Quo Vadis Kabinet Merah Putih: Antara Romantisme Kedaulatan dan Realitas Koalisi

Quo Vadis Kabinet Merah Putih: Antara Romantisme Kedaulatan dan Realitas Koalisi

<strong>Oleh: Muh. Faidhul Barkah</strong> MOMENTUM pelantikan Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memulai babak baru bagi republik ini. Namun, di balik euforia seremoni tersebut, muncul keraguan yang melayang seperti awan mendung di atas langit cerah. Koalisi gemuk ini menyiratkan tantangan besar, menjadi jangkar berat bagi kapal besar bernama Indonesia. Prabowo dalam pidato kenegaraannya mengucapkan kedaulatan pangan, energi, hilirisasi industri, dan visi besar untuk menjadikan Indonesia sebagai kekuatan maritim dunia. Namun, muncul pertanyaan kritis: mampukah janji-janji tersebut diwujudkan, atau hanya akan menjadi prosa indah yang memudar seiring waktu? <strong>Koalisi Gemuk dan Wajah Lama: antara Stabilitas dan Stagnasi</strong> Koalisi besar sering dilihat sebagai pondasi politik yang kuat, namun kenyataannya justru kerap menyeret perumusan kebijakan ke arah stagnasi. Terlalu banyak kepentingan yang harus diakomodasi, terlalu banyak janji yang harus ditepati. Kabinet Prabowo-Gibran tidak kebal dari dilema ini. Koalisi yang mencakup beragam partai dan kelompok mungkin memberikan stabilitas politik, tetapi apakah stabilitas ini cukup untuk mendorong reformasi ekonomi yang diharapkan? Seperti kata Jürgen Habermas, kekuasaan yang berpusat pada konsensus elite cenderung kehilangan legitimasi publik jika tidak mampu memenuhi harapan masyarakat. Prabowo dalam pidatonya menegaskan komitmennya terhadap pemerintahan yang bersih dan anti-korupsi. Namun, wajah-wajah lama di kabinet menimbulkan keraguan: dapatkah mereka membawa perubahan nyata atau justru sebaliknya? <strong>Kedaulatan Pangan dan Energi: Romantisme usang?</strong> Dalam pidato kenegaraannya, Prabowo menekankan pentingnya kedaulatan pangan dan energi sebagai pilar utama pembangunan, sebuah visi mulia—Indonesia yang mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bergantung pada impor. Namun, romantisme kedaulatan ini telah lama menjadi mimpi yang sering diungkapkan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya. Data BPS tahun 2023, 30% kebutuhan pangan Indonesia masih bergantung pada impor, sementara 40% kebutuhan energi juga berasal dari luar negeri. Kenaikan harga beras sebesar 20% dalam setahun terakhir menciptakan ketidakpastian di kalangan masyarakat, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah​. Namun, dengan data yang ada, banyak pihak mempertanyakan apakah visi ini dapat direalisasikan atau hanya sekadar retorika politik belaka. <strong>Hilirisasi: Tantangan Besar Menuju Industri Bernilai Tambah</strong> Prabowo benar bahwa hilirisasi adalah jalan menuju peningkatan nilai tambah ekonomi. Namun, tantangan besar masih membentang di depan. Hilirisasi industri telah lama dibicarakan, tetapi implementasinya lebih sering terhambat oleh infrastruktur yang kurang memadai, teknologi yang tertinggal, serta keterbatasan sumber daya manusia. Data Kementerian Perindustrian mencatat kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB Indonesia hanya mencapai 16% pada tahun 2023, jauh di bawah rata-rata negara-negara ASEAN lainnya yang mencapai 30%. Janji hilirisasi harus diwujudkan dengan tindakan nyata—investasi dalam teknologi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta kebijakan yang konsisten. Jika tidak, janji itu akan membeku di meja rapat tanpa pernah menyentuh kehidupan ekonomi riil rakyat. <strong>Optimisme: Ekonomi Hijau, Biru, dan Transformasi Digital</strong> Di tengah bayang-bayang tantangan, optimisme tetap menyala. Prabowo berbicara tentang transformasi digital untuk UMKM, yang jika dikelola dengan benar, dapat menjadi pilar ekonomi inklusif. Digitalisasi memberikan kesempatan bagi UMKM naik kelas dan terhubung dengan pasar global. Pemerintah perlu mempercepat akses teknologi dan pembiayaan agar sektor ini bisa menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi yang nyata. Selain itu, gagasan ekonomi hijau dan biru memberikan harapan bagi masa depan yang lebih berkelanjutan. Pemanfaatan energi terbarukan serta sumber daya maritim yang luas dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil sekaligus membuka peluang baru bagi ekonomi Indonesia. <strong>Leadership dan keberpihakan</strong> Di tengah segala tantangan yang menghadang, rakyat membutuhkan <em>Leadership</em> yang kuat dan berani. Kepemimpinan yang tidak terjebak dalam kepentingan politik jangka pendek, tetapi memiliki keberanian moral untuk menempatkan rakyat sebagai prioritas utama. Prabowo memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar simbol kekuatan. Kepemimpinannya harus melangkah lebih jauh dari kompromi politik yang melemahkan dan memprioritaskan kesejahteraan rakyat di atas seluruh kepentingan lainnya. Seperti yang dikatakan Karl Popper, "masa depan dibentuk oleh tindakan kita hari ini." Jika Prabowo mengarahkan kebijakan dengan keberanian dan ketegasan, masa depan yang lebih baik mungkin dicapai. Masa depan di mana janji-janji politik tidak hanya sekadar prosa indah, tetapi menjadi kenyataan yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Sumber: