Desentralisasi, Keterbatasan Fiskal, dan Inovasi Pemerintah Daerah di Indonesia

Arief Wicaksono --
Tantangan Pemerintah Daerah
Dalam praktik desentralisasi, pemerintah daerah tidak hanya dibebani tanggung jawab fiskal. Tumpang-tindih kewenangan antara pusat dan daerah, perubahan regulasi yang berulang, serta minimnya koordinasi masih menjadi batu sandungan.
Ketidakpastian hukum dan keterbatasan kapasitas birokrasi menyebabkan respons kebijakan daerah cenderung reaktif, pragmatis, dan minim inovasi.
Ketergantungan daerah pada aliran dana pusat juga memiliki implikasi negatif dalam membangun kemandirian fiskal. Meskipun regulasi telah memberi ruang otonomi, tetapi dalam praktiknya, sebagian besar daerah belum mampu mengelola potensi lokal secara efektif dan efisien.
Banyak kepala daerah lebih memilih mengutamakan kebijakan “mudah”, seperti menaikkan pajak, dibanding mengembangkan sumber pendapatan inovatif, optimalisasi aset, ataupun kolaborasi multi-sektor.
Mendorong inovasi dan akuntabilitas Pemerintah Daerah
Dalam sebuah kesempatan, Profesor Ryaas Rasyid menyampaikan bahwa pemangkasan dana transfer pusat seharusnya tidak otomatis membebani rakyat, melainkan menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk berinovasi. Pemerintah pusat perlu memberi ruang dan kepercayaan lebih besar kepada daerah, namun juga harus konsisten menerapkan supervisi dan pengawasan agar pengelolaan fiskal berjalan akuntabel.
Penting bagi kepala daerah untuk membangun kapasitas birokrasi yang adaptif, transparan, dan berbasis kebutuhan warga. Keterbukaan data, pelibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan, dan insentif bagi pelayanan publik berkualitas merupakan langkah strategis untuk membangun kemandirian daerah. Otonomi yang sehat menuntut kolaborasi erat antara pusat dan daerah serta penguatan SDM dan tata kelola pemerintahan daerah.
Menjaga Spirit Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Otonomi daerah sebagaimana telah diamanatkan oleh Reformasi 1998 dan awal era desentralisasi, mestinya menjadi wadah pemberdayaan dan kreatifitas lokal, bukan sekadar formalitas transfer kewenangan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan perjalanan panjang menuju otonomi yang sungguh “memerdekakan” daerah, bukan sebaliknya mengukuhkan sentralisasi gaya baru.
Penurunan transfer dana ke daerah di satu sisi memang menuntut efisiensi anggaran nasional, namun harus dibarengi dengan reformasi di tubuh birokrasi pemerintah pusat yang masih “gemuk” dan minim keteladanan.
Komitmen supervisi, asistensi, dan pelatihan bagi kepala daerah menjadi kunci utama. Tanpa itu, inovasi akan sulit tumbuh, dan kebijakan “jalan pintas” akan terus berulang, menodai cita-cita luhur Reformasi, Desentralisasi, dan otonomi daerah.
Ke depan, peta jalan desentralisasi harus meletakkan pemerintah daerah sebagai motor penggerak pembangunan, didukung kebijakan fiskal yang berpihak pada kebutuhan riil rakyat di daerah. Kolaborasi, inovasi, dan akuntabilitas adalah roh otonomi daerah Indonesia yang sebenarnya, demi pemerintahan daerah yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.***
Sumber: