Perpustakaan Ajaib
--
Cak Nur, sepulang belajar di Chicago USA, ulang mengingatkan kita, sesungguhnya soal metodologi belajar mengajar. Antara fungsi satu sisi, azasi di sisi lain. Di Arab, Universitas mengajari fungsi sebilah pisau, misalnya. Di Barat sebaliknya, universitas justru mengajari azasi sebuah pisau. Soal cara memfungsikan, silahkan riset dan cari di perpustakaan.
Konon, itulah dalih kenapa perpustakaan di Barat, ramai pengunjung. Di Barat kata Cak Nur, semua universitas mengedepankan penalaran deduktif. Melakukan riset untuk memukan tesis dan teori terbaru. Hasilnya, ada di rak perpustakaan. Para perisetnya, itulah yang diganjar -- jabatan akademik -- gelar Guru Besar.
Indonesia -- dominan mazhabnya berkiblat ke Arab -- sebaliknya, bernalar induktif. Semata, berposisi penerjemah hasil-hasil riset. Tentu bukan lagi, pada azasinya, tapi cara pem-fungsian-nya. Dan Azyumardi Azra, Rektor IAIN Ciputat kala itu, tak suka "pembeoan" itu. Jadi alasan baginya, getol berjuang mengalih IAIN menjadi UIN.
Kembali melanjutkan bacaan novel "The Magic Library", yang tak kuat saya lumat habis saat malam jelang tahun baru 2025, adagium Russell -- seperti saya kutip di awal catatan ini -- tetap saja menguntit di benak saya. Bahwa perpustakan adalah gudang, berisi senjata terhebat di dunia.
Tak kecuali, gayung bersambut bagi sosok intelektual dan novelis Jostein Gaarder. Pun terinspirasi menulis novel dengan memilih plot, alur kisah pada perpustakaan sebagai arena membongkar rahasia dan misteri. Sebagaimana judulnya, "The Magic Library". Sebuah Perpustakaan Ajaib.
Lebih dramatis lagi, ketika Shelby Foote, sejarawan dan jurnalis Amerika yang menulis tiga buku serial, "The Civil War: A Narrative" lantang mengklaim. "Universitas sesungguhnya kumpulan bangunan-bangunan, penanda jika di sana berdiri sebuah bangunan bernama perpustakaan".
Nah, loh !!! Itu bukan kata saya ya, hi hi hi.
Sumber: