu tahun dan lima tahun sebesar 10 basis poin (bps) menjadi 3,35 persen dan 3,85 persen. Langkah bank sentral Negeri Panda tersebut bertujuan meredakan kekhawatiran investor akan terhambatnya pemulihan ekonomi Tiongkok. Meski jauh sebelum Joe Biden mengumumkan pengunduran dirinya, Biro Pusat Statistik (BPS) per Mei 2024 menunjukkan bahwa kinerja perdagangan Indonesia cukup mengagumkan dengan mengalami surplus selama 50 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Surplus yang terbentuk pada Mei 2024 itu terutama berasal dari neraca perdagangan Indonesia dengan India yang mencetak keuntungan hingga USD 1,55 miliar. Surplus yang berasal dari sektor bahan bakar mineral (HS 27), logam mulia dan perhiasan (HS 71), serta biji logam terak dan abu (HS 26). Disokong dengan surplus perdagangan dengan Amerika Serikat tercatat mencapai USD 1,21 miliar dan diikuti Jepang dengan surplus mencapai USD 0,74 miliar. Terakhir, dengan Filipina telah mencatatkan surplus USD 694,8 juta. Diketahui pula, neraca perdagangan barang yang surplus tersebut berasal dari kinerja ekspor yang mencapai USD 22,33 miliar atau naik 13,82 persen (month-to-month/mtm) dan 2,86 persen (year-on-year/yoy). Sementara nilai impor mencapai USD 19,40 miliar, naik 14,82 persen (mtm), tetapi turun 8,83 persen (yoy). Surplus neraca dagang Juni 2024 ditopang oleh surplus dari sektor nonmigas yang nilainya USD 4,43 miliar. Komoditas penyumbang surplus utamanya adalah bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan serta besi dan baja. Akan tetapi, surplus itu tergerus oleh defisit dari sektor migas sebesar USD 2,04 miliar. Komoditas penyumbang defisitnya adalah hasil minyak dan minyak mentah. Raihan surplusnya neraca perdagangan terutama terhadap AS secara implisit merupakan konsekuensi logis kebijakan Negeri Paman Sam di era Biden sangat menguntungkan posisi Indonesia. Meski demikian, hal itu tidak serta merta berpengaruh pada volatilitas mata uang rupiah yang kian terdepresiasi. Sebab, faktor determinan pelemahan mata uang rupiah justru lebih banyak berasal dari dampak kebijakan bank sentral, The Fed, yang masih memberlakukan suku bunga acuan yang bersifat higher for longer yang difokuskan untuk mengendalikan tingkat inflasi dalam negeri AS sendiri. Alih-alih terjadi market panic pasar uang di luar AS, mundurnya Joe Biden malah memicu volatilitas pasar uang Negeri Paman Sam sendiri karena wait and see tentang siapa pengganti Joe Biden untuk bertarung di kontestasi pilpres AS mendatang. (*)
Sumber: