DPRD Kota Makassar
PEMKOT MAKASSAR

Under Invoicing dan Kedaulatan Ekonomi Indonesia

Under Invoicing dan Kedaulatan Ekonomi Indonesia

--

Oleh:  Mursalim Nohong (Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin)

Beberapa waktu yang lalu, Next Indonesia Center melansir selama 2014–2023, nilai misinvoicing (salah satu bentuknya adalah under invoicing) impor mencapai US$720 miliar atau sekitar Rp10.080 triliun dengan kurs rata-rata Rp14.000 per dolar. 

Fakta lain menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, under invoicing telah menyebabkan negara kehilangan penerimaan dari bea masuk barang sekitar 10-15% dari total penerimaan bea dan cukai.

Under invoicing merupakan praktik yang terjadi ketika nilai transaksi barang atau jasa yang tercatat dalam dokumen perdagangan internasional sengaja dilaporkan lebih rendah daripada harga sebenarnya. Praktik ini sering digunakan untuk menghindari kewajiban pajak, mengurangi bea masuk, dan memperoleh keuntungan finansial lainnya. 

Meskipun dapat memberikan keuntungan jangka pendek bagi pelaku usaha, dampak dari under invoicing sangat besar bagi perekonomian negara, terutama dalam hal penerimaan pajak, ketidakseimbangan pasar, dan daya saing industri domestik.

Di Indonesia, praktik under invoicing bukanlah hal yang baru. Kasus-kasus terkait under invoicing sering kali muncul dalam sektor-sektor yang melibatkan perdagangan komoditas besar seperti mineral, energi, dan barang konsumsi. Meskipun pemerintah telah berusaha keras untuk mengatasi masalah ini, dampaknya tetap terasa besar. 

Praktik ini berisiko merugikan perekonomian negara dan menghambat upaya Indonesia untuk mencapai target-target pembangunan ekonomi jangka panjang. Seluruh dunia mengetahui bahwa Indonesia adalah negara kaya yang salah satunya bersumber dari kekayaan alam tetapi faktanya masih banyak masyarakat terutama di daerah-daerah tambang misalnya memiliki angka kemiskinan yang tinggi.

Banyak alasan yang mengemuka terkait dengan praktik under invoicing menjadi masalah besar di Indonesia. Orientasi pada keuntungan berlebihan sehingga praktik ketidaktransparanan dalam perdagangan. 

Proses perdagangan yang dilakukan antar negara sering kali disertai dengan manipulasi data untuk mengurangi pajak, bea masuk, dan berbagai biaya lainnya yang terkait dengan transaksi tersebut. Hal ini semakin diperburuk dengan rendahnya tingkat pengawasan dari lembaga-lembaga yang bertanggung jawab, seperti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Praktik under invoicing memungkinkan perusahaan dapat menghindari pajak yang seharusnya dibayar kepada negara dan memperoleh keuntungan yang lebih besar. Di Indonesia, sektor-sektor yang sangat rentan terhadap praktik ini antara lain adalah perdagangan komoditas besar seperti batu bara, minyak, dan CPO (crude palm oil), yang memiliki nilai pasar internasional yang cukup tinggi. 

Selain itu, peraturan dan regulasi yang ada sering kali kurang memadai untuk mencegah praktik ini. Meskipun Indonesia memiliki regulasi yang cukup ketat dalam hal perdagangan internasional, implementasi dan pengawasan di lapangan masih jauh dari ideal. 

Banyaknya perusahaan yang tidak memenuhi standar atau tidak terdeteksi oleh sistem pengawasan yang ada semakin memudahkan mereka untuk melaksanakan praktik under invoicing tanpa terdeteksi.

Praktik under invoicing tidak hanya berdampak pada sektor pajak, tetapi juga memiliki dampak yang luas pada perekonomian Indonesia. Dampak utama yang paling terlihat dari praktik ini adalah berkurangnya penerimaan negara, baik dalam bentuk pajak maupun bea masuk. 

Dengan melaporkan nilai transaksi yang lebih rendah, pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak yang seharusnya diterima dari sektor perdagangan.Selain penerimaan pajak yang terbengkalai, praktik under invoicing juga mengganggu keseimbangan pasar domestik. 

Barang-barang yang diimpor dengan harga lebih rendah akibat penghindaran pajak dapat dijual dengan harga lebih tinggi di pasar lokal, yang menyebabkan ketidakadilan bagi produsen domestik yang tidak dapat bersaing dengan harga yang dimanipulasi. Ini menciptakan ketidakseimbangan dalam persaingan pasar dan merugikan konsumen. 

Sumber: