Laut Tak Suka Dikekang

Laut Tak Suka Dikekang

Ilustrasi.--

Coba memahami, kepala saya serasa pening. Beruntung, di benak saya tetiba melintas kata “ambtenaar”. Ini bukanlah nama obat pereda pening. Memang tak lazim, banyak yang tak tahu, selain para penikmat novel karya Pramoedya Ananta Toer.

Ambtenaar, pegawai negeri sipil era pemerintahan kolonial Belanda, Kini, ASN. Pramoedya, di novel "Bumi Manusia" misalnya, menyorot tajam, prilaku para ambtenaar itu. Bangsa Eropa tulis Pram, bertahan lama menjajah negeri ini, bukan karena kuat persenjataan, tapi sesama kita banyak memilih jadi ambtenaar.

Para ambtenaar, di film Indonesia tema perjuangan, mereka berstelan putih, helm putih, kumis tebal, sok sibuk, sok menggertak, ingin dihormati. Ehm, sekian tahun akhir, sosok sama, pelakon nyaris serupa,  tampak depan mata. Pembuka pintu, masuknya kaum oligan di kekuasaan.

Pagar laut ilegal itu, saatnya nanti dicabut. Seiring waktu, media dan semua kita, kelak melupakan. Asal tahu, melupakan adalah cara lain memaafkan. Dan siapa pun, berada di kekuasaan khatam langgam itu. "Toh nanti, publik juga akan lupa". Modus!

Mungkin itu dalihnya, kenapa JFK, Presiden Amerika Serikat itu, mau mencatat di buku hariannya, “jangan bongkar pagar, sebelum Anda tau tujuan pagar dipasang”. Agar kita ingat masa lalu, sadar ke mana kaki hendak melangkah. Kekeliruan tak boleh terantuk di batu yang sama.

Telusur saya, coretan di buku harian JFK – awal saya kulik seolah dia tahu pagar laut ilegal – rupanya, frasa yang ia kutip usai mendaras buku “The Things” (1929), karya G.K. Chesterton, penyair dan dramawan Britania Raya.

Chesterton, tak cara harfiah mengulik soal pagar, meski popular disebut “Chesterton Fence”. Chesterton di bukunya itu, berdalih soal peralihan spritualnya yang mengesankan. Meski, frasa "Pagar Chesterton" itu, kelak bergulir dan dimaknai pada konteks berbeda. Tak kecuali oleh saya, pada pagar laut ilegal itu.

"Laut tak suka dikekang", saya pungut dari novel Rick Riordan, Si Pencuri Petir, “The Lightning Thief” (2008). Saya jadikan judul catatan ini. Selain diksinya puitis, juga alur kisah novel petualangan itu, menjerat imajinasi liar saya, pada kasus pengekangan laut di Tangerang.

Petir milik Dewa Zeus raib. Gaduh, para Dewa saling tuding. Atas nama kemaslahatan para Dewa, Percy si anak indigo, tumbal dituduh mencuri petir itu. Percy tak terima, ia mencari pencuri petir. Meski bertaruh banyak monster, bawah laut yang terkekang, Percy merebut petir. Disetor ke Dewa Zeuz. Perang besar para Dewa di negeri Colombus, batal terjadi.

Ini kisah "Pencuri Petir" ya? Bukan kisah Pagar Laut. Ini Dewa Zeus ya? Ini di negeri Colombus ya? Jangan ditukar, di negeri Konoha ya! Hi hi hi.

Sumber:

Berita Terkait

1 bulan