Besek Wadas
<!-- wp:paragraph --> <p><em>Oleh : Dahlan Iskan</em></p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p><strong>Diswaysulsel.com</strong> - Desa ini sunyi dan sepi. Letaknya yang di pegunungan menambahnya teduh dan damai. Memasuki batas desa ini tidak terlihat ada manusia.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di jalan maupun di sepanjang mata bisa memandang: yang terlihat hanya rimbunan pohon bambu, tebing, jurang dan bukit.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sampai di persimpangan jalan kecil itu tiba-tiba terbaca tulisan tangan merah berukuran mencolok: Wadas Menolak.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Itu di pojok kiri. Di pojok kanan ada lebih banyak tulisan. Semua bernada perlawanan. Di pojok sebelahnya lagi ada gardu dari bambu. Ada gambar besar Gus Dur di situ.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dilengkapi kalimat yang pernah diucapkan mantan Ketua Umum PBNU dan Presiden ke-4 RI itu: tujuan politik tertinggi adalah untuk kemanusiaan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya cukup lama berhenti di simpang empat ini. Tidak ada orang lewat. Rupanya Desa Wadas merupakan desa terakhir di jalan itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di belakangnya sana sudah gunung batu. Seluruh jalan di desa ini berada di antara tebing dan jurang. Tebingnya tidak tinggi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Jurangnya tidak dalam. Tebingnya penuh tanaman. Jurangnya juga penuh tanaman.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ada sengon, jati, durian, rambutan, dan terutama bambu apus. Tidak ada satu jenis tanaman yang dominan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Jarak antarrumah di Desa Wadas berjauhan. Hanya satu dua yang bersebelahan. Itu yang ikut membuat suasana yang sunyi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya pun melewati satu toko. Tidak jauh dari situ ada masjid. Itulah Masjid Winong.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ke halaman masjid inilah Gubernur Ganjar Pranowo datang kali pertama: menemui penduduk yang pro penambangan batu di Desa Wadas. Itu tanggal 9 Februari 2022.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya terus ke arah gunung batu. Terlihat ada masjid yang lebih besar: Masjid Krajan. Ada tiga anak muda keluar dari masjid itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mobil saya pun masuk ke halaman masjid. Saya hentikan langkah tiga anak muda itu. Ia berjalan beriringan meninggalkan masjid sambil membawa baju lusuh.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Mau ke mana?” tanya saya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Mau ke sungai, cuci baju,” kata salah satu dari mereka.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Lalu muncul beberapa orang lagi. Pemilik rumah di depan masjid itu juga muncul. Itulah Kiai Nur yang sejak dua minggu lalu menggantikan Kiai Syamsu Bahri yang meninggal dunia.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya abaikan sebentar Kiai Nur –khawatir tiga anak muda itu berlalu. “Saya mau ikut kalian ke sungai. Ingin lihat kalian mencuci baju,” kata saya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Yang sebenarnya: saya ingin lebih banyak bicara dengan mereka.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Karena Pak Dahlan mau ikut, baiknya lewat sana saja. Lebih mudah,” ujar Kiai Nur.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mereka pun balik badan –menuju jalan sempit di sebelah masjid. Kiai Nur ternyata ikut juga.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ada jembatan kecil di ujung gang sempit itu. Jembatan itu hanya selembar 1 meter tapi terlihat kukuh. Melengkung melintasi Sungai Juweh.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Airnya agak keruh karena memang lagi musim hujan. Batu-batunya tidak banyak –mungkin sudah diambili untuk bangunan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ke sungai itulah tiga anak muda tadi turun. Di situ pula mereka akan mencuci baju dan celana. Juga sekalian mandi pagi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Itu belum jam 08.00 Senin pagi kemarin –dua jam setelah saya berangkat dari Kaliurang, Yogyakarta. Rupanya itulah waktu para petani ke ladang atau ke sawah. Makanya sepi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya ngobrol dengan Kiai Nur di atas jembatan itu. Sambil sesekali melirik ke bawah, ke mereka yang mencuci baju. Lalu datang menyusul seorang muda lain.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Lahir di sini?” tanya saya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Tidak. Saya lahir di Jogja. Saya pengacara penduduk di sini, ujar Ashadi Eko.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ia lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Saya adik angkatan Pak Ganjar,” katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kami bergegas meninggalkan jembatan itu. Sudah saatnya tiga pemuda tersebut bertelanjang mandi di sungai.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mereka itu adalah pengurus pusat PMII –organisasi mahasiswa NU. Yakni dari bagian advokasi. Satu berasal dari Tual (Maluku), satu lagi dari Pamekasan, dan yang ketiga dari Situbondo.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mereka mendampingi warga yang merasa tertekan sejak peristiwa 8 Februari 2022. Kini keadaan sudah cair. Mereka segera balik ke Jakarta.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sungai Juweh inilah yang memisahkan pedukuhan sebelah sini dan pedukuhan di sebelah sana. Beda posisi beda sikap. Yang sebelah sini banyak yang setuju penambangan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Mereka kurang terdampak,” ujar Kiai Nur.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Awas, Pak, licin,” ujar Ashadi ketika saya akan menuruni jembatan. Istri saya menunggu di mobil, atau ngobrol dengan Bu Nyai di depan masjid. Ashadi sudah beberapa hari terakhir tinggal di Wadas.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Saya memerlukan surat kuasa dari mereka,” kata Ashadi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Yang dimaksud ”mereka” bukanlah rakyat yang menolak penambangan batu di situ.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Ini khusus surat kuasa dari yang pernah ditahan, ditekan, dan di…,” katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Mungkin hanya 15 orang. Itulah yang masih bisa dilakukan visum. Sudah keburu lewat beberapa hari,” katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Besok Ashadi ke Jakarta. Ke Mabes Polri.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Saya akan sampaikan kronologi peristiwa Wadas yang sebenarnya,” ujar Ashadi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Seberapa tebal laporan itu?”</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Tipis sekali. Hanya beberapa halaman. Mungkin hanya 4 halaman,” jawabnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Seberapa beda dengan laporan kronologi yang dibuat Kiai Imam Aziz dari Tim Gusdurian?”</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Saya belum membaca laporan Kiai Imam. Tapi ini hanya khusus yang mengalami peristiwa secara fisik,” jawabnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Anda juga warga NU?” tanya saya ke Ashadi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Iya. Saya nunut udut,” kelakarnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>NU memang biasa dipelesetkan dengan nunut udut (ndompleng ikut merokok) lantaran banyak orang NU yang perokok berat.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya terus menelusuri jalan desa ini. Saya lihat banyak yang menjemur irisan bambu ukuran tipis-tipis di teras rumah.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Itulah bahan baku untuk membuat besek –kotak terbuat dari anyaman bambu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Hampir semua wanita di Desa Wadas jadi perajin besek. Bahan baku melimpah: bambu apus. Yang bisa diiris-iris sampai setipis kain.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ada mobil pikap yang mengumpulkan besek yang sudah siap jual: satu pasang besek Rp 1.700 (wadah dan tutupnya).</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Begitu murah harganya –membuat mereka bertahan menghadapi besek modern berbahan dari plastik.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sampailah saya ke sebuah rumah di pinggir parit. Dinding depannya penuh gambar dan tulisan. Pun di dinding sampingnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya lihat seperti ada tulisan yang berbentuk puisi. Maka saya baca tulisan itu, dengan gaya seorang penyair amatiran. Lihat videonya di IG saya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Setelah itu saya duduk di badug parit sebelah rumah. Ngobrol dengan warga di sekitar parit.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Mana gunung batunya?”</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Itu, di belakang rumah puisi itu,” jawab salah satu dari mereka.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mereka menyebut jarak gunung batu dengan rumah puisi tersebut hanya 20 meter. Rasanya lebih sedikit.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya disuguhi buah-buahan hasil pekarangan: rambutan dan kepel. Rambutannya manis. Kepelnya seperti kesemek.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Waktu kecil saya tidak pernah mau makan kepel di halaman rumah kakek buyut di pesantren Takeran. Kemarin saya memakannya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mata saya pun tertatap pada bibit-bibit pohon buah. Aneka pohon. Dijejer di pinggir jalan. Banyak juga bibit durian.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Itu bibit durian apa saja?”</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Ada bawor, ada yang tidak berbiji,” jawab petani itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Hah? Tidak berbiji?”</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Ada. Tapi bijinya kempeng tipis,” katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Berapa harganya?”</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Bapak ambil saja. Semua. Gak usah bayar,” pintanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya pun mengambil empat. Yang tidak berbiji itu. Istri saya lebih cekatan menangkap sinyal. Ia slempitkan sesuatu di sakunya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Apakah hari itu Anda tidak takut?” tanya saya mengenai hari yang mencekam itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Takut sekali. Saya lari ke bukit,” jawabnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di bukit itu ada sebuah rumah bambu. Isinya orang tua, wanita, yang lagi sakit. Ia langsung tidur di sebelah nenek yang lagi sakit itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tak lama kemudian datang petugas mengetuk pintu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Kami lagi menunggu orang sakit,” jawab petani itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Si petugas, katanya, mengintip dari lubang dinding bambu. Lalu pergi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sampai jam lima sore ia di ranjang nenek sakit itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Lapar sekali, tapi saya tahan,” katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Pukul 17.00 keadaan baru tenang. Ia pulang.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Nenek itu sampai sekarang masih sakit?”</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Masih. Memang sudah tua sekali,” jawabnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya sebenarnya ingin berhenti di tiap rumah. Menikmati kata-kata, gambar-gambar, dan komik yang kritis nan jenaka.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tapi saya harus pulang. Saya hanya mampir ke sini. Saya ingin pulang lewat Selo –selangkangan dua Mer itu, Merapi dan Merbabu. Dulu, ada selangkangan satu Mer lagi: Anda sudah tahu. Saya pun pamit ke kiai Nur.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Bisa dapat nomor telepon?” tanya saya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Hemmmm…”, gumamnya sambil seperti meraba-raba sarungnya. “Handphone saya disita…,” katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ia pun bercerita. Di hari yang mencekam itu ia pilih tinggal di masjid. Bersama lebih 100 orang. Mereka mujahadah –berzikir sepanjang hari. Dengan begitu mereka tidak akan ditangkap.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Yang keluar masjid untuk wudu saja ditangkap,” katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kiai Nur terhindar, tapi HP-nya belum kembali. Hanya saja anak lelakinya yang sempat dibawa petugas.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Satu hari satu malam. Ia, kata sang bapak, sial saja. Ia sebenarnya lagi mondok di Pondok Lirboyo Kediri. Umurnya 25 tahun.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Hari itu anak saya pulang ke Wadas karena kakak saya, Kiai Syamsu meninggal dunia,” kata kiai Nur.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kini sang anak sudah kembali ke Lirboyo. Menurut Kiai Nur, penduduk dukuhnya itu memang mayoritas NU.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ada spanduk besar bergambar pendiri NU KH Hasyim Asy’ari, di simpang jalan dekat masjid. Tiga hari setelah ke ”masjid pro’,’ Gubernur Ganjar datang ke masjid Krajan ini.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kiai Nur sendiri dulu belajar di Pondok Pesantren Raudlatut Tholabah, di utara Genteng, antara Banyuwangi dan Jember. Demikian juga saudara-saudaranya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Kalau tidak bisa ambil batu dari Wadas, proyek bendungan Bener bisa dapat dari mana?” tanya saya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Saya dengar yang sudah diteliti amdalnya ada empat lokasi. Jadi ada pilihan lain,” ujar Kiai Nur.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ia menceritakan, mempertahankan gunung itu sudah wasiat dari leluhur. “Sejak zaman Belanda sudah ada niat menambang sesuatu di sini. Entah ada apa di dalamnya,” ujarnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Kami menolak. Ini sumber kehidupan kami,” katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Bahkan Kiai Nur juga menyebut soal harga diri. Ini yang saya belum bisa menggali –harga diri seperti apa.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Terkait dengan Perang Diponegoro? Yang pengikutnya banyak lari ke sini? Atau terkait dengan kemandirian penduduk desa ini yang tidak bisa disebut miskin?</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Di samping pohon kepel, di sini ada pohon sawo kecik?” tanya saya soal penanda pengikut Diponegoro.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Dulu ada. Sudah mati,” jawabnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Nama Wadas sendiri berarti wadah satria,” ujarnya. Di Jawa orang memang pintar memaknai apa saja. Atau memang begitu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ashari menyebut Bendungan Bener perlu batu 8,5 juta m3. Tapi cadangan batu di Wadas 40 juta m3. Angka itu juga jadi persoalan. Dengan tafsirnya sendiri-sendiri.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sambil pulang saya lihat mulai ada yang lalu-lalang di desa ini. Hari sudah siang. Enam wanita terlihat bergerombol di depan sebuah toko.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mobil saya berhenti di situ. Ada mobil pikap dari arah berlawanan. Mobil itu penuh berisi besek. Salah satu harus berhenti dan minggir.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Ibu bisa bikin besek berapa setiap hari?” tanya saya kepada siapa saja di kumpulan itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>“Saya bisa bikin 20 buah,” ujar seorang wanita. Berarti Rp 35.000/hari. Wanitanya saja.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sambil meninggalkan Desa Wadas saya pun tersenyum dalam hati: kok saya bisa sampai di sini ya?</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kadang untuk merespons satu komentar di Disway bisa menghabiskan bensin Rp 1 juta. (disway)</p> <!-- /wp:paragraph -->
Sumber: