Dilema Hukum Internasional dalam Konflik Israel-Palestina Antara Hak Membela Diri dan Perlindungan Warga Sipil

Dilema Hukum Internasional dalam Konflik Israel-Palestina Antara Hak Membela Diri dan Perlindungan Warga Sipil

<strong>Oleh: </strong><strong>Dr Auliah Ambarwati</strong> KONFLIK Israel-Palestina yang kembali memanas telah memicu perdebatan sengit mengenai batas-batas hak membela diri dan kewajiban melindungi warga sipil dalam hukum internasional. Di satu sisi, Israel mengklaim memiliki hak untuk membela diri dari serangan Hamas. Di sisi lain, skala serangan balasan Israel terhadap Gaza dinilai tidak proporsional dan mengancam keselamatan warga sipil Palestina secara masif. Hak membela diri memang diakui dalam Pasal 51 Piagam PBB yang menyatakan bahwa tidak ada dalam Piagam ini yang dapat mengurangi hak alamiah untuk membela diri secara individual atau kolektif apabila terjadi serangan bersenjata terhadap anggota PBB. Namun, penggunaan hak ini harus tetap tunduk pada prinsip-prinsip hukum humaniter internasional, terutama prinsip pembedaan (distinction) dan proporsionalitas. Prinsip pembedaan mengharuskan pihak yang berkonflik untuk membedakan antara kombatan dan warga sipil, serta antara objek militer dan objek sipil. Serangan hanya boleh diarahkan pada kombatan dan objek militer. Sementara prinsip proporsionalitas melarang serangan yang diperkirakan akan menimbulkan kerugian insidental berupa hilangnya nyawa warga sipil, cedera pada warga sipil, kerusakan objek-objek sipil, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer langsung dan konkret yang diharapkan. Dalam konteks konflik Israel-Palestina saat ini, penerapan kedua prinsip tersebut menjadi sangat problematis. Kepadatan penduduk Gaza yang sangat tinggi membuat hampir mustahil untuk melakukan serangan tanpa menimbulkan korban sipil. Selain itu, taktik Hamas yang diduga menggunakan warga sipil dan fasilitas sipil sebagai tameng semakin mempersulit upaya pembedaan antara target militer dan sipil. Namun, hal ini tidak serta-merta membebaskan Israel dari kewajiban untuk mengambil segala tindakan pencegahan yang memungkinkan untuk menghindari, atau setidaknya meminimalkan, jatuhnya korban sipil. Pasal 57 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 secara eksplisit mewajibkan pihak yang melancarkan serangan untuk mengambil segala tindakan pencegahan yang dapat dilakukan dalam pemilihan sarana dan metode serangan untuk menghindari, dan dalam hal apa pun meminimalkan, jatuhnya korban jiwa sipil secara insidental, cedera pada warga sipil dan kerusakan pada objek-objek sipil. Lebih jauh lagi, doktrin "hukuman kolektif" yang dilarang dalam hukum humaniter internasional juga menjadi sorotan dalam konflik ini. Pasal 33 Konvensi Jenewa IV secara tegas melarang hukuman kolektif terhadap orang-orang yang dilindungi dan segala tindakan intimidasi atau terorisme. Blokade total terhadap Gaza, termasuk pemutusan pasokan listrik, air, dan bahan bakar, berpotensi dianggap sebagai bentuk hukuman kolektif terhadap seluruh penduduk Gaza. Di sisi lain, tindakan Hamas yang menyandera warga sipil Israel juga jelas melanggar hukum humaniter internasional. Pasal 34 Konvensi Jenewa IV melarang penyanderaan orang-orang yang dilindungi. Serangan terhadap warga sipil Israel pada 7 Oktober juga merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip pembedaan. Kompleksitas konflik ini semakin diperparah oleh status hukum wilayah Palestina yang diperdebatkan. Israel mengklaim memiliki hak membela diri sebagai negara berdaulat, namun banyak pihak berpendapat bahwa konsep ini tidak sepenuhnya berlaku dalam konteks pendudukan militer. Pendapat Penasihat Mahkamah Internasional tahun 2004 mengenai Tembok Pemisah menyatakan bahwa Pasal 51 Piagam PBB tidak relevan dalam kasus ini karena Israel menghadapi ancaman yang berasal dari wilayah yang berada di bawah kontrolnya. Teori just war yang dikembangkan oleh para filsuf seperti Augustine dan Thomas Aquinas juga relevan dalam menganalisis konflik ini. Teori ini menetapkan kriteria jus ad bellum (keadilan menuju perang) dan jus in bello (keadilan dalam perang). Meskipun Israel mungkin dapat membenarkan tindakannya berdasarkan kriteria jus ad bellum seperti just cause dan right intention, pelaksanaan operasi militernya (jus in bello) tetap harus memenuhi prinsip-prinsip proporsionalitas dan diskriminasi. Dalam konteks hukum internasional kontemporer, konsep "tanggung jawab untuk melindungi" (responsibility to protect) yang diadopsi oleh PBB pada tahun 2005 juga patut dipertimbangkan. Konsep ini menekankan tanggung jawab negara untuk melindungi penduduknya dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketika suatu negara gagal melakukan hal ini, komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk mengambil tindakan kolektif melalui PBB. Dilema hukum dalam konflik Israel-Palestina juga mencerminkan ketegangan antara paradigma penegakan hukum (law enforcement) dan paradigma konflik bersenjata (armed conflict). Pendekatan penegakan hukum lebih menekankan pada penangkapan dan pengadilan terhadap pelaku kejahatan, sementara paradigma konflik bersenjata memungkinkan penggunaan kekuatan mematikan sebagai opsi pertama terhadap kombatan musuh. Perlu diingat bahwa hukum humaniter internasional tidak hanya mengatur perilaku negara, tetapi juga berlaku untuk aktor non-negara seperti Hamas. Prinsip resiprositas dalam hukum humaniter internasional menegaskan bahwa kewajiban untuk mematuhi aturan tidak bergantung pada kepatuhan pihak lawan. Dengan kata lain, pelanggaran yang dilakukan oleh satu pihak tidak membenarkan pelanggaran oleh pihak lain. Dalam upaya mencari solusi, peran Mahkamah Pidana Internasional (ICC) patut dipertimbangkan. Meskipun Israel bukan anggota Statuta Roma, Palestina telah menerima yurisdiksi ICC. Investigasi yang sedang berlangsung oleh ICC terhadap situasi di Palestina dapat menjadi instrumen penting untuk memastikan akuntabilitas atas kejahatan perang yang mungkin dilakukan oleh kedua belah pihak. Komunitas internasional, terutama Dewan Keamanan PBB, memiliki peran krusial dalam menengahi konflik dan memastikan kepatuhan terhadap hukum internasional. Namun, polarisasi politik di tingkat global seringkali menghambat tindakan efektif dari badan dunia ini. Resolusi Dewan Keamanan yang mengikat secara hukum bisa menjadi instrumen penting untuk menegakkan gencatan senjata dan melindungi warga sipil, tetapi hal ini membutuhkan konsensus di antara anggota tetap Dewan Keamanan. Akhirnya, penting untuk diingat bahwa solusi jangka panjang untuk konflik Israel-Palestina harus didasarkan pada penghormatan terhadap hukum internasional dan hak asasi manusia. Prinsip penentuan nasib sendiri bagi rakyat Palestina dan hak Israel untuk hidup dalam perdamaian dan keamanan harus menjadi landasan bagi setiap upaya perdamaian. Negosiasi yang bermakna antara kedua belah pihak, dengan dukungan komunitas internasional, tetap menjadi jalan terbaik untuk mencapai perdamaian yang adil dan berkelanjutan. Dalam menghadapi dilema hukum ini, diperlukan keseimbangan yang hati-hati antara hak membela diri dan kewajiban melindungi warga sipil. Interpretasi dan penerapan hukum internasional harus dilakukan dengan mempertimbangkan kompleksitas situasi di lapangan, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip fundamental kemanusiaan. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan berimbang, dilema hukum dalam konflik Israel-Palestina dapat diatasi, membuka jalan bagi perdamaian yang berkeadilan bagi semua pihak.

Sumber: