“Ini sebenarnya hanya soal political will. Jika pemerintah benar-benar ingin memekarkan Luwu Raya, tidak ada alasan kuat yang bisa menghambat, termasuk dalih moratorium atau keterbatasan anggaran,” ujar Adnan.
Adnan mencontohkan pemekaran Papua menjadi beberapa provinsi, sebagai bukti bahwa pemerintah pusat memiliki ruang untuk membuka peluang pemekaran wilayah, jika terdapat kebutuhan strategis dan dukungan politik yang memadai.
“Papua bisa dimekarkan karena ada dorongan kuat dari pusat. Artinya, kalau memang ada kemauan, bisa saja dilakukan hal yang sama di Luwu Raya,” tambahnya.
Menurut Adnan, hambatan historis dalam upaya pemekaran Luwu Raya lebih banyak bersifat politis. Ia menyebut tokoh-tokoh tertentu yang di masa lalu menolak wacana ini, namun kini sudah tidak lagi menjadi faktor penentu.
“Dulu sempat terhambat karena penolakan dari tokoh tertentu. Sekarang situasinya berbeda. Yang dibutuhkan sekarang adalah pembentukan tim kerja yang serius, berkesinambungan, dan mampu melobi ke tingkat pusat,” tegasnya.
Adnan juga mendorong pelibatan tokoh-tokoh dengan jaringan nasional, seperti tokoh muda, akademisi, dan mantan aktivis nasional yang memiliki akses ke parlemen dan kementerian.
“Tim-tim seperti yang dimiliki oleh Tamsil Linrung, yang kini duduk sebagai Wakil Ketua DPD RI, bisa dilibatkan untuk memperkuat lobi di pusat,” sarannya.
Ia menambahkan, dari sisi pelayanan publik, pemekaran wilayah seperti Luwu Raya sangat rasional karena dapat memperpendek rentang kendali dan mempercepat distribusi kebijakan serta layanan kepada masyarakat.
“Tujuan utama pemekaran adalah meningkatkan efisiensi dan akses pelayanan. Kalau Luwu Raya punya potensi itu, maka sebaiknya dipercepat,” katanya.
Akademisi Unhas ini pun menegaskan, upaya pemekaran membutuhkan kerja simultan antara pemerintah daerah, DPRD, partai politik, dan kelompok masyarakat sipil. (Reg/F)