Dahlan Iskan Ziarah ke Makam Sahabatnya, Alwi Hamu

Dahlan Iskan duduk bersilah tanpa alas sembari memanjatkan doa di makam sahabatnya, Alwi Hamu. --
DISWAY - Langit Makassar siang itu cerah, tetapi di pemakaman keluarga HM Jusuf Kalla di Jalan Ir. Sutami, suasana terasa hening, Selasa, 12 Maret 2025. Di antara deretan nisan yang bisa dihitung jari, seorang pria duduk bersila di tepi makam, tanpa alas. Ia menunduk, diam, dan tenggelam dalam doa.
Dialah Dahlan Iskan, pendiri Disway Network National sekaligus mantan Menteri BUMN. Perjalanannya kali ini bukan sekadar persinggahan. Ia datang untuk menunaikan janji hatinya berziarah ke makam Alwi Hamu, sahabat lama yang telah lebih dulu berpulang.
Dahlan baru bisa datang setelah hampir sebulan kepergian Alwi Hamu. Saat kabar duka itu datang pada 18 Februari 2025, ia tengah berada di Sanur, Bali. Jarak dan kesibukan menunda langkahnya, tetapi tidak dengan kenangan dan rasa kehilangan. Begitu tiba di Makassar dari Surabaya, ia langsung meminta diantar ke lokasi makam Alwi Hamu.
Tanpa banyak kata, ia duduk dalam hening. Selama 30 menit, Dahlan seolah mengulang kembali jejak kebersamaan mereka tentang diskusi panjang, tawa, serta perdebatan yang dulu mewarnai perjalanan hidup mereka.
Tak ada air mata yang jatuh saat ia bangkit, tetapi dari wajahnya, terlihat jelas perasaan kehilangan yang dalam.
Dahlan Iskan dan Alwi Hamu bukan sekadar rekan di dunia jurnalistik, tetapi sahabat yang saling menginspirasi.
Alwi Hamu dikenal sebagai pendiri Harian Fajar, koran yang pernah menjadi terbesar di Indonesia Timur. Namun, perjalanannya dalam membangun media ini tidaklah mudah.
Harian Fajar sempat mati berkali-kali, tetapi semangat Alwi untuk menghidupkan kembali medianya tidak pernah padam.
Dalam masa-masa sulit, ia pernah menemui Dahlan di Surabaya, membawa satu permintaan besar, agar Fajar bergabung dengan grup Jawa Pos yang saat itu dipimpin Dahlan. Namun, Dahlan menolak.
"Saya tidak mau. Saya pilih membantu manajemennya saja, agar Fajar tetap menjadi koran independen, tanpa harus Jawa Pos punya saham di dalamnya," kenang Dahlan yang dikutip dalam tulisannya berjudul 'Tiga Serangkai'.
Sebagai bentuk dukungan, Dahlan mengirim wartawan, tim pemasaran, dan bagian iklan Fajar untuk magang di Jawa Pos. Setelah satu bulan penuh belajar, mereka kembali ke Makassar, membawa ilmu dan pengalaman tanpa harus bergantung dari Jawa Pos.
Sebagai tambahan, mereka juga diberi pinjaman kertas, tinta, serta plate untuk percetakan.
Namun, sebulan berlalu, kala itu Fajar belum juga terbit. Dahlan pun mendengar kabar bahwa Alwi mendekati Kompas untuk bergabung ke dalam grup mereka.
"Kenapa harus bergabung ke Jawa Pos atau Kompas? Kenapa tidak mau mandiri?" tanya Dahlan.
Sumber: