Jahat Enak

Jahat Enak

<!-- wp:paragraph --> <p>Oleh: Dahlan Iskan</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>DISWAY -- MINGGU kemarin adalah hari bersejarah dalam hidup saya. Sejarah kecil: minum kopi terbanyak. Sampai lima jenis kopi. Sekali duduk. Dua jam.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya harus bisa memahami mengapa begitu banyak pembaca Disway yang gila kopi. Saya juga ingin melupakan minyak goreng, batu bara, cabe, dan PMK.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Setidaknya dalam dua jam itu. Maka saya cari Jo. Ia seumur anak saya. Sekolahnya juga di Amerika, electrical engineering. Lalu sekolah lagi: balap mobil. Di Kanada. Untuk bidang tekniknya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Jangan ngopi dengan saya. Dengan teman saya saja. Kelas saya masih di bawahnya," ujar Jo.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Maka saya diperkenalkan dengan teman seumurnya juga: Dukun Kopi. Sekolahnya di Melbourne, Australia. Jurusannya computer science.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Awalnya ia ke Australia karena terpaksa. Kakak perempuannya tidak kerasan di sana. Maka biar pun hampir naik kelas 2 SMA di St Louis Surabaya, Dukun Kopi mengulangi lagi kelas 1 di Australia.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya pun ke kafenya. Di Jalan Musi. The Little Prince.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ternyata si Dukun Kopi mengajak temannya lagi. Yang lebih gila kopi. Sang teman, Arek Suroboyo. Kelahiran Krian. Bapaknya jualan buah di pasar desanya. Ia lulus D3 perkapalan ITS. Mereka seumur. Lalu masuk ITATS untuk S-1. Sambil bekerja.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Nama anak ini Nasrullah. Ia datang menenteng sesuatu. Ada rodanya. Dibawa masuk ke kafe. Ternyata ia datang naik kendaraan roda satu. Dengan ransel di punggungnya. Tidak ada tempat parkir kendaraan jenis itu di depan cafe. Juga takut hilang. Harganya Rp55 juta.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Nasrullah menaruh ransel di atas meja. Membukanya. Mengeluarkan isinya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ampuuuuun!</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ia keluarkan kompor mini, timbangan, saringan, shower, teko kaca, dan penggilas kopi. Ia keluarga juga sachet (kantong plastik yang divakum) tipis berisi biji kopi yang sudah diroster.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Nama-nama kopi itu, berikut dari mana asalnya, tertulis di sachetnya. Dari Colombia, Panama, Latumojong, dan Tretes. Yang dari Colombia tidak hanya satu jenis.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ada Emanuel Encro, ada Wush Wush, dan beberapa lagi yang saya tidak kuat mengingatnya. Yang dari Panama pun ada jenis Elifa, Geisha, dan beberapa lagi. Yang Geisha pun ada yang dari kebun Santa Veresa dan dari Esmeralda.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Semua yang disebut tadi adalah kopi Arabica. Bukan Robusta.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Di Australia hampir tidak ada yang minum kopi Robusta," ujar Stevanus Ade, si Dukun Kopi. Banyak negara hanya gemar Arabica. Banyak juga yang hanya menyukai Robusta. Italia dan Prancis adalah penggemar expresso Robusta.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Saya ini penggemar kopi ribet," ujar Nasrullah.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Setuju!</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mau minum kopi saja begitu banyak birokrasinya. Begitu rumit alatnya. Sudah di kafe pun masih bawa alat sendiri. Bahkan ia bawa air dari rumahnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Kita mulai dari yang lokal dulu. Ini bagian dari kearifan lokal," katanya. Tanpa tersenyum. Hanya saya yang tertawa kecil.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Nasrullah memasang timbangan. Lalu menaruh penggersa kopi di atas timbangan. Ia buka sachet Latumojong. Ia sendok biji kopi dari dalamnya. Ia masukkan ke penggerus itu. Hati-hati. Agar jangan terlalu banyak. "Harus hanya 15 gram saja," katanya lirih.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Itu berarti sekitar 105 biji kopi. Yang sudah diroster. Ringan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Nasrullah pun memutar alat di penggerus itu. Dengan tangannya. Memutarnya harus ke arah kiri. Saya lupa alasannya. Tebaklah kalau bisa. Dua menit kemudian kopi sudah jadi bubuk.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Birokrasi berikutnya: teko kaca berisi air ia taruh di atas kompor mini. Kompor itu berbahan bakar butane. Hanya perlu dua menit untuk membuat air itu hampir mendidih: 95 derajat Celsius.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Agar bisa persis ''95'' Nasrullah memasukkan tongkat kaca kecil de dalam teko. Itulah termometer. Kecil tapi panjang. Melebihi lubang atas teko. Angka capaian panasnya bisa dibaca di situ.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Masih banyak birokrasi lanjutannya. Ruwet. Jumlah air itu pun diukur persis. Satu gram kopi hanya boleh 15 gram air. Berarti teko tadi berisi air 15 x 15 gram.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Nasrullah bekerja di perusahaan pengeboran minyak lepas pantai. Untuk ke tempat kerjanya ia harus naik speed boat tiga jam. Ke tengah laut. Di selat Makassar. Berangkatnya dari pantai Senipah, dekat Balikpapan. Karena itu setiap tiga bulan ia mendapat libur tiga minggu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Untuk apa ia membawa shower kecil yang berlubang banyak itu?</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ia tidak mau air dari teko dikucurkan begitu saja ke bubuk kopi. "Tekanan airnya tidak akan bisa merata menimpa bubuk. Bagian tertentu di bubuk itu mendapat tekanan lebih. Bagian lain kurang tekanan," katanya. Dengan air panas dilewatkan shower jatuhnya air merata.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Bubuk kopi dari dalam roster itu ia tuangkan ke kertas khusus –kertas penyaring. Kertas itu ia letakkan di atas corong. Corong itu ia letakkan di atas teko. Air 95 tadi ia kucurkan ke atas shower. Air dari shower inilah yang menetes rata ke seluruh permukaan bubuk kopi yang di atas teko.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Jadilah kopi yang siap diminum.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ups… Belum. Ia putar-putar dulu teko itu. Putarannya ke arah kiri. Mirip para penggemar red wine memutar gelas berisi anggur merah. Selesai. Ia cium aroma dari dalam teko itu. Ia terlihat puas.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Gelas-gelas kecil disiapkan untuk kami berempat. Pelit sekali. Gelas ini kecil sekali. Isinya pasti sedikit sekali. Gelas ini tebal sekali, terutama separo bagian bawahnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Jo buru-buru menyajikan air soda ke saya. "Minum dulu soda ini sedikit. Baru minum kopinya nanti," ujar Jo. Ia pemilik bengkel khusus: mobil-mobil mahal. Supercar. Jo jugalah yang sedang memodifikasi mobil Jaguar saya. Untuk dijadikan mobil listrik.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mengapa harus minum air soda dulu? “Biar mulut kita netral. Dengan demikian bisa merasakan rasa kopi sesuai dengan rasa sejatinya," ujar Jo.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya seruput air soda dingin itu. Sedikit. Saya tidak suka soda. Juga tidak suka air dingin.<br>Nasrullah lantas menuangkan kopi bikinannya itu ke gelas saya. Gelas kecil itu. Tidak penuh. Tidak sampai setengahnya. Hanya seperempat gelas. Mungkin hanya sebanyak tiga sendok. Melihat begitu sedikitnya, kopi itu nanti kayaknya tidak akan sampai di perut. Jangan-jangan tidak sampai melewati tenggorokan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya pun ikut-ikutan: menciumi dulu aroma kopi di gelas itu. Persis gaya orang minum wine. Saya sesap sedikit isinya. Satu sesapan. Ini mah bukan minum kopi. Kata ''minum'' tidak cocok dipakai di ritual ini.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Setelah sekali sesap mulut sedikit komat kamit –seperti sedang mencari rasa apa yang terkandung di dalamnya. Inilah sejatinya rasa kopi. Nasrullah telah mengajarkan ke saya ilmu sejati jenis lain. Yakni setelah 50 tahun saya mendapat pelajaran ilmu sejati dalam pengertian ketuhanan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Jadi, apakah rasa sejati kopi? Saya tidak boleh menjelaskan kepada Anda –sebelum Anda mencapai level makrifat, makrifat kopi. Artinya: saya tidak tahu juga.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya menghabiskan 3 gelas kali seperempat kopi kearifan lokal itu. Dalam 10 menit. Tiap satu menit satu sesapan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Habis. Dituangkan lagi. Sedikit. Di sesap lagi. Habis lagi. (*)</p> <!-- /wp:paragraph -->

Sumber: