Tangis Panggung
<strong>Oleh:DahlanIskan</strong> "<strong>KENAPA</strong> Anda menangis?" Tidak dijawab. Tangisnya justru lebih sesenggukan. Saya ambil tisu. Beberapa lembar. Saya usap-usapkan di matanya. Lalu saya berikan ke ia. Biar mengusap sisa air matanya sendiri. Namanya: Muhammad Al Fatih. Ia mahasiswa semester 1 jurusan komunikasi Universitas Mulawarman,Samarinda. Saya memang memberi kuliah umum di situ. Mahasiswa yang ingin bertanya saya minta naik panggung. Tiga orang. Lalu tiga orang lagi. Al Fatih naik panggung belakangan. Ternyata Al Fatih lebih banyak curhat. Baru saja memulai bicara tenggorokannya tersendat. Ternyata menahan tangis. Pertahanannya tidak kuat. Ia mulai terisak. Ternyata Al Fatih tidak hanya mahasiswa. Ia sudah mulai menjadi wartawan. Baru. Belum genap lima bulan. Tekanan demi tekanan ia derita. Ia sudah pula menerima ancaman. Juga dibuntuti terus oleh orang yang mencurigakan. "Itu terkait dengan berita yang saya tulis," ujarnya setelah reda dari tangisnya. "Berita yang mana?" "Saya tidak bisa menduga. Mungkin salah satu dari tiga berita yang saya tulis," jawabnya. Sorenya saya hubungi Al Fatih dari Balikpapan. Saya minta didetailkan berita apa saja yang ia tulis. Pertama soal tambang batubara ilegal. Yang jumlahnya 21 perusahaan. Ia tulis nama-nama 21 perusahaan itu. Akibatnya memang panjang. DPRD Kaltim memanggil kepala dinas Pertambangan. Kenapa semua itu dibiarkan. Berita kedua, soal pedagang kaki lima yang jualan iga bakar. Di Jalan Ahmad Yani. Iga bakar Sunaryo. Pedagang itu digusur. Padahal ada pegadang iga bakar lain yang dibiarkan. Melanggarnya sama. Jaraknya pun hanya sekitar 1 km. Hanya saja yang tidak digusur itu masih milik keluarga penguasa di Samarinda. Yang ketiga soal wacana pemotongan insentif guru. Awalnya, kata wacana itu, insentif akan diturunkan dari Rp750.000 ke Rp250.000. Itu karena anggaran APBD untuk itu tidak cukup lagi. Alokasi anggaran insentif dipotong banyak. Ketika wacana ini jadi berita terjadi ribut. Lalu muncul wacana lain: lebih baik insentif guru yang sudah lama jangan dipotong. Insentif guru yang masih baru saja yang dihapus. Ribut lagi. Sekarang wacana ini masih menunggu peraturan wali kota Samarinda atau peraturan daerah. Saya biarkan dulu Al Fatih menyelesaikan tangisnya. Lalu saya bercerita bahwa apa yang dialami Al Fatih itulah risiko seorang wartawan. Saya pun mengalami. Tidak hanya sekali. Bagi Al Fatih, di usia yang begitu muda, itu sangat bagus untuk menempa diri. Umurnya baru 23 tahun. Sudah punya pengalaman hebat seperti itu. Saya pun bertanya: apakah ia akan berhenti sebagai wartawan. Jawabnya: tidak. Apakah ia akan berhenti berjuang. Jawabnya: tidak. Syukurlah. Saya juga memuji media tempat Al Fatih bekerja: samarindakita.com. Pimpinan media online itu juga ditekan pihak lain. Tapi tetap saja memuat berita yang dibuat Al Fatih. Jarang media online punya idealisme setinggi itu. Al Fatih juga puas bekerja di samarindakita.com. Gajinya memang kecil tapi idealismenya tersalurkan. Soal biaya hidup ia masih punya sisa tabungan. Termasuk untuk membayar uang kuliah. Ia memang sempat menabung ketika mendapat beasiswa yang bagus di Abu Dhabi. Ia delapan tahun sekolah di sana. Sejak kelas 6 SD. Sampai lulus SMA. Sebenarnya ia sudah kelas 2 SMP di SMP Cordova di Samarinda. Lalu dapat tawaran beasiswa di Abu Dhabi. Ia berangkat. Harus kursus bahasa Arab dulu satu tahun di sana. Lalu harus masuk dulu kelas 6 SD. Ia mau. Maka ia perlu 8 tahun untuk sampai tamat SMA. Sebenarnya Al Fatih dapat tawaran beasiswa lanjutan untuk kuliah di sana. "Yang ditawarkan jurusan Usul Fikih. Saya merasa tidak cocok," katanya. Sejak kecil ia memang sudah suka menulis. Termasuk menulis cerpen. Maka cita-citanya memang jadi wartawan. Keinginan lainnya: jadi dosen. Al Fatih anak kedua dari empat bersaudara. Sebenarnya ia tidak harus jadi wartawan. Ayahnya pejabat penting di Kaltim: Wakil Gubernur Hadimulyadi. Dari namanya ia seperti orang Jawa. Tapi Hadimulyadi adalah orang Kutai asli. Berdarah biru kesultanan Kutai. Sang ayah sarjana matematika lulusan Universitas Hasanuddin. Lalu menjadi dosen. Dan mendirikan lembaga pendidikan Cordova di Samarinda. Ia aktivis Partai Keadilan Sejahtera. Sampai jadi anggota DPR dan kemudian wakil gubernur. Kini ia menjadi ketua partai Gelora Kaltim. "Apakah Anda berani mengkritik Pemprov Kaltim?" tanya saya. "Soal batubara ilegal itu kan kritik untuk Pemprov juga," katanya. Media kini begitu sulit mencari wartawan. Jarang ada anak muda seperti Al Fatih. (*)
Sumber: