Memihak Rubil

Memihak Rubil

Dahlan Iskan ketika menikmati nonton Indy 500 di Indiana Polis, Minggu 25 Mei 2025-DISWAY.ID-

AKHIRNYA saya memihak pembalap pujaan orang Amerika. Alasan saya sangat pribadi: anak bungsu cucu Pak Iskan diberi nama yang sama: Andretti. Dua kakak Andretti juga diberi nama pembalap: Ayrton dan Alesi.

Andretti yang ikut balapan di Indianapolis 500 (Indy 500) bernama lengkap Marco Andretti. Ayahnya juga pembalap: Michael Andretti. Pun kakeknya: Mario Andretti.

Ketika balapan baru berlangsung satu putaran keberpihakan saya harus berubah. Andretti tersingkir di putaran pertama. Ia sedih. Penonton sedih.

Saya segera move on. Ganti memihak Takuma Sato. Alasan saya: Sato pakai mobil yang mesinnya Honda.

Salah seorang yang menyiapkan mesin Honda adalah teman cucu Pak Iskan. Ia arek Suroboyo. Namanya Adi Susilo (lihat Disway kemarin: Istri Sekampung).

Lihat juga podcast Adi bersama cucu Pak Iskan di bawah ini:

Sebelum perlombaan dimulai Adi mengajak saya keliling garasi mobil-mobil yang pakai mesin Honda. Saya pun seperti bebas di area rahasia itu.

Saya juga bertemu Mario Andretti. Saya sampaikan salamnya cucu Pak Iskan. Saya pun minta foto bersama –agar tidak hanya cucu Pak Iskan yang punya foto bersamanya. Mario kini berusia 85 tahun. Ia juara Indy500 pada 1968 dan juara Formula 1 pada 1978. Di masa jayanya, Mario dikenal sebagai pembalap serbabisa.

Tidak salah saya memihak Sato. Di beberapa lap awal Sato memimpin perlombaan. Memang ia sempat tergeser ke urutan dua, tapi segera menyalip ke depan lagi. Baru setelah ganti ban Sato tersingkir ke urutan delapan.

Lokasi pit stop Sato persis di depan tempat duduk saya. Saya di deret kelima. Bisa melihat ganti ban dengan jelas.

Tidak lama Sato turun di posisi delapan. Dalam waktu singkat ia bisa naik drastis ke urutan satu lagi.

Lalu saya harus ke kamar kecil. Meski penonton begitu banyak tidak ada antrean di kamar kecil. Untuk toilet laki-laki tidak pakai urinoir. Diganti stainless steel memanjang seperti talang. Bisa muat banyak. Kesannya tetap mewah.

Balik dari kamar kecil, petugas pit stop di depan saya seperti lesu. Saya menatap layar. Nama Sato ternyata tergusur dari 10 besar. Ia tergeser jauh ke bawah. Saya berharap beberapa lap berikutnya Sato akan di depan lagi.

Tidak. Tidak pernah bisa naik lagi.

Saya tinggalkan tempat duduk. Saya ajak Maya pergi ke museum balap mobil. Lokasinya di dalam stadion juga.

Sambil berjalan ke museum saya tetap bisa nonton. Saya amati perkembangan Sato di layar. Banyak layar besar di sepanjang jalan. Sato tetap tidak terbilang lagi di layar.

Menonton balap mobil –seperti Indy 500– yang menarik adalah pembukaan dan penutupannya. Balapannya sendiri sulit dinikmati. Saat melintas di depan tribun saya, misalnya, kecepatan mobilnya 385 km/jam. Jauh lebih cepat dari kereta Whoosh. Juga lebih cepat Dari mobil Formula 1.

Di Formula 1 kita masih bisa menandai mana mobil yang kita dukung. Terlihat dari warna mobil. Atau warna helm pembalapnya.

Di Indy 500 saya hanya bisa melihat bayangan kabur sebuah mobil yang melesat cepat. Warna mobil sudah tidak begitu jelas. Apalagi warna helm pembalapnya.

Maka yang kami tonton adalah suara deru mobilnya. Untuk posisi pembalap harus lihat layar lebar. Sama-sama menonton di layar kenapa tidak menonton di rumah saja.

Tidak begitu. Dengan hadir di speedway yang dilihat tidak hanya mobil balap. Bahkan lebih dari sekadar melihat. Ada unsur menikmati. Ada penghayatan total yang tidak akan ditemukan di depan TV. Apalagi kalau di rumah harus berebut remote control dengan istri.

Begitu banyak yang bisa ditonton selain balapannya. Ini seperti pesta rakyat. Begitu banyak yang sepanjang perlombaan hanya berbaring di rumput. Menggelar kain. Membuka kursi lipat.

Makanan apa saja ada di sebelah mereka. Juga aneka minuman. Anak-anak mereka sibuk lomba permainan anak antara mereka sendiri.

Tontonan lain adalah pameran mobil. Resto aneka makanan. Banyak juga pameran pakaian: di toko maupun di tubuh-tubuh mereka. Yang di toko kalah menarik dengan yang mereka kenakan. Ada yang pakai baju motif bendera Amerika. Ada yang hampir tidak pakai baju sama sekali.

Di resto banyak ayam goreng paha dan dada. Di seputar arena banyak paha dan dada beneran. Padahal udara agak dingin. Semua itu bisa membuat mata menjadi hangat.

Semula saya tidak tahu dari mana datangnya angka 500 di belakang Indy 500 itu. Ternyata balapan mobil ini menempuh jarak 500 mil. Berarti 800 km. Melebihi Surabaya-Jakarta lewat tol. Bayangankan jarak sejauh itu bisa diselesaikan 2,5 jam.

Tahun ini, Anda sudah tahu: juaranya Alex Palou. Orang Barcelona. Umur 28 tahun. Punya anak satu: umur 16 bulan.

Setelah upacara penyerahan piala, Palou menggendong anaknya ke tempat ritual legendaris: mencium garis finis. Bersujud di situ. Ia juga minta anak mungilnya ikut mencium garis finis itu.

Berbeda dengan di Formula 1, di Indy 500 hanya juara yang naik podium. Tidak ada juara dua dan tiga. Cara merayakannya pun berbeda. Di Formula 1 para juara meminum champagne dan menyemprotkan sisanya. Di Indy 500 sang juara meminum susu.

Isu yang berkembang: Indiana ini sangat agamis. Aturan agama (Kristen) harus dijalankan. Termasuk tidak boleh jualan minuman keras di hari Minggu.

ChatGPT ternyata punya jawaban lain. Minum susu itu tidak ada hubungan dengan tingkat konservatifnya Indiana.

Karena yang naik panggung hanya sang juara, maka tidak perlu dibangun panggung. Panggungnya adalah mobil balapnya.

Di Formula 1, mobil juara tidak ikut naik panggung. Di Indy500 mobilnya dinaikkan ke depan backdrop lantai dua untuk dijadikan panggung: sang juara naik dan berdiri di atas mobil itu.

Sebelum melihat sendiri Indy 500, saya sulit membayangkan di mana penonton parkir mobil. Bagaimana penyediaan toiletnya. Tahun ini jumlah penonton Indy 500 sebanyak 300.000 orang. Tidak ada perlombaan lain di dunia yang penontonnya sebanyak itu.

Ternyata pekarangan rumah penduduk sekitar sirkuit bisa jadi lapangan parkir. Rumah di Amerika tidak punya pagar. Bentuk halamannya hamparan rumput. Luas-luas. Satu halaman bisa menampung sampai 10 mobil.

Yang terlihat mencolok: banyak sekali ''rubil'' –rumah mobil– parkir di sana. Rupanya penonton Indy500 banyak yang tiba di sirkuit sehari atau dua hari sebelumnya. Mereka membawa ''rubil''. Sekalian liburan. Berkemah di sebelah ''rubil''. Ada kamar mandi, toilet, dapur, tempat tidur di ''rubil'' itu.  Sama sekali tidak ada tukang parkir dadakan.

Sirkuitnya sendiri tidak modern. Bangunan tua. Terlihat kunonya. Indy 500 tahun ini memang sudah yang ke-109. Sejarahnya sudah begitu panjang.

Arena ini benar-benar besar sekali. Arsitekturnya lebih mementingkan fungsionalnya –tidak keindahannya.

Posisi lintasan untuk balap mobilnya mirip posisi lintasan lari di GBK: mengelilingi pinggir stadion.

Di GBK tengahnya untuk lapangan bola. Di stadion Indianapolis ini tengahnya justru difungsikan sebagai fasilitas penyelenggaraan.

Sebagian untuk lokasi pameran mobil. Sebagian lagi untuk parkir khusus para tenant dan panitia. Juga untuk garasi mobil-mobil balap. Untuk museum. Berbagai restoran. Kamar kecil. Semuanya kelihatan kurang tertata. Tidak ada taman. Tidak ada pohon.

Amerika sudah puas dengan sejarah dan kejayaan Indy 500. Toh sudah jadi Makkah-nya balap mobil. Mungkin juga sudah sulit merehabilitasinya. Terlalu berat. Lebih baik membangun yang baru.

Baru sekali ini saya menonton balap mobil di Amerika. Lumayan. Biar sekali langsung ke Makkah-nya.(DAHLAN ISKAN)

Sumber: