Kapitalisme digital memahami posisi strategis ibu. Melalui ibu, nilai diwariskan, kebiasaan ditanamkan, generasi dibentuk.
Maka tubuh ibu dijadikan pasar, waktunya dijadikan data, dan kecemasannya dijadikan peluang ekonomi, setiap kegelisahan diberi nama, lalu ditawarkan solusinya.
Negara, pada saat yang sama, kerap hadir hanya sebagai penonton.
Dan pada akhirnya, tanda tidak lagi sekadar mencerminkan realitas, melainkan menciptakannya.
Ia bekerja secara otonom, ia melampaui niat manusia, ia sering kali melampaui kesadaran kita sendiri.
Anak-anak tidak hanya dibesarkan oleh orang tua, tetapi oleh ekosistem tanda yang terus berputar di layar.
Namun ada ruang yang tidak sepenuhnya bisa dijangkau algoritma, ruang kecil yang lahir dari kehadiran.
Ketika seorang ibu mematikan layar dan mendengar napas anaknya, ketika ia memilih duduk dan menunggu, bukan mencari jawaban cepat, ketika ia percaya pada intuisi dan nilai, bukan sekadar rekomendasi, ruang itu bernama nurani.
Perlawanan ibu hari ini tidak berupa teriakan atau penolakan teknologi, ia hadir sebagai keberanian untuk menjaga jarak, untuk tidak sepenuhnya tunduk pada arus tanda yang bergerak sendiri.
Ia adalah perlawanan sunyi, tetapi menentukan, karena ia bekerja di tempat paling awal pembentukan manusia.
Hari Ibu seharusnya tidak berhenti pada pujian dan simbol, ia adalah momen refleksi tentang siapa yang kini membentuk makna keibuan.
Manusia atau mesin, keluarga atau pasar, nurani atau algoritma. Selama negara belum sungguh-sungguh hadir melindungi ruang pengasuhan dari kolonisasi digital, beban itu akan terus jatuh ke pundak ibu.
Dan selama masih ada ibu yang memilih hadir alih-alih terdistraksi, memilih makna alih-alih standar, serta memilih hati alih-alih rekomendasi, manusia belum sepenuhnya kehilangan arah, di sanalah pilihan yang tersisa itu berada. Sunyi, rapuh, tetapi menentukan masa depan manusia.(**)