Neraka Akuntan

Neraka Akuntan

<strong>Oleh: Dahlan Iskan </strong> <strong>LANGSUNG SEPI</strong>. Membosankan. Seperti sebuah novel kering. Hanya akuntan yang mampu dengan asyik membaca novel tanpa adegan pembunuhan, perselingkuhan, dan saling tipu. Maka sidang di minggu kedua pengadilan New York ini tidak lagi menarik bagi media. Tidak ada lagi pemegang peran penting di ''novel'' persidangan itu: Donald Trump. Mantan presiden itu hanya sampai hari ketiga hadir di ruang sidang. Padahal itu sidang untuk mengadili dirinya, anak sulungnya, anak bungsunya dan semua perusahaannya yang ada di New York. Ibarat novel kering karena yang dibicarakan di sidang hanya angka, angka dan angka. Kalau pun ada selingan, wujudnya pasal, pasal dan pasal. Hanya akuntan yang tahan membicarakan soal-soal seperti itu berhari-hari. Maka akuntan adalah orang akan masuk surga duluan. Ada prinsip dalam agama: semua orang beriman akan masuk surga. Tapi umumnya harus masuk ke neraka dulu, menghabiskan hukuman sesuai dengan dosanya. Ada yang di nerakanya sebentar. Ada yang sangat lama. ''Akuntan langsung masuk surga karena sudah terlalu lama di neraka. Sejak masih muda di dunia''. Akuntan itu harus hafal kitab suci mereka: GAAP. Tebalnya tidak kalah dengan Al Qur'an atau Bibel. Ayatnya juga lebih banyak. Termasuk ayat-ayat turunannya. Di zaman internet ini sudah jarang yang mau membeli buku aturan akuntan itu –lalu menyimpannya di rak buku dekat meja kerjanya. Kitab suci itu sudah tersimpan rapi di cloud. Kapan saja bisa diakses. Tinggal klik. Scroll. Tidak ada debunya. Tidak akan membuat Anda terbatuk karena membuka buku yang jarang dibuka. Klik dan scroll begitu mudah. Saking mudahnya untuk apa mengkliknya. Apalagi men-scroll-nya. Bisa berjam-jam harus menatap layar. Lebih sulit lagi kalau hanya mengandalkan layar HP. Tapi sidang pengadilan itu tetap mengasyikkan. Bagi akuntan. Toh literatur dokter juga membosankan. Bagaimana seorang dokter bisa hafal istilah dalam anatomi tubuh, istilah kimia, nama-nama obat, dan jenis-jenis penyakit. Bedanya, ketika dokter mempraktikkannya bisa asyik. Yang dihadapi adalah benda hidup –manusia seperti Anda. Alat-alat dokter pun seperti mainan mahal. Bandingkan dengan akuntan. Literaturnya membosankan. Mengerjakannya pun tidak ada unsur hiburannya. Alat-alatnya pun itu-itu saja: kalkulator. Jangan-jangan permainan dalam akuntansi itu sebenarnya hanya pelarian saja. Agar tidak bosan. Agar ada unsur permainannya. Agar tidak bosan. Lalu main-main. Agar asyik. Maka jadilah apartemen yang ditempati Trump di Trump Tower, dekat Central Park, Manhattan, dibukukan dengan harga 10 kali lipat dari harga normal. Pun rumah tinggalnya sekarang. Di Palm Beach Florida. Mar-a-Lago. Menurut jaksa New York, markup yang dilakukan Trump bisa mendapatkan uang sampai sekitar Rp 50 triliun. Kitab suci GAAP melarang praktik seperti itu. Juga melarang bohong. Tidak jujur. Salah ketik angka. Atau menyembunyikannya. Tapi Trump merasa tidak bohong. Tetap jujur. Tidak curang. Ia punya alasan. Orang lain juga menggunakan alasan yang sama. Atau mirip. Harga 10 kali lipat itu, kata Trump, bukan kecurangan. Harga adalah relatif. Nama besar bisa mengubah harga. Trump percaya itu. Apartemen yang ia tempati punya nilai lebih tinggi karena ada nama besar yang menempatinya. Donald Trump. Kian besar nama itu kian mahal nilainya. Nama adalah merek. Dalam akuntansi merek termasuk aset. Aset bernilai. Tinggi rendahnya nilai ditentukan oleh besar-kecilnya merek. Nama besar. Siapa yang menentukan nilai itu? Dalam hal Trump, ia sendiri. Ia tahu namanya besar. Anda sudah tahu: ia pandai dalam membesarkan nama. Maka ke depan lembaga penilai merek dan nama besar kian penting. Pasar modal penuh dengan permainan nilai perusahaan seperti itu. Di Madura, di pantai, banyak terlihat ladang garam. Lalu harus dibangun gudang untuk menyimpan garam. Seadanya. Seperti tidak bernilai. Tapi ketika Gudang Garam jadi merek, nilainya menjadi beda. Citranya juga tidak lagi sama. Pun di kotak rias istri Anda. Banyak jarum di situ. Berserakan. Kurang bernilai. Tapi ketika jarum menjadi Djarum berubahlah nilai dan citranya. Maka saya ikut berdoa dalam mengikuti persidangan Trump ini: lahirnya yurisprudensi. Bagaimana menetapkan harga sebuah nilai. Lalu bagaimana nilai sebuah harga. (<strong>Dahlan Iskan</strong>)

Sumber: