Jeritan Sunyi Kohati di Balik Femisida

Jeritan Sunyi Kohati di Balik Femisida

<strong>Oleh: Iin Afliani</strong> INDONESIA tengah berada dalam krisis yang menyedihkan dan tragis: Femisida, pembunuhan terhadap perempuan karena gender mereka. Fenomena ini bukan hanya soal fisik, tetapi merupakan puncak dari gunung es kekerasan berbasis gender yang menimpa perempuan di seluruh negeri. Kasus-kasus pembunuhan brutal terhadap perempuan semakin sering menghiasi media. Namun sayangnya, respons dari masyarakat dan pemerintah belum cukup signifikan. Ketika perempuan kehilangan nyawa, kita tidak hanya kehilangan individu, tetapi juga harapan, masa depan dan nilai kemanusiaan kita. Data Komnas Perempuan mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2022, ada lebih dari 457 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan, sebuah angka yang meningkat signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Dari jumlah ini, banyak yang berujung pada kematian akibat kekerasan fisik dan psikologis yang berkepanjangan. Ironisnya, kasus-kasus tersebut sering kali tidak mendapat perhatian serius, baik dari aparat penegak hukum maupun masyarakat luas. Korban sering kali disalahkan, sementara pelaku kekerasan mendapatkan pembenaran melalui budaya patriarki yang mengakar sangat dalam. Femisida adalah bentuk kekerasan yang lahir dari struktur sosial yang tidak adil, di mana perempuan masih dianggap subordinat. Akar dari kekerasan ini bisa dilacak dari pola pikir yang menormalisasi ketidaksetaraan gender. Dalam banyak kasus, perempuan menjadi korban kekerasan hanya karena mereka berani melawan atau bahkan hanya karena eksistensi mereka dianggap mengancam dominasi laki-laki. Fenomena ini terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Kasus-kasus seperti pembunuhan oleh pasangan intim, kekerasan dalam rumah tangga dan penyerangan seksual yang berakhir dengan kematian, terus meningkat seiring lemahnya penegakan hukum dan minimnya perlindungan bagi perempuan. Salah satu kasus yang menyita perhatian publik adalah pembunuhan terhadap Novia Widyasari, seorang mahasiswi yang mengalami depresi berat setelah dipaksa melakukan aborsi oleh pacarnya, seorang anggota polisi. Kasus tersebut mengguncang Indonesia. Viral di semua sosial media. Namun seolah menjadi puncak gunung es dari berbagai kasus kekerasan berbasis gender lainnya. Novia bukan satu-satunya. Setiap tahun, ratusan perempuan Indonesia menjadi korban femisida, entah karena kekerasan rumah tangga, penolakan dalam hubungan atau kebencian terhadap perempuan. Ini menandakan bahwa masalah ini bukan hanya peristiwa-peristiwa terpisah, tetapi merupakan bagian dari struktur sosial yang menindas perempuan. Fakta bahwa kasus-kasus seperti ini terus terjadi menunjukkan betapa lemahnya sistem perlindungan terhadap perempuan. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang seharusnya melindungi perempuan, sering kali tidak diterapkan secara efektif. Penegakan hukum yang bias gender, stigma sosial yang kuat, serta minimnya akses terhadap perlindungan bagi korban, semakin memperburuk keadaan. Perempuan yang menjadi korban kekerasan sering kali enggan melapor karena takut tidak dipercaya atau malah disalahkan. Akibatnya, kekerasan berulang terjadi, dan banyak yang berakhir dengan tragedi femisida. Di tengah situasi ini, kita tidak bisa hanya berpangku tangan. Pemberantasan femisida memerlukan langkah-langkah konkret dari semua pihak. Pemerintah harus memperkuat perlindungan hukum bagi perempuan, memastikan bahwa kasus kekerasan berbasis gender diselidiki dan diproses dengan serius. Pendidikan mengenai kesetaraan gender harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah sejak dini, agar generasi mendatang dapat tumbuh dengan pemahaman yang lebih baik tentang hak-hak perempuan. Selain itu, penting untuk memberikan ruang bagi korban kekerasan untuk berbicara tanpa takut akan stigma dan diskriminasi. <strong>Cara Kohati Hadapi Femisida</strong> Dalam menghadapi situasi darurat seperti ini, Kohati sebagai organisasi perempuan di bawah HMI memiliki peran strategis yang sangat penting. Sebagai salah satu organisasi perempuan yang bergerak dalam ranah keislaman, intelektual dan kemasyarakatan, Kohati harus menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan melawan segala bentuk kekerasan, termasuk femisida. Peran ini dapat dijalankan melalui beberapa langkah konkret yang mencerminkan komitmen Kohati terhadap keadilan gender dan kesejahteraan perempuan. Pertama, Kohati dapat berperan aktif dalam advokasi kebijakan. Sebagai organisasi yang memiliki jaringan luas di berbagai daerah, Kohati dapat mendorong pemerintah dan legislatif untuk memperkuat regulasi yang melindungi perempuan dari kekerasan. Dalam hal ini, Kohati bisa menjadi mitra strategis bagi Komnas Perempuan atau lembaga lainnya untuk memastikan bahwa suara perempuan korban kekerasan didengar dan diperjuangkan. Advokasi hukum yang lebih kuat diperlukan agar pelaku kekerasan berbasis gender, terutama femisida, mendapatkan hukuman yang setimpal, tanpa ada celah bagi mereka untuk lolos dari jerat hukum. Kedua, Kohati perlu mengambil peran dalam pendidikan dan pemberdayaan perempuan di berbagai tingkatan. Melalui pelatihan, seminar, dan program penguatan kapasitas, Kohati dapat memberikan pemahaman kepada perempuan tentang hak-hak mereka, serta membekali mereka dengan keterampilan untuk melindungi diri dari potensi kekerasan. Kohati juga bisa merangkul generasi muda perempuan dengan menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender sejak dini, sehingga mereka tumbuh dengan kesadaran akan pentingnya melawan kekerasan dan diskriminasi. Ketiga, Kohati dapat menyediakan ruang konseling dan pendampingan bagi korban kekerasan. Dalam banyak kasus, korban femisida dan kekerasan berbasis gender seringkali merasa terisolasi dan tidak memiliki tempat untuk berbagi cerita atau mencari perlindungan. Kohati dapat berkolaborasi dengan lembaga layanan korban untuk menyediakan pendampingan psikologis dan hukum, membantu korban dalam proses penyembuhan dan memberikan dukungan agar mereka dapat bangkit dari trauma. Terakhir, Kohati juga harus memperkuat sinergi dengan organisasi perempuan lain, baik di tingkat nasional maupun internasional. Kolaborasi ini akan memperluas jaringan advokasi dan solidaritas dalam melawan femisida dan kekerasan terhadap perempuan. Kohati harus mampu menjadikan isu ini sebagai agenda utama yang terus didorong di berbagai forum dan platform, memastikan bahwa suara perempuan Indonesia yang menjadi korban kekerasan terus diperjuangkan. Dalam menghadapi darurat femisida ini, Kohati tidak boleh tinggal diam. Ini adalah panggilan moral dan tugas sejarah yang harus dijawab. Sebagai organisasi yang mewakili suara dan aspirasi perempuan, Kohati harus terus memperjuangkan keadilan dan keselamatan perempuan Indonesia. Femisida bukan sekadar tragedi pribadi, melainkan krisis kemanusiaan yang menuntut kita semua untuk bergerak. Bersama-sama, kita harus menciptakan Indonesia yang lebih aman, adil dan setara bagi setiap perempuan. (Iin Afliani)

Sumber: