Ancaman Gocapan

Rabu 21-12-2022,07:55 WIB
Reporter : admin
Editor : admin

Oleh: Dahlan Iskan <strong>TAHUN</strong> ini tidak happy ending bagi IPO GoTo. Harga sahamnya, di pasar modal, Anda sudah tahu: seperti tahu dipukul palu. Tinggal Rp97 per saham di penutupan Jumat lalu. Bahkan sempat tinggal Rp94. Pun Rp82. Beberapa menit. Dan Senin kemarin masih turun lagi: Rp87 per lembar. Mungkin akan ada usaha tertentu agar tetap di kisaran itu. Agar tidak jatuh menjadi saham gocapan. Siapa tahu. Penyebabnya pun Anda sudah tahu: sejumlah besar saham yang dulu dilarang diperjualbelikan, sudah boleh dilepas ke pasar. Jumlah saham jenis itu mencapai ratusan miliar lembar. Pemiliknya pun Anda sudah tahu: ada perusahaan Singapura, Tiongkok, lembaga investasi dan sedikit Boy Thohir. Sedikit ukuran GoTo itu 1 miliar lembar. Kurang dari 1 persen. Tapi manajemen Gojek-Tokopedia (GoTo) tenang saja. Orang pasar modal, tidak kagetan oleh turun naiknya harga saham. Pun bila harga itu terjun bebas tinggal kurang dari 29 persennya. Dari Rp338 per saham di awal IPO jadi Rp97 Jumat lalu. Padahal sehari setelah IPO tanggal 11 April 2022, saham GoTo sempat naik jadi Rp388. Rupanya, begitu umur IPO GoTo mencapai 8 bulan, 30 November 2022, larangan jual itu berakhir. Para pemegang saham itu melepas saham mereka. Bahkan sejak 28 November, 2 hari sebelum batas itu, harga saham GoTo sudah mulai anjlok. Semua pemain pasti sudah hitung: bakal ada pelepasan saham besar-besaran setelah tanggal 30 November. Dalam jumlah ratusan miliar saham. Sebelum jatuh beneran ada yang sudah mulai turun tangga. Harga pun jatuh beneran. Sampai 11 hari berturut-turut. Berhenti sebentar turun lagi. Sampai Jumat lalu. Begitu dalamnya jurang itu sampai BEI (Bursa Efek Indonesia) memasukkan GoTo dalam UMA: unusual market activity. Maka berakhirlah hiruk-pikuk GoTo. Gegap gempita pun padam. Sejarah tinggal sejarah: inilah IPO terbesar dalam sejarah pasar modal Indonesia. Sampai 2 persen dari GDP Indonesia. Gemparnya mirip ledakan gunung Tambora. IPO-nya di pasar modal Jakarta, gempanya sampai di New York. Hari itu, kata 11 April 2022, GoTo dapat uang baru sekitar Rp160 triliun. Dalam sehari. Silau saya seperti mata menatap matahari pada jam 12.00 siang. Ketika belakangan harga saham GoTo nyungsep, medsos penuh dengan gosip GoTo. Mulai dari siapa pemilik saham itu, berapa triliun rupiah Telkom rugi, berapa besar gaji manajemennya sampai mengapa OJK belum turun tangan. Telkom selalu bilang belum bisa dibilang rugi. Investasi Telkom di GoTo memang besar. Sekitar Rp6,4 triliun. Yakni untuk membeli saham sebanyak 23,7 miliar lembar. Rupanya hati itu Telkom (lewat Telkomsel) dapat diskon khusus. Dari harga IPO Rp338 per lembar, cukup membeli dengan Rp276 per lembar. Ketika harga saham GoTo sempat naik jadi Rp388 di tanggal 12 April 2022, Telkom untung sekitar Rp2 triliun. Tapi Telkom tidak bisa menjual saham di tanggal itu. Saham yang dibelinya saham diskon. Tidak boleh dijual selama 8 bulan. Sayangnya ketika masa penahanan 8 bulan itu lewat, harga saham GoTo tinggal Rp97 per lembar. Telkom rugi sekitar Rp4 triliun. Untung Rp2 triliun tadi hanya di atas kertas. Rugi Rp4 triliun tadi juga di atas kertas. Yang jelas di tutup buku tahun ini, aset Telkom turun sekitar Rp3 triliun dari seharusnya. Ini tidak lagi di atas kertas. Tentu Telkom harus menunggu harga saham itu naik lagi. Kapan? Tidak ada yang tahu. Tahun ini GoTo masih rugi sekitar Rp23 triliun. Kalau ditambah kerugian lama, total kerugiannya mencapai Rp100 triliun. Tapi menurut CEO GoTo Andre Sulistyo, kerugian besar tahun ini lebih banyak akibat stock base compensation. Tenang saja. Bukan kerugian tunai. Bagaimana menjelaskan ini? Mudah. Berarti GoTo membayar gaji pimpinannya dengan dua cara: sebagian dibayar dengan uang, sebagian lagi dibayar dengan saham. Gaji bulanan mereka, kata Andre, dibayar tidak melebihi umumnya perusahaan besar. Itu yang dalam bentuk uang. Pengeluaran gaji pimpinan GoTo, selama 9 bulan tahun ini, sebesar Rp22,9 miliar. Berarti sebulan sekitar Rp1,5 miliar. Dibagi untuk sekitar 10 orang. Wajarlah gaji itu: sekitar Rp 150 juta per bulan per orang. Bahkan kurang besar. Terutama untuk ukuran perusahaan yang pernah bisa dapat uang Rp160 triliun dalam sehari. Itulah sebabnya para pimpinan tersebut masih mendapat gaji dalam bentuk stock base compensation (SBC). Kompensasi berbentuk saham. Mereka diberi saham. Nilainya, konon mencapai sekitar Rp11 triliun. Dibagi, mestinya, untuk sekitar 10 orang itu. Saham jenis ini termasuk yang tidak boleh dijual selama diperjanjikan. Mungkin selama 4 atau 5 tahun. Tujuannya: supaya pimpinan perusahaan bekerja keras untuk menaikkan harga saham. Saya tidak tahu Rp11 triliun itu didasarkan pada harga saham berapa. Anda juga tidak tahu. Mereka yang tahu. Bisa saja angka Rp11 triliun itu sekarang juga tinggal 25 persennya. Stock base compensation itu beda dengan ESOP (Employee Stock Option Plan). Karena bentuknya compensation, maka Rp11 triliun itu, harus dibukukan sebagai pengeluaran. Pencatatannya pun harus dilakukan di tahun pertama. Yakni saat kompensasi itu dilaksanakan. Maka di catatan buku GoTo mestinya ada pengeluaran Rp11 triliun tahun ini. Pengeluaran bukan tunai. Padahal kompensasi itu bisa jadi dikunci selama 5 tahun. Ini berbeda dengan ESOP. Di ESOP pimpinan dan karyawan memang dapat saham, tapi bentuknya option. Maka dicatatnya di pembukuan di kolom equity. Begitulah sistem akuntansi harus mencatatnya. Anda beli saham GoTo? Nilainya turun? Anda tentu rugi. Tapi juragan GoTo mungkin rugi lebih besar. Nilai perusahaan itu di awal IPO mencapai sekitar Rp400 triliun. Kini tinggal Rp97 triliun. Inilah uang Rp97 triliun yang menuliskannya pakai kata ''tinggal''. Maka jangan gundah. Anda bisa tetap tersenyum dengan humor ini: ketika Anda beli jeruk di pinggir jalan sebanyak 5kg dan ternyata masam, si penjual masih bisa menghibur Anda. "Anda hanya beli 5kg. Kami ini lho beli 1 ton masam semua". (*)

Tags :
Kategori :

Terkait