Dari Bjorka hingga Reformasi Digital: Menata Ulang Arsitektur Hukum Siber Indonesia

Dari Bjorka hingga Reformasi Digital: Menata Ulang Arsitektur Hukum Siber Indonesia

<strong>Oleh: Muh Akbar Fhad Syahril</strong> KASUS pembocoran data NPWP oleh Bjorka kembali mengguncang Indonesia. Peristiwa ini menyoroti kerentanan sistem keamanan siber nasional dan mendesak kita untuk mengevaluasi kembali arsitektur hukum siber yang ada. Sebagai negara dengan populasi pengguna internet terbesar kelima di dunia, Indonesia perlu memiliki kerangka hukum yang kuat untuk melindungi data pribadi warganya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah direvisi menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016 sebenarnya telah mengatur tentang perlindungan data pribadi. Pasal 26 UU ITE menyatakan bahwa penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan. Namun, implementasi dan penegakan pasal ini masih lemah. Kelemahan UU ITE terletak pada definisi data pribadi yang kurang komprehensif. UU ini belum secara spesifik mengatur tentang kategori data sensitif seperti NPWP, NIK, atau data kesehatan yang memerlukan perlindungan lebih ketat. Akibatnya, banyak perusahaan dan institusi yang menganggap remeh keamanan data pribadi warga. Selain itu, sanksi yang diatur dalam UU ITE terkait pelanggaran data pribadi juga dinilai belum memberikan efek jera. Pasal 51 ayat (1) UU ITE hanya mengatur pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar bagi pelaku pembocoran data. Bandingkan dengan General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa yang dapat menjatuhkan denda hingga 4% dari pendapatan global tahunan perusahaan atau 20 juta euro. Kasus Bjorka ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah dan DPR untuk mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). RUU ini diharapkan dapat mengisi kekosongan hukum terkait perlindungan data yang lebih komprehensif, termasuk pengaturan tentang kewajiban pengendali data, hak-hak subjek data, dan mekanisme penegakan hukum yang lebih kuat. Dalam RUU PDP, definisi data pribadi diperluas mencakup data yang dapat mengidentifikasi seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan data internasional seperti yang tertuang dalam GDPR. RUU ini juga mengatur tentang kewajiban notifikasi kebocoran data dalam waktu 72 jam, yang saat ini belum diatur dalam UU ITE. Namun, RUU PDP juga perlu memperhatikan aspek penegakan hukum yang efektif. Pembentukan otoritas pengawas independen seperti yang diusulkan dalam RUU harus diimbangi dengan kewenangan yang memadai untuk melakukan investigasi dan menjatuhkan sanksi. Tanpa mekanisme penegakan yang kuat, regulasi sebaik apapun akan sulit diimplementasikan. Di sisi lain, reformasi digital tidak hanya tentang regulasi, tetapi juga tentang peningkatan kapasitas dan kesadaran. Pemerintah perlu berinvestasi lebih banyak dalam pengembangan sumber daya manusia di bidang keamanan siber. Program-program pelatihan dan sertifikasi keamanan siber harus diperbanyak untuk meningkatkan jumlah tenaga ahli di bidang ini. Selain itu, edukasi publik tentang pentingnya keamanan data pribadi juga harus digalakkan. Masyarakat perlu memahami risiko yang terkait dengan penyalahgunaan data pribadi dan langkah-langkah yang dapat diambil untuk melindungi diri mereka sendiri di dunia digital. Dari perspektif teori hukum, pendekatan regulasi keamanan siber di Indonesia perlu bergeser dari model command and control yang kaku menuju model responsive regulation. Teori responsive regulation yang dikemukakan oleh Ayres dan Braithwaite menekankan pentingnya kolaborasi antara regulator, industri, dan masyarakat dalam menciptakan kepatuhan hukum. Dalam konteks keamanan siber, ini berarti pemerintah perlu melibatkan sektor swasta dan komunitas keamanan siber dalam pengembangan dan implementasi kebijakan. Pendekatan multi-stakeholder ini dapat membantu menciptakan regulasi yang lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi yang cepat. Lebih jauh lagi, Indonesia perlu mempertimbangkan adopsi prinsip privacy by design dalam arsitektur hukum sibernya. Konsep yang dikembangkan oleh Ann Cavoukian ini menekankan bahwa perlindungan privasi harus diintegrasikan ke dalam desain sistem teknologi informasi sejak awal, bukan sebagai tambahan belakangan. Implementasi privacy by design dapat dilakukan melalui kewajiban bagi pengembang sistem dan aplikasi untuk melakukan Privacy Impact Assessment (PIA) sebelum meluncurkan produk atau layanan baru. Hal ini akan membantu mengidentifikasi dan mengatasi potensi risiko privasi sejak dini. Dalam konteks global, Indonesia juga perlu meningkatkan kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan siber lintas batas. Ratifikasi Budapest Convention on Cybercrime perlu dipertimbangkan untuk memperkuat kerangka hukum dalam menangani kejahatan siber transnasional. Reformasi digital juga harus memperhatikan aspek keadilan dan pemerataan akses. Regulasi keamanan siber yang terlalu ketat berpotensi menciptakan hambatan bagi usaha kecil dan menengah (UKM) untuk go digital. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan afirmatif yang membantu UKM dalam meningkatkan kapasitas keamanan sibernya. Akhirnya, kita perlu memahami bahwa keamanan siber adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil harus bekerja sama dalam menciptakan ekosistem digital yang aman dan terpercaya. Hanya dengan pendekatan holistik dan kolaboratif, kita dapat membangun arsitektur hukum siber yang tangguh dan adaptif terhadap tantangan era digital. Dari Bjorka hingga kasus-kasus pembocoran data lainnya, setiap insiden keamanan siber harus dilihat sebagai pelajaran berharga untuk terus memperbaiki sistem. Reformasi digital bukanlah tujuan akhir, melainkan proses berkelanjutan yang membutuhkan komitmen jangka panjang dari semua pihak. Dengan tekad bersama dan langkah-langkah konkret, Indonesia dapat membangun fondasi digital yang kuat untuk menghadapi tantangan masa depan. Dalam perjalanan menata ulang arsitektur hukum siber Indonesia, kita perlu mengingat sebuah kata mutiara yang sangat relevan: "Pelajaran paling sulit adalah mendengarkan." Kebocoran data oleh Bjorka seharusnya menjadi alarm keras yang membangunkan kita dari keterlenaan. Sudah saatnya kita berhenti berpura-pura bahwa sistem kita aman dan mulai mendengarkan dengan seksama. Mendengarkan peringatan dari para ahli keamanan siber, mendengarkan kekhawatiran masyarakat akan privasi data mereka, dan bahkan mendengarkan 'pesan' yang disampaikan oleh para peretas melalui aksi mereka. Hanya dengan mendengarkan dengan sungguh-sungguh, kita dapat memahami kelemahan sistem kita dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memperbaikinya. Reformasi digital yang sejati dimulai dari kesediaan untuk mendengar, belajar, dan bertindak. Inilah tantangan terbesar sekaligus kunci keberhasilan dalam membangun arsitektur hukum siber yang tangguh dan berdaulat bagi Indonesia.

Sumber: