Ibu, Algoritma, dan Pilihan yang Tersisa

Selasa 23-12-2025,21:28 WIB
Oleh: Faisal Hamdan

Istriku pun, sepulang kerja, sering melakukan hal yang sama, sebuah cara instan yang ampuh, membuat anak tenang, tanpa kehabisan banyak tenaga bahkan tampak bahagia.

Ibuku dan istriku mungkin tidak pernah benar-benar sadar kapan mereka mulai belajar mengasuh dari layar.

Mereka hanya tahu bahwa semakin hari semakin banyak standar yang harus diikuti, menu gizi, pola tidur anak, stimulasi kecerdasan, cara bicara yang tepat, cara memeluk yang benar.

Semuanya hadir tanpa diminta, tampak membantu, tampak rasional, dan perlahan terasa wajib.

Di era algoritmik, tanda-tanda kehidupan tidak lagi menunggu untuk dicari, ia datang sendiri, ia memilihkan diri untuk kita, ia menetap seperti status WhatsApp yang berbekas di kepalaku dan segera memunculkan rekomendasi di media sosial.

Algoritma membaca pola ketika satu video ditolak, lalu menghadirkan video lain, proses itu berulang, hingga akhirnya terasa wajar.

Algoritma bekerja tanpa wajah dan tanpa niat personal, tetapi sangat menentukan arah perasaan dan keputusan, termasuk dalam kehidupan seorang ibu.

Tidak ada satu suara yang secara langsung memerintah ibu memberikan tontonan YouTube.

Namun dorongan itu hadir melampaui bisikan manusia, ia tampil sebagai kewajaran, ia diulang terus-menerus, Seakan berkata, beginilah seharusnya ibu zaman ini mengasuh.

Ibu harus produktif, karena itu butuh cara instan, Ibu harus rapi dan disiplin, karena itu perlu video rekomendasi makanan bayi, pakaian bayi, dan cara menenangkan bayi.

Semua ditawarkan sebagai solusi praktis, bahkan dijanjikan sebagai jalan menuju kebahagiaan.

Beginilah algoritma bekerja, bukan sebagai mesin dingin, melainkan sebagai pengatur makna yang halus, persisten, dan nyaris tak terasa.

Pelan-pelan, menjadi ibu tidak lagi sekadar relasi, melainkan performa, ibu tidak hanya merawat anak, tetapi juga merawat citra.

Kelelahan pun lahir bukan semata dari cinta, melainkan dari tuntutan untuk selalu sesuai dengan standar yang tidak pernah selesai.

Pada titik inilah persoalan ini tidak lagi semata persoalan keluarga atau teknologi, ia menjadi persoalan politik, ketika pengasuhan semakin dibentuk oleh sistem rekomendasi.

Sementara negara tidak hadir dengan kerangka etik dan perlindungan yang memadai, ruang domestik keluarga perlahan diserahkan kepada logika platform dan kepentingan pasar global.

Kategori :

Terkait