Oleh: Armin Mustamin Toputiri
“Jangan membongkar pagar, sebelum Anda tahu tujuannya, kenapa pagar dipasang”
EITS, tunggu! Sabar. Mendaras pesan pendek itu, jangan keburu menggiring opini, ke kasus pagar ilegal di tepi laut Tangerang sana. Kini, posisi puncak konten, trending issu di republik ini.
Tak usah takjub, pesan itu datang dari John F. Kennedy. Saya catat, dari buku harian Presiden Amerika Serikat ke-35, yang populer dengan akronim JFK. Dia menulis; "Do note remove a fence untill you know why it was put up ini the first place".
Jika didaras, cermat dieja, JFK seolah tahu kasus tengah hangat dibincang, disoal di republik ini. Pemagaran laut ilegal di Tangerang. JFK tak ubahnya, mencatat ujaran dilontar Menteri KKP. “Tunggu, jangan dicabut dulu. Kalau sudah tau siapa memagarnya, kan mudah menyidiknya”.
Akh, tentu JFK mustahil tahu soal itu. Toh, jazadnya, sejak 61 tahun lalu ada di alam kubur. Arwahnya, pun telah berada di alam sana. Jangankan arwah JFK, para pemilik otoritas yang diberi amanah mengurusi -- “tanah dan air dikuasai oleh negara” Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 – bungkam. Tak tahu. Atau, entah pura-pura tak tahu?
Ajaib. Pagar itu, sekian bulan berdiri. Jauhnya, 30,16 Km. Mendatangkan jutaan bilah bambu. Kok tak ada yang lihat? Seluasannya itu ditancap, butuh banyak orang, butuh waktu berhari- hari. Eh, siapa yang kerja, siapa pula menyuruh, juga tak ada yang tahu. Hmm... "drakor", drama Korea.
Di tepian pantai, di Tangerang sana, angin tak ditangkap, badai tak digenggam.
Tanah dan air kita, itulah tanah air kita Indonesia. Paten dikuasai negara untuk kemaslahatan rakyat banyak. Tapi rupanya, di 537 hektar laut kita itu, sejak 2023 -- di era pemimpin kita sebelumnya -- wujudnya bagai kue di atas talang. Dipetak-petak, 263 irisan. Sertifikat HGB, serta SHM-nya, telah dibagi-bagi. Ke sekian pemodal.
Duh, tega ya? Apakah ini -- seperti diklaim banyak orang -- bagian praktik oligarki? Andai pertanyaan itu dialih ke ilmuwan politik Northwestern University Amerika, Jeffrey A. Winters, lewat bukunya “Oligarki” (2011) menjawab; sekira demikian adanya.
Jika Aristoteles, merumus oligarki “rule by the few”. Bentuk kekuasaan politik, di tangan segelintir orang, kaya. Berkuasa semata nemenuhi hasrat pribadi dan kelompoknya. Maka Winters merumus oligarki, bagai sebentuk politik pertahanan kekayaan “wealth defence”.
Bagi Winters, oligarki mesti dilihat dua sisi. Praktiknya, oligarki. Pelakunya, Oligan. Jika Anda punya modal besar, Anda butuh pertahanan kekayaan. Maka, Anda mesti terlibat, merawat stabilitas politik. Pemilu, misalnya. Sebab krisis politik, malapetaka bagi pertahanan kekayaan.
Sekira, demikian itukah praktik politik pemerintahan kita sebelumnya? Para oligan bersekutu dengan kekuasaan politik? Di buku Oligarki, Winters -- yang menulis sekian buku tentang politik Indonesia -- menulis; sudah sedemikian itulah praktik oligarki, sejak era Yunani, Romawi, hingga kini berlangsung di sekian banyak negeri.
Coba memahami, kepala saya serasa pening. Beruntung, di benak saya tetiba melintas kata “ambtenaar”. Ini bukanlah nama obat pereda pening. Memang tak lazim, banyak yang tak tahu, selain para penikmat novel karya Pramoedya Ananta Toer.