Desentralisasi, Keterbatasan Fiskal, dan Inovasi Pemerintah Daerah di Indonesia

Arief Wicaksono --
Oleh: Arief Wicaksono (Dosen Fisip, Direktur Pusat Studi Desentralisasi dan Kerjasama Global Universitas Bosowa)
PADA tahun-tahun belakangan, wajah otonomi daerah di Indonesia dihadapkan pada tantangan pelik yang menuntut refleksi mendalam. Penurunan tajam transfer keuangan dari pusat ke daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 menjadi salah satu isu krusial, dimana pemerintah hanya mengalokasikan Rp 650 triliun untuk daerah, turun hampir 29% dari tahun sebelumnya yang menyentuh Rp 919 triliun.
Penyesuaian ini berbanding terbalik dengan naiknya belanja pemerintah pusat, dimana terjadi peralihan anggaran ke belanja pemerintah pusat yang meningkat 17,8% dari Rp 2.663,4 triliun menjadi Rp 3.136,5 triliun. Sementara pusat "menikmati" kenaikan anggaran belanja, daerah terpaksa harus gigit jari mencari celah pembiayaan melalui sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Flypaper Effect
Realitas di balik jargon desentralisasi fiskal di Indonesia, masih ditandai ketergantungan yang akut pada anggaran dari pusat. Data Kementerian Dalam Negeri mengungkap pada 2025, rasio rata-rata PAD terhadap total pendapatan daerah nasional baru sekitar 37,5%. Hanya 14 provinsi dari 38 yang PAD-nya di atas rata-rata—bahkan 20 provinsi masih mengandalkan transfer pusat di atas 60% kebutuhan belanja daerah.
Sedangkan di tingkat kabupaten/kota, ada yang ketergantungannya pada dana perimbangan pusat melebihi 800% dari PAD, seperti Kabupaten Bangli (Bali); hanya beberapa daerah seperti Denpasar dan Gianyar, yang sudah mampu menekan ketergantungan ke rentang 114–182% dari PAD-nya sendiri.
Data diatas menunjukkan bahwa telah terjadi ketergantungan yang sangat akut dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dalam hal fiskal. Fenomena yang dikenal sebagai “flypaper effect” ini menunjukkan transfer pusat justru membuat daerah enggan menggali PAD, karena merasa ada jaminan dana dari pusat setiap tahunnya.
Efek inilah yang memperlemah inovasi fiskal daerah dan membuat kebijakan seperti kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menjadi solusi “termudah” saat transfer pusat dikurangi atau terasa berkurang, dampak dari diberlakukannya efisiensi oleh pemerintah pusat.
Efek Domino
Para pengambil kebijakan di daerah, terpaksa menempuh “jalan pintas” menaikkan PBB-P2, sebagaimana terjadi di Kabupaten Pati, Kabupaten Bone, Kabupaten Jombang, dan sejumlah wilayah lain yang mengalami lonjakan hingga 250–1000%.
Kenaikan ini sering berorientasi pada kebutuhan jangka pendek untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna menutupi kekurangan dana pembangunan.
Namun, lonjakan mendadak ini juga memicu gelombang protes di masyarakat, khususnya dari kalangan menengah-bawah, pensiunan, dan pelaku usaha kecil-menengah yang terdampak penurunan daya beli, likuiditas usaha, hingga kepatuhan pajak seperti yang telah diproyeksikan akan berdampak langsung terhadap layanan publik dan perlambatan pembangunan daerah, memicu gejolak sosial-ekonomi setempat.
Ketergantungan fiskal daerah pada transfer dari pusat memang sudah lama menjadi catatan kritis dalam literatur otonomi daerah di Indonesia.
Transfer dari pusat dilakukan melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) mestinya diukur dari bagaimana daerah mampu bertransformasi bukan hanya sebagai “pengelola dana”, tetapi juga sebagai inovator pendapatan dan pelayanan publik. Dari data APBD nasional tahun 2023–2024 menunjukkan sejumlah kabupaten/kota bahkan mengalami penurunan rasio kemandirian fiskal hingga di bawah 30% karena PAD-nya yang kurang agresif dan cenderung ditempatkan di "wilayah aman".
Sumber: