Menakar Arah Persampahan Kota Makassar di Momen Refleksi Akhir Tahun dan Agenda Kebijakan 2026
Mashud Azikin adalah pemerhati isu lingkungan perkotaan dan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Aktif dalam kegiatan edukasi dan pendampingan pengelolaan sampah rumah tangga di Kota Makassar.--
Oleh:
Mashud Azikin
DISWAY, SULSEL - Menutup tahun 2025, persoalan persampahan masih menjadi salah satu tantangan utama Kota Makassar. Berbagai upaya perbaikan telah dilakukan, mulai dari penguatan layanan kebersihan hingga pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Namun, di balik sejumlah capaian tersebut, timbulan sampah yang terus meningkat dan kebocoran sampah ke lingkungan menunjukkan bahwa persoalan ini belum sepenuhnya tertangani secara sistemik.
Refleksi akhir tahun menjadi penting untuk menakar sejauh mana arah kebijakan persampahan kota berjalan, sekaligus menentukan langkah strategis yang perlu ditempuh pada 2026 demi mencapai target Makassar bebas sampah pada 2029.
Persoalan sampah di Makassar tidak lagi dapat dipahami semata sebagai urusan teknis pengangkutan dan pembersihan ruang publik. Ia telah berkembang menjadi persoalan tata kelola kota yang bersinggungan dengan perilaku sosial, ketahanan lingkungan, serta kualitas kesehatan masyarakat.
Sampah tidak berhenti di tempat pembuangan akhir, tetapi menyebar ke sungai, kanal, pesisir, dan pada akhirnya kembali ke manusia melalui lingkungan yang tercemar.
Sepanjang 2025, Pemerintah Kota Makassar mencatat sejumlah kemajuan yang patut diapresiasi. Penguatan armada pengangkut, penataan jadwal layanan, serta peningkatan respons kebersihan di kawasan strategis memberi dampak nyata terhadap wajah kota.
Sejumlah pasar tradisional, lorong permukiman, dan pusat aktivitas warga tampak lebih terkelola dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Di sisi lain, upaya pengurangan sampah berbasis sumber mulai menemukan momentumnya. Keberadaan bank sampah, TPS3R, serta inisiatif pengolahan sampah organik skala rumah tangga—meski belum merata—menjadi fondasi awal perubahan pendekatan. Kolaborasi dengan komunitas, sekolah, dan kelompok warga menunjukkan bahwa transformasi perilaku dimungkinkan ketika kebijakan disertai pendampingan sosial.
Pada tataran regulasi, komitmen untuk menekan penggunaan plastik sekali pakai terus disuarakan. Arah kebijakan mulai terbaca, meskipun implementasinya masih menghadapi tantangan konsistensi di lapangan.
Meski demikian, refleksi akhir tahun menuntut kejujuran yang sama besar. Pengelolaan sampah Makassar masih bertumpu pada pendekatan hilir. Tempat pembuangan akhir tetap menjadi sandaran utama, sementara upaya pengurangan di hulu belum berjalan secepat yang diharapkan. Timbulan sampah harian kota masih tinggi, dengan dominasi sampah organik yang sejatinya dapat diselesaikan di tingkat rumah tangga atau kawasan.
Fakta bahwa sampah organik masih diangkut ke TPA menandakan adanya persoalan mendasar dalam sistem edukasi, insentif, dan infrastruktur pengolahan lokal. Persoalan lain yang tak kalah penting adalah kebocoran sampah ke badan air. Sungai dan kanal masih kerap menjadi jalur akhir sampah yang tak terkelola, mencerminkan lemahnya pengawasan serta belum terintegrasinya pengelolaan sampah dengan sistem tata air dan pengendalian banjir kota.
Koordinasi lintas sektor juga masih menjadi titik lemah. Pengelolaan persampahan kerap berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan perumahan, kesehatan, pendidikan, dan tata ruang. Padahal, sampah adalah isu lintas sektor yang membutuhkan orkestrasi kebijakan, bukan kerja parsial antarinstansi.
Tahun 2026 perlu ditempatkan sebagai fase transisi penting: dari sekadar program menuju sistem persampahan kota yang utuh. Target Makassar bebas sampah 2029 hanya akan tercapai jika pusat gravitasi kebijakan digeser ke hulu. Pengolahan sampah organik berbasis rumah tangga dan kawasan perlu dijadikan arus utama, bukan sekadar pelengkap program.
Langkah ini menuntut regulasi yang lebih tegas, insentif yang terukur, serta pendampingan berkelanjutan kepada warga. Tanpa pengurangan signifikan di sumber, TPA akan terus menjadi tekanan ekologis yang kian berat. Di saat yang sama, penegakan aturan kebersihan perlu dilakukan secara konsisten dan adil, bukan semata sebagai instrumen sanksi, tetapi sebagai bagian dari pembelajaran sosial.
Selain itu, kebijakan persampahan perlu diintegrasikan dengan agenda kota yang lebih luas, seperti kesehatan publik, perlindungan pesisir, pengendalian banjir, dan adaptasi perubahan iklim. Integrasi ini penting agar setiap kebijakan persampahan menghasilkan manfaat ekologis dan sosial yang berkelanjutan.
Pada akhirnya, kebersihan kota tidak diukur dari seberapa sering sampah diangkut, melainkan seberapa jarang sampah dihasilkan. Makassar telah melangkah, tetapi belum sepenuhnya bertransformasi. Tahun 2026 akan menjadi ujian apakah kota ini mampu keluar dari pola pengelolaan konvensional menuju sistem persampahan yang lebih beradab dan berkelanjutan.
Target Makassar bebas sampah 2029 bukan sekadar janji kebijakan. Ia adalah kontrak moral antara pemerintah dan warga kota tentang masa depan lingkungan hidup yang lebih sehat dan layak huni. Waktu memang terbatas, tetapi kesempatan untuk berbenah masih terbuka.
Profil Penulis
Mashud Azikin adalah pemerhati isu lingkungan perkotaan dan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Aktif dalam kegiatan edukasi dan pendampingan pengelolaan sampah rumah tangga di Kota Makassar.
Sumber:

