DPRD Kota Makassar
PEMKOT MAKASSAR

Ibu, Algoritma, dan Pilihan yang Tersisa

Ibu, Algoritma, dan Pilihan yang Tersisa

Faisal Hamdan-Dokumentasi Pribadi-

Tapi Cara itu terasa berat, karena tangis kembali pecah saat tubuhnya kelelahan. Ada satu kebiasaan yang tak pernah ia lakukan padaku waktu kecil, tetapi kini dilakukan kepada cucunya, membiarkannya menonton YouTube.

Istriku pun, sepulang kerja, sering melakukan hal yang sama, sebuah cara instan yang ampuh, membuat anak tenang, tanpa kehabisan banyak tenaga bahkan tampak bahagia.

Ibuku dan istriku mungkin tidak pernah benar-benar sadar kapan mereka mulai belajar mengasuh dari layar.

Mereka hanya tahu bahwa semakin hari semakin banyak standar yang harus diikuti, menu gizi, pola tidur anak, stimulasi kecerdasan, cara bicara yang tepat, cara memeluk yang benar.

Semuanya hadir tanpa diminta, tampak membantu, tampak rasional, dan perlahan terasa wajib.

Di era algoritmik, tanda-tanda kehidupan tidak lagi menunggu untuk dicari, ia datang sendiri, ia memilihkan diri untuk kita, ia menetap seperti status WhatsApp yang berbekas di kepalaku dan segera memunculkan rekomendasi di media sosial.

Algoritma membaca pola ketika satu video ditolak, lalu menghadirkan video lain, proses itu berulang, hingga akhirnya terasa wajar.

Algoritma bekerja tanpa wajah dan tanpa niat personal, tetapi sangat menentukan arah perasaan dan keputusan, termasuk dalam kehidupan seorang ibu.

Tidak ada satu suara yang secara langsung memerintah ibu memberikan tontonan YouTube.

Namun dorongan itu hadir melampaui bisikan manusia, ia tampil sebagai kewajaran, ia diulang terus-menerus, Seakan berkata, beginilah seharusnya ibu zaman ini mengasuh.

Ibu harus produktif, karena itu butuh cara instan, Ibu harus rapi dan disiplin, karena itu perlu video rekomendasi makanan bayi, pakaian bayi, dan cara menenangkan bayi.

Semua ditawarkan sebagai solusi praktis, bahkan dijanjikan sebagai jalan menuju kebahagiaan.

Beginilah algoritma bekerja, bukan sebagai mesin dingin, melainkan sebagai pengatur makna yang halus, persisten, dan nyaris tak terasa.

Pelan-pelan, menjadi ibu tidak lagi sekadar relasi, melainkan performa, ibu tidak hanya merawat anak, tetapi juga merawat citra.

Kelelahan pun lahir bukan semata dari cinta, melainkan dari tuntutan untuk selalu sesuai dengan standar yang tidak pernah selesai.

Sumber: refleksi penulis