Bukan Dinasti
Oleh:Dahlan Iskan <strong>GEMPA</strong> juga terjadi di Taiwan. Gempa politik. Partai penguasa kalah telak di Pilkada Sabtu lalu. Pun di kota terpenting Taiwan: Taipei. Bahkan kalah oleh calon independen. Partai penguasa hanya di urutan tiga. Dari 21 Pilkada, Partai Koumintang memenangkan 13 Pilkada. Banyak analis menyimpulkan Taiwan segera bergabung ke Tiongkok. Ada lagi yang bilang di Pilpres dua tahun lagi partainya Tsai Ing-wen pasti kalah. Tentu itu terlalu dangkal. Tidak bisa otomatis begitu. Partai Koumintang memang pro-Tiongkok. Tapi juga bukan anteknya. Pilpres menyangkut isu nasional. Pilkada lebih ke soal lokal. Koumintang dianggap pandai membawa isu lokal di Pilkada barusan. Partai DemokratnyaIng-wen masih mabuk dengan isu nasional. Khususnya soal anti-Tiongkok. Yang menarik, wali kota Taipei yang baru ini anak muda –untuk ukuran di sana: 43 tahun. Termuda di antara 3 calon. Termuda dalam sejarah wali kota Taipei. Waktu kampanye Chiang sering pakai celana jeans. Isu yang dibawa juga soal anak muda: menjadikan Taipei sebagai Silikon Valley. Yang tua-tua juga banyak yang tertarik padanya. Ia cicit pemimpin besar dan pendiri Taiwan: Chiang Kai-sek. Yakni jenderal yang lari ke pulau Taiwan setelah terpojok oleh revolusi Mao Zedong di tahun 1949. Nama wali kota baru itu: Chiang Wan-an (蔣萬安). Chiang selama ini sudah menjadi anggota DPR. Ia seorang lawyer. Lulusan Pennsylvania University Amerika. Gelombang kemenangan Koumintang seperti sekarang. Ini pernah terjadi di Pilkada 2018. Bintang Koumintang saat itu: Han Kuo-yu. Ia terpilih sebagai walikota Kaoshiong, kota terbesar kedua di Taiwan. Ia antitesis Tsai Ing-wen. Namanya jadi idola di seluruh Taiwan. Dua tahun kemudian ia pun tampil sebagai calon presiden: penantang berat Ing-wen. Meledaklah gelombang demo pro-demokrasi di Hong Kong. Setahun penuh. Kian besar. DPR Hong Kong berhasil diduduki. Satu universitas jadi benteng pertahanan melawan polisi. Simpati ke gerakan demokrasi itu datang dari berbagai penjuru dunia. Termasuk dari Taiwan. Isu Hong Kong jadi topik harian di Taiwan. Kekhawatiran Taiwan akan direpresi seperti Hong Kong sangat tinggi. Pilpres Taiwan tahun 2020 dilakukan di saat emosi orang Taiwan mendukung gerakan di Hong Kong. Nama Ing-wen yang sempat redup bersinar kembali. Han kalah telak. Bintang Han begitu cepat jatuh oleh apa yang terjadi di Hong Kong. Kini soal Hong Kong sudah reda. Gerakan pro-demokrasi kalah. Gerakan itu dicoba dinaikkan di Taiwan. Tiongkok bereaksi keras. Ancaman militer Tiongkok begitu nyata. Partai Demokrat terus membawa isu itu. Sampai pun terjadi heboh kunjungan tengah malam Nancy Pelosi, ketua DPR Amerika, saat itu. Banyak walikota dari Partai Demokrat sudah dua periode. Di kota-kota itu calonnya baru. Mereka harus bersaing dengan calon dari Koumintang yang membawa isu sangat lokal: layanan ke masyarakat. Koumintang pernah punya isu besar nasional: mengajukan RUU perdagangan bebas dengan Tiongkok. Isu ini tidak pernah lagi disinggung. Penolakannya terlalu besar. Saat RUU itu diajukan, suku demo yang meledak terlalu besar. Pun sampai gedung DPR Taiwan diduduki demonstran. Menurut Koumintang, dengan perdagangan bebas itu, maka soal ketegangan dengan Tiongkok akan selesai. Tanpa saling klaim. Toh sudah seperti Kanada dengan Amerika. Atau seperti Uni Eropa. Tapi ide itu dianggap berlebihan: jalan pintas menuju penyatuan. Sebenarnya di Pilpres tahun 2020 itu hampir pasti Han yang akan menang. Nasibnya saja yang belum ada: ada gempa politik di Hong Kong, guncangannya lebih keras di Taiwan. Ke depan orang akan melihat kiprah Chiang muda sebagai walikota Taipei. Kalau saja setahun ke depan Chiang sangat mengesankan, bisa jadi ia akan mencalonkan diri di Pilpres 2024. Maka kembali Taiwan ke tangan Koumintang. Anak Chiang Kai-shek masih jadi presiden Taiwan: Chiang Ching-kuo. Tapi cucu Chiang Kai-shek sudah tidak mewarisi jabatan politik tertinggi lagi. Jadilah Taiwan negara non-dinasti. Chiang Ching-kuo tidak mau mewariskan jabatan presiden ke anaknya. Ia menunjuk Lee Teng-hui menjadi presiden pertama Taiwan yang lahir di Taiwan. Lee akhirnya menyatakan pemerintahan otoriter diakhiri. Ia maju dalam pemilihan presiden pertama secara langsung: menang. Lee Teng-hui, juga dari Koumintang, dikenang sejarah sebagai bapak demokrasi Taiwan. Barulah di zaman cicitnya ini ada keturunan Chiang Kai-shek yang masuk politik lagi. Tapi sudah bukan sebagai pewaris dinasti. Chiang Wan-an harus membawa namanya sendiri. Apalagi ia cucu dari jalur istri selir. Yang karena itu ayahnya dulu tidak mau pakai marga Chiang. Baru belakangan marga itu dipakai lagi. Tanggal 1 Desember lusa Taiwan sudah menyatakan bebas masker untuk di luar ruang. Tentu kabar ini meluas juga sampai ke daratan Tiongkok. Itu semakin membuat rakyat Tiongkok geram: sampai kapan kebijaksanaan Zero Covid dipertahankan oleh penguasa daratan. Demo pun pecah di banyak kota, termasuk Shanghai. Tapi kebijakan Zero Covid tidak berubah. Chiang Wan-an menjadi bintang baru di Taiwan. Tanpa ada kekhawatiran membangun dinasti baru. (*)
Sumber: