Ibu, Algoritma, dan Pilihan yang Tersisa
Faisal Hamdan-Dokumentasi Pribadi-
Oleh: Faisal Hamdan, Journalist/Independent Research
Hari Ibu adalah hari ketika hampir semua anak mendadak menjadi lebih ramah kepada ibu yang mungkin sehari-hari sering ia bentak. Ibu terasa begitu berarti, terkesan tak tergantikan, seolah hidup menetap di hati.
Anakku sendiri rela menggunakan uang jajannya untuk memesan es kopi gula aren lewat aplikasi Shopee untuk ibunya, padahal usianya baru sebelas tahun.
“Selamat Hari Ibu,” katanya sambil menyerahkan kopi itu dan memeluk mesra ibunya, sebuah adegan kecil yang hangat, sekaligus sangat kekinian.
Pagi tadi, aku membaca sebuah status tentang Hari Ibu di story WhatsApp, entah mengapa status itu berbekas. Seperti biasa, media sosial seolah merekamnya.
Tak lama kemudian, puluhan video ucapan, kisah ibu dan anak, serta narasi pengorbanan bermunculan berderet di berandaku.
Media sosial tampak tahu bahwa cerita itu tidak hanya singgah di kepalaku, tetapi juga menyentuh perasaan, seolah emosi telah menjadi sinyal yang bisa dibaca dan direspons.
Aku tak ingin berpikir panjang tentang bagaimana media sosial mengetahui isi kepalaku.
Aku berdiri dan masuk ke dalam rumah, di depan tangga lantai dua, aku melihat ibuku duduk berdiam diri sambil menggulir layar ponselnya.
Padahal ia baru saja terbangun dan matahari belum sepenuhnya muncul, tangannya meraba ponsel, meski ia sering mengeluh nyeri di leher.
Aku tahu, ia membuka gawai itu bukan karena ingin, melainkan karena kebiasaan yang telah mengendap.
Di layar kecil di depan matanya, aku melihat notifikasi, saran, dan peringatan yang perlahan membentuk gambaran tentang bagaimana seharusnya Hari Ibu dirayakan.
Aku menatap wajah ibuku, lalu teringat masa kecilku, saat ia mengasuhku dengan pelukan, meredakan tangisku dengan nyanyian dan gendongan hangat, memberiku makan dari resep yang diwariskan nenekku, serta bercerita tentang ayahku di awal pernikahan mereka.
Waktu itu, tidak ada ponsel yang mengalihkan cerita, tidak ada YouTube yang menenangkan bayi, tidak ada media sosial yang memprediksi pikiran dan rasa.
Namun suasana itu berubah ketika ibuku kini menjaga anak bungsuku yang baru berusia satu tahun. Kadang ia menenangkan cucunya dengan suara kambing, kadang menyanyikannya sambil menggendong.
Sumber: refleksi penulis

