Judi Online Mengancam Kesehatan Mental
<strong>Oleh: Anwar Ma'ruf, Dekan Fakultas Vokasi Universitas Airlangga</strong> JUDI ONLINE menjadi masalah sosial yang diperhatikan secara penuh oleh pemerintah. Dikutip dari laman Kementerian Kominfo RI, pemerintah melalui Satuan Tugas JUDI ONLINE dalam waktu dekat akan membekukan rekening yang terindikasi digunakan untuk transaksi judi online. Pada akhir 2023 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membekukan 3.236 rekening bank yang terafiliasi dengan judi online. Ribuan rekening tersebut memiliki saldo Rp 138 miliar. Angka tersebut terbilang masih sedikit jika dibandingkan dengan kerugian yang harus dibayar masyarakat pecandu judi online. Dilansir dari salah satu media massa tepercaya, kerugian nasional akibat judi online diperkirakan mampu menutup angka defisit investasi APBN 2023 yang jumlahnya mencapai Rp 175 triliun. Artinya, perputaran uang di dalam judi online mencapai triliunan rupiah. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana memberikan informasi kepada publik, hingga Maret 2024, nilai transaksi judi online di Indonesia mencapai lebih dari Rp 600 triliun. Dengan mempertimbangkan dampak buruk akibat judi online, pada 2017 WHO telah menyatakan bahwa kecanduan judi adalah persoalan kesehatan global yang perlu mendapat perhatian penuh dari pemangku kebijakan. Pada 2017 masyarakat masih cenderung asing dengan judi online. Kiranya hanya kalangan penikmat judi yang akrab dengan judi online. Akan tetapi, kondisi yang berbeda terjadi hari ini. Hampir semua kalangan, termasuk masyarakat kelas bawah, pun ”memeriahkan” permainan judi online yang tanpa disadari dapat menghancurkan kehidupan secara perlahan. Pemerintah memperkirakan, lebih dari 10 juta orang di Indonesia berisiko kecanduan judi online. Pecandu judi online ”bukan kaleng-kaleng”. Berdasar data demografi, pemain judi online usia di bawah 10 tahun mencapai 2 persen pemain dengan total 80.000 akun yang terdeteksi. Sementara itu, 11 persen pemain judi online berusia 10–20 tahun dengan jumlah akun sekitar 440.000. Rentang usia terbanyak yang bermain judi online ialah 30–50 tahun dengan jumlah 40 persen, total akun yang terdeteksi mencapai 1.640.000. Tingginya angka pemain judi online dapat memicu meningkatnya angka kriminalitas, pengangguran, hingga perceraian pasutri. Alhasil, kehidupan pecandu judi online yang telah berantakan sangat berisiko mengalami gangguan kesehatan mental. Bahkan, sebagian pecandu judi online yang depresi lebih memilih untuk mengakhiri hidup. <strong>PECANDU JUDI PERLU REHABILITASI</strong> Perjudian adalah mempertaruhkan sesuatu yang dianggap bernilai untuk dapat digunakan dalam sebuah permainan, dan pertaruhan itu dilakukan secara sadar akan adanya risiko yang dihadapi (Kartono, 2014). Orang yang berjudi mulanya menyadari bahwa barang atau materi yang digunakan untuk bertaruh memiliki risiko lenyap jika berada pada situasi kalah. Akan tetapi, kesadaran itu tidak lebih besar dari ambisi dan angan-angan kosong untuk memperoleh hasil yang lebih besar dari apa yang dipertaruhkan. Tidak heran jika pecandu judi memiliki prinsip ”makin besar uang atau barang yang dipertaruhkan, akan makin besar pula uang yang mungkin akan didapat” (Latumaerissa, Patty, dan Tuhumury, 2021). Para pejudi online selalu terbuai dengan kemenangan semu di depan mata. Menang hari ini, besok akan mengalami kekalahan bertubi-tubi. Makin banyak kalah, para pejudi justru makin penasaran dan berambisi untuk menang. Oleh karena itu, pejudi sangat dekat dengan gangguan kesehatan mental karena isi kepalanya dipenuhi dengan obsesi untuk menjadi jutawan melalui judi. Sebuah penelitian yang dilakukan Preston dkk (2012) menunjukkan bahwa masalah perjudian berkorelasi secara signifikan dengan kecemasan sosial, depresi, impulsif, gejala gangguan pemusatan perhatian, dan penyalahgunaan zat terlarang. Salonen dkk (2018) menyatakan bahwa pecandu judi mengalami kerugian emosional/psikis, finansial, kesehatan, dan hubungan rumah tangga. Diperlukan upaya klinis yang komprehensif untuk mengintervensi para pecandu judi. Layaknya pecandu narkoba, pecandu judi perlu direhabilitasi untuk memulihkan gangguan psikis yang dialami akibat terobsesi dengan kemenangan semu. Pada puncaknya, pejudi sejatinya menyadari bahwa perilakunya yang menyimpang membawa dampak buruk baginya. Kesadaran itu kadang mendorongnya untuk berhenti bermain judi, Namun, karena dorongan impulsif dan kontrol diri sudah tidak berfungsi dengan baik, pejudi tetap tidak bisa keluar dari lingkaran setan tersebut. Oleh karena itu, rehabilitasi diperlukan guna membantu pecandu judi, baik konvensional maupun online, agar bisa memutus siklus destruktif tersebut. <strong>PERAN AKADEMISI DALAM MEMBERANTAS JUDI</strong> Memutus rantai destruktif ”judi online” tidak mudah. Pemerintah perlu bekerja sama dengan semua elemen masyarakat untuk bisa memberantas masalah sosial tersebut. Salah satu elemen yang bisa digandeng ialah akademisi. Ada tiga langkah yang bisa dilakukan akademisi untuk membantu pemerintah memberantas judi online yang meresahkan. Pertama, penelitian dan analisis data. Sebagai kaum cendekiawan, akademisi dibekali dengan kemampuan berpikir analitis yang baik. Kemampuannya itu dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor penyebab kecanduan judi online, profil demografis pemain judi online, dan mengkaji dampak sosial-budaya akibat judi online. Hasil dari kajian akademisi dapat digunakan sebagai acuan bagi pemerintah untuk merancang program pencegahan dan rehabilitasi judi online agar tepat guna dan tepat sasaran. Kedua, edukasi kesadaran publik. Percaya atau tidak, akademisi memiliki strata sosial yang dianggap lebih tinggi di tengah masyarakat. Oleh karena itu, setiap tindakan, petuah, dan nasihat yang diberikan cenderung akan mudah dipercaya masyarakat, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Akademisi dapat memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi penting yang mudah dipahami masyarakat tentang bahaya laten judi online. Langkah itu cukup efektif untuk menjangkau masyarakat dari semua lapisan. Ketiga, pengembangan program rehabilitasi. Akademisi dari rumpun psikologi bisa mengambil porsi lebih banyak dalam mengembangkan program rehabilitasi. Akademisi bisa memberikan rekomendasi program rehabilitasi yang efektif untuk mengurangi adiksi para pecandu judi online. Tidak hanya memberikan rekomendasi, akademisi juga bisa melatih para profesional kesehatan untuk menguasai berbagai metode rehabilitasi terbaru, modern, dan berbasis bukti ilmiah. Hal itu memungkinkan terciptanya program rehabilitasi pecandu judi online yang relevan dengan kondisi di lapangan. Tiga langkah tersebut bisa diterapkan para akademisi agar dapat berkontribusi secara riil dalam memberantas masalah judi online, khususnya di Indonesia. Dalam jangka panjang, akademisi dapat menjadi pionir yang mengajarkan bahaya laten dari judi kepada para peserta didiknya saat di bangku sekolah maupun perkuliahan. (*)
Sumber: