Teddy Minahasa

Teddy Minahasa

Oleh:Dahlan Iskan <strong>TRAGIS</strong> benar nasib Irjen Pol Teddy Minahasa Putra. Baru saja dapat kabar gembira, ia langsung harus berduka. Belum lagi menempati posisi barunya yang moncer, ia ditangkap dengan tuduhan narkoba. Semua ini masih keterangan sepihak dari Mabes Polri. Kita belum bisa menggali cerita versi Teddy. "Yang jelas saya kaget sekali. Beliau itu merokok saja tidak. Masak sih mengonsumsi narkoba," ujar seseorang yang dekat dengan jenderal polisi berbintang dua itu. Tuduhan kepadanya dua: pengguna dan pengedar narkoba. Tuduhan pengguna didasarkan pada tes urine Teddy: positif. Itu keterangan resmi dari Polri. Tak terbantahkan. Apa pun dalihnya. Urine positif memang belum tentu narkoba. Bisa saja karena seseorang baru saja mengonsumsi obat tertentu dari dokter. Bisa juga karena menjalani pembiusan akibat ke dokter gigi atau operasi. "Rasanya Pak Teddy ke dokter gigi sehari sebelumnya. Juga suntik nyeri engkel," ujar orang itu. Ditunjukkanlah pada saya nama dokternya, tempat praktiknya dan juga nama dokter giginya. Saya sendiri tidak kenal Teddy. Juga belum pernah bertemu. Ia jadi ajudan Wapres Jusuf Kalla di saat saya sudah sibuk berat di Surabaya. Beda generasi, beda masa pengabdian. Tadi malam saya baca di Kompas online. Ada berita yang berbeda dengan yang di media beberapa jam sebelumnya. Irjen Pol Teddy Minahasa dinyatakan negatif. Test urinenya negatif. Dua berita itu begitu bertentangan. Bisa saja berita yang pagi itu salah. Bisa juga karena dilakukan tes ulang. Tapi reputasi Teddy sebagai pengguna narkoba sudah tersiar luas sepanjang hari kemarin. Teddy tragis sekali. Ia lulusan terbaik Akpol tahun 1993. Sampai bisa terpilih menjadi ajudan wapres. Tapi karirnya setelah itu tidak lagi ke atas. Memang tidak juga ke bawah. Lebih tepat hanya ke samping: jadi kapolda Banten yang wilayahnya begitu kecil, lalu wakapolda Lampung, dan masuk ke staf ahli. Agustus tahun lalu ia jadi kapolda lagi, namun masih di wilayah kelas B, Sumbar. Maka teman-temannya melihat Teddy bukan pemilik bintang yang terang. Yang tidak perlu didekati atau ditempel. Ia bukan kelompok Sambo yang cemerlang. Temannya melihat selama banyak tahun terakhir Teddy seperti tertekan jiwanya dalam masalah karir. Waktu di majalah Tempo saya diajari untuk memperhatikan para juara angkatan di Akabri. Mereka pasti calon pemimpin masa depan. Saya memperhatikan Teddy karena ajaran itu. Ia juara angkatan 1993. Bukan karena kenal. Kadang sulit mengikuti perjalanan karir para juara itu. Apalagi ketika tidak terlalu aktif lagi di media. Maka di kalangan wartawan yang memperhatikan mereka, Teddy digolongkan yang bintangnya redup. Barulah wartawan tiba-tiba terjaga ketika Teddy diangkat menjadi kapolda di wilayah A: Jatim. Lima hari lalu. Yakni setelah bintang-bintang di kelompok Sambo banyak disisihkan. Saya bisa membayangkan betapa kaget Teddy menerima pemberitahuan jadi kapolda Jatim itu. Kagetnya orang gembira. Umurnya 51 tahun, masih nututi kalau setelah itu masih akan naik lagi. Tiba-tiba saja seperti ada bintang baru yang akan meramaikan persaingan menuju langit ke-7. Putra dari seorang ayah Madura dan ibu Tionghoa-Muslim Pasuruan itu tinggal menunggu pelantikan. Ibarat pengantin tinggal menuju pelaminan. Setelah menerima telegram pengangkatannya sebagai Kapolda Jatim itu ia belum ke Surabaya. Ibunya memang masih tinggal di Pasuruan tapi Teddy tunggu sekalian dilantik. Pelaminan sudah disiapkan. Tapi terjadilah peristiwa narkoba itu. Ia hampir naik tapi tidak jadi naik. Ia juga tidak ke samping. Ia tidak hanya turun. Ia jatuh. Soal narkoba itu sebenarnya bukan peristiwa baru. Kejadiannya di pertengahan bulan Juni. Empat bulan yang lalu. Yakni ketika kapolresBukittinggi ingin unjuk prestasi. Agar bisa segera naik jadi Komisaris Besar Polisi. Kapolres, Juni lalu itu, menangkap narkoba 41 kg. Sang Kapolres, setelah itu, ternyata dipindahkan ke Polda. Menempati job yang bukan untuk pangkat Kombes. Narkoba tangkapan itu sendiri akhirnya dibakar. Yakni setelah selesai dipergunakan untuk barang bukti penuntutan hukum. Ada upacara pembakarannya. Di depan umum. Mungkin tidak semuanya dibakar. Menurut keterangan Mabes Polri, ada 5 kg yang tidak dimusnahkan. Agar yang dibakar tetap 41 kg dimasukkan tawas sebanyak 5 kg sebagai pengganti. Narkoba 5 kg itulah yang dijual ke sang mami. Tahap pertama sebanyak 2kg. Ada bukti pembicaraan dan WA. Ada aliran uang. Termasuk ke Teddy, sebanyak Rp300 juta dalam bentuk Singapore dolar. Cerita selanjutnya Anda sudah tahu: seorang pengguna narkoba ditangkap petugas Polda Metro Jaya di Jakarta. Ia mengaku mendapatkannya dari pengedar. Pengedar mendapatkannya dari seorang 'mami'. Sang mami mengaku mendapatkannya dari kapolresBukittinggi. Kapolres mengaku atas perintah Teddy. Irjen Pol Teddy Minahasa pun ditangkap. Ia lahir di Minahasa ketika orang tuanya merantau ke sana. Teddy belum bisa membela diri. Demikian juga sang kapolres, yang menurut keterangan Mabes Polri ditemukan sabu 2 kg di rumahnya. Rasanya baru sekarang ini terjadi, jenderal bintang dua polisi ditangkap polisi. Soal narkoba. Dari cerita itu bisa disimpulkan bahwa polisi yang mengungkap perdagangan narkoba ini luar biasa. Hebat sekali. Seperti tidak menghadapi problem ''rantai putus'' yang sering digunakan oleh jaringan narkoba. Kalau benar Teddy akhirnya negatif narkoba maka ia masih menghadapi tuduhan sebagai penyalur narkoba. Itu berdasar pengakuan orang lain. Mungkin ia akan bisa berkelit di soal apakah pengakuan itu benar atau tidak. Yang jelas bintangnya sudah jatuh. Bintang itu begitu tinggi tempatnya. Tapi bisa jatuh secara tiba-tiba. Penyebabnya bisa apa saja. (*)

Sumber: