Kompor 450

Kompor 450

Oleh: Dahlan Iskan &nbsp; <strong>MASIH</strong> banyak tanda kita belum maju: gas masih dikirim pakai tabung. Ke mana-mana. Padahal setiap rumah perlu gas. Untung air sudah dikirim pakai pipa. Sedang listrik, apa boleh buat, memang terpaksa harus dikirim pakai kabel. Untung power bank tidak ditemukan sejak dulu. Bisa-bisa listrik kita pun dikirim seperti kiriman gas. Di bidang listrik kita sebenarnya sudah sangat maju –kalau saja tidak ada ini: pembatasan pemakaian di meteran. Yang kelas-kelasnya begitu banyak. Yang selalu bikin heboh. Terutama kelas paling bawah, 450 VA. "Jadi dihapus?" "Tidak". "Pembahasannya dihentikan?" “Tidak pernah ada pembahasan". "Yang di Komisi Anggaran DPR itu?“ "Tidak ada". Syukurlah. Jumlah pelanggan listrik kelas paling bawah itu sangat banyak. Paling banyak kedua: 24,5 juta orang. Kalau yang 450 itu dihapus berarti kelas paling rendah menjadi 900. Sebenarnya tidak apa-apa. Asal dibicarakan bagaimana dengan tarif dasar untuk 900 va itu. Siapa tahu tarif dasar yang 900 bisa ikut yang 450. Bukankah ide itu justru akan membuat subsidi listrik kian besar? Tentu. Bisa juga tidak. Tergantung penentuan tarif di pemakaian listrik di atas batas minimal itu. Penentuan tarif listrik memang sangat ruwet di Indonesia. Untung kita sudah biasa berpikir ruwet. Kalau kemarin ada ketua DPRD yang tidak hafal teks Pancasila kini saya yakin tidak semua dirut PLN hafal kelas-kelas tarif listrik. Contohnya saya dulu. Di negara maju,dirut PLN-nya tidak ada yang tidak hafal tingkatan tarif –karena di sana tidak ada pembatasan listrik. Tidak ada pertanyaan ''mau nyambung listrik yang berapa VA''. Sambung saja. Kalau mau hemat ya harus disiplin sendiri. Berapa yang Anda pakai itulah yang Anda bayar. Pelanggan yang 900 VA lebih banyak lagi: 35 juta orang. Dari jumlah itu ada juga yang menerima subsidi: 8 juta orang. Bisa dibayangkan hebohnya. Kalau yang 450 VA dihapus: 24,5 juta orang. Memang seperti tidak masuk akal. Di zaman ini sebuah rumah cukup dialiri listrik 450 VA. Padahal zaman sudah serba elektronik. Semua alat butuh listrik: pompa air, TV, rice cooker, kulkas, setrika... Tapi orang juga mulai bisa berhemat: saat menyetrika, misalnya, alat pemakan listrik lainnya dimatikan. Saya tidak tahu sejarah: sejak kapan sistem 450 VA itu diterapkan. Rasanya sejak zaman Belanda. Zaman itu pembatasan dilakukan bukan karena miskin. Yang bisa mendapat listrik adalah orang kaya. Motifnya lebih pada kekurangan listrik. Kini pembatasan menjadi lambang status sosial ekonomi. 450 VA adalah kapasitas terkecil dari sistem listrik dua phase. Satu phase 220 VA. Maka dua phase 450 VA. Misalkan Anda ingin pasang listrik 400 VA, itu tidak bisa. Tidak ada sekring ukuran itu yang dijual. Semua sudah distandarkan satu phase 220 VA. Tentu orang PLN semua mimpi indah: kapan negara ini maju. Tidak perlu lagi ada begitu banyak kelas pelanggan. Tidak harus berkasta-kasta. Semua dibuat sama. Tinggal masing-masing berpikir sendiri: berapa kemampuan pemakaian listrik bulanannya. Di zaman komputer seperti ini mestinya bisa. Siapa yang pemakaiannya hanya 300 watt tarifnya rendah. Kian tinggi pemakaian kian mahal tarifnya. Tidak perlu dikastakan. Memang akan heboh. Awalnya. Dan sekarang menjelang Pemilu. Lebih baik ide itu diabaikan saja. Jangankan mengubah semua itu. Menggalakkan kompor listrik saja hebohnya bukan main. Padahal modernisasi penyaluran energi ke semua dapur rumah di Indonesia seharusnya sudah tidak bisa ditunda. Pilihannya hanya dua: membangun pipa gas ke semua rumah atau mengganti kompor gas ke kompor listrik. Dari dua hal itu kita masih sangat jauh dikatakan maju. Memilih di antara dua itu juga tidak sulit. Mengingat harga gas fluktuatif, pilihan hanya satu: menggalakkan kompor listrik. Lihatlah betapa kian besar subsidi negara untuk elpiji. Maka migrasi ke kompor listrik jadi pilihan satu-satunya. Dulu mengganti minyak tanah ke elpiji dimaksudkan untuk mengurangi subsidi. Kini subsidi elpiji seperti kena kutukan arwah minyak tanah. Pemerintah sebenarnya sudah bulat: tahun depan jumlah pemakai kompor listrik sudah harus 5 juta rumah. Tahun depannya lagi naik tiga kali lipat. PLN juga sudah menyiapkan teknis pelaksanaannya. Orang miskin diberi gratis kompor listrik. Dua tungku. Ditambah bantuan dua alat utama masak: wajan teflon yang mengandung besi dan panci khusus kompor listrik. Untuk berganti ke kompor listrik peralatan masak yang sekarang memang tidak bisa dipakai. Terutama yang terbuat dari aluminium. Alat dapur yang cocok untuk kompor listrik adalah yang mengandung besi. Panci-panci aluminium tidak cocok: panasnya lama sekali. Teflon yang ada di dapur Anda umumnya juga tidak cocok. Kecuali yang mengandung besi. Kira-kira hanya 20 persen teflon yang ada di pasaran selama ini yang mengandung besi. Siapa yang jadi sasaran penggantian kompor ini? Orang kaya? Orang miskin? Inilah sulitnya. Pemerintah memilih mendahulukan orang miskin. Yakni yang berlangganan listrik 450 VA. Mereka inilah penyerap subsidi terbesar. Di dua bidang sekaligus: subsidi listrik dan subsidi elpiji. Tapi penerima subsidi itu mungkin tidak merasa kalau sedang menerima subsidi setiap hari. Bisa saja mereka menganggap harga elpiji 3 kg itu ya memang segitu. Maka ketika akan pindah ke kompor listrik pertanyaannya satu: apakah lebih murah dari elpiji. Bagaimana menjelaskannya? Kalau dibanding harga elpiji non subsidi jauh lebih murah. Tapi bukan itu intinya: bagaimana dengan biaya elpiji saat ini, sekarang ini, yang disubsidi besar-besaran itu. Tentu masih sedikit lebih mahal. Maka DPR cenderung menolak program komporisasi listrik ini. Dianggap terlalu rumit. Sebenarnya masih lebih rumit dari itu. Misalnya, bagaimana listrik 450 VA bisa dibuat menyalakan kompor listrik. Pasti tidak bisa. Berarti daya listrik di rumah itu harus dinaikkan: menjadi 2200 VA. Seperti di rumahnya orang mampu. Maka kalau semua rumah 450 VA berubah ke kompor listrik otomatis pelanggan 450 VA hilang. Tidak begitu. Kalau pikirannya seperti itu tidak akan ada orang miskin yang mau ganti pakai kompor listrik. Tarif dasar pelanggan 2200 jauh lebih tinggi dari 1200 atau pun 900 VA. Apalagi dibanding 450 VA. Lantas bagaimana? PLN sudah siap. Meski daya listrik di rumah orang miskin itu menjadi 2200, tapi ia tetap dianggap pelanggan 450 VA. Tetap murah sekali. Dan tetap disubsidi pula. Yang 2200 VA itu lebih untuk menghidupkan kompor. Di kompor itu sudah dipasangi software dan layar digital. Bisa dibaca di kompor itu: berapa penggunaan listriknya. Di tagihan bulanannya pun akan ada perincian: berapa rupiah untuk rumah dan berapa rupiah untuk kompor. Begitu rumit. Begitu banyak pekerjaan. Tapi kalau keribetan itu bisa dilalui semuanya akan menjadi sangat sederhana. Modern. Memang tidak mudah memerawani sesuatu. Bidang apa pun. **

Sumber: