MAKASSAR, DISWAYSULSEL - Sengketa perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur Sulawesi Selatan (Pilgub Sulsel) yang diajukan pasangan Mohammad Ramdhan 'Danny' Pomanto dan Azhar Arsyad ke Mahkamah Konstitusi (MK) tampaknya berpotensi berlanjut ke pemeriksaan pokok perkara.
Hal ini mengemuka setelah sidang pendahuluan di MK pada Senin (20/01/2025), di mana Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulsel sebagai pihak termohon tampak kurang maksimal menjawab dalil-dalil yang diajukan pemohon, khususnya terkait dugaan manipulasi tanda tangan dalam daftar hadir pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Kuasa hukum KPU Sulsel dari Kantor Firma Hukum HICON, Hifdzil Alim, dalam sidang menyampaikan bahwa dalil pemohon tidak benar. KPU Sulsel mengklaim tidak pernah melakukan manipulasi dalam bentuk apa pun, baik pada data maupun proses pemilihan.
“Ketika pemilihan berlangsung pada 27 November 2024 lalu, memang terjadi penumpukan pemilih di TPS. Kami telah mengklarifikasi langsung kepada KPPS terkait dugaan manipulasi tanda tangan,” ujar Hifdzil Alim.
Ia menjelaskan, banyaknya pemilih yang hadir bersamaan disebabkan mayoritas memilih datang pagi sebelum berangkat bekerja. Namun, jawaban tersebut dianggap tidak sepenuhnya menjawab dalil pemohon terkait dugaan tanda tangan palsu di TPS.
Ketua Majelis Hakim Panel Sidang II MK, Saldi Isra, mempertanyakan fenomena ini, terutama adanya sejumlah tanda tangan yang serupa atau tidak dilakukan pemilih dalam jumlah signifikan.
“Kalau satu-dua orang tidak tanda tangan, itu mungkin masuk akal. Tapi kalau segerombolan orang tidak tanda tangan, apa yang bisa menjelaskan ini?” ujar Saldi Isra.
Majelis hakim meminta KPU Sulsel memberikan penjelasan komprehensif disertai bukti kuat terkait dugaan 1,6 juta tanda tangan palsu yang didalilkan pemohon.
“Masa orang datang memilih tidak tanda tangan dalam jumlah besar? Itu harus dijelaskan dengan bukti kuat. Apa yang bisa KPU jelaskan?” tambah Saldi Isra.
Merespons hal tersebut, Komisioner KPU Sulsel, Ahmad Adi Wijaya, mengaku penumpukan pemilih di TPS memang menjadi penyebab utama. Namun, Saldi Isra kembali menyangga argumen tersebut, dengan menegaskan bahwa proses di TPS dilakukan secara bergilir, termasuk saat menandatangani daftar hadir.
Anggota Majelis Hakim MK, Asrul Sani, turut menyoroti keunikan kasus ini. Menurutnya, fenomena sebagian besar pemilih tidak tanda tangan di daftar hadir sangat jarang terjadi dalam sejarah sengketa pilkada di MK.
“Kalau semua pemilih tidak tanda tangan, itu mungkin karena KPPS tidak paham tugasnya. Tapi kalau sebagian besar tanda tangan, sementara sebagian tidak, itu harus dijelaskan secara rasional,” ujar Asrul.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Aminuddin Ilmar, menilai dalil tanda tangan palsu yang diungkapkan pemohon cukup serius. Berdasarkan pengamatannya, argumentasi yang disampaikan KPU Sulsel sejauh ini masih lemah.
“Alasan KPU bahwa pemilih terburu-buru tidak bisa dibenarkan. Dalam pengalaman kita, setiap pemilu selalu ada prosedur jelas, yakni pemilih dipanggil, tanda tangan, baru diberikan surat suara. Kalau tanda tangan tidak sesuai, itu sangat fatal,” jelas Prof. Ilmar.
Ia juga mengkritik fokus pembuktian KPU Sulsel yang terlalu sempit, hanya pada TPS di Kota Makassar, padahal gugatan pemohon mencakup 20 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.