Advokasi Pekerja Migran Melalui Pengabdian Masyarakat Internasional
<strong>Oleh: </strong><strong>Koesrianti, Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Airlangga.</strong> KEBIJAKAN tentang tenaga migran sering kali menjadi dilema bagi pemerintah Indonesia. Di satu sisi, mereka memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia melalui remitansi yang mereka kirimkan. Di sisi lain, para pekerja migran Indonesia (PMI) juga harus menghadapi berbagai tantangan seperti pelanggaran hak, kondisi kerja yang tidak layak, serta kesulitan dalam mengakses informasi dan layanan yang mendukung kesejahteraan mereka. Salah satu isu yang krusial terkait PMI adalah perlindungan hak-hak tenaga kerja migran. Banyak di antara mereka yang mengalami perlakuan tidak adil. Mulai penipuan, kekerasan fisik dan mental, hingga kurangnya akses terhadap keadilan. Perlindungan hak-hak itu menjadi lebih penting dalam konteks tenaga kerja migran perempuan yang sering kali mengalami diskriminasi ganda, baik sebagai pekerja maupun sebagai perempuan. Pekerja migran merupakan kelompok yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Mereka acap kali bekerja di sektor informal dengan kondisi kerja yang tidak menentu dan tanpa perlindungan hukum yang memadai. Di beberapa negara, pekerja migran bahkan tidak memiliki akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan sosial. Kondisi itu menuntut adanya upaya advokasi yang kuat untuk memastikan hak-hak pekerja migran diakui dan dihormati serta adanya mekanisme perlindungan yang efektif. Kesejahteraan tenaga kerja migran juga harus menjadi perhatian. Kondisi kerja yang tidak layak, upah yang rendah, serta kurangnya akses terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan merupakan beberapa masalah yang sering dihadapi. Kesejahteraan yang terabaikan itu tidak hanya berdampak pada kehidupan pribadi tenaga kerja migran, tetapi juga pada keluarga dan komunitas mereka. Kesejahteraan pekerja migran tidak hanya mencakup aspek ekonomi, tetapi juga mencakup aspek psikologis dan sosial. Pekerja migran sering menghadapi tekanan mental akibat perpisahan dari keluarga, budaya yang berbeda, dan kondisi kerja yang berat. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja migran harus mencakup penyediaan dukungan sosial dan psikologis serta akses ke layanan kesehatan yang komprehensif. Di era digital saat ini, literasi digital menjadi keterampilan yang sangat penting. Akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi dapat memberdayakan tenaga kerja migran dalam berbagai cara. Mulai mengakses informasi penting terkait hak-hak mereka hingga menghubungi keluarga di kampung halaman. Literasi digital juga dapat membuka peluang untuk pendidikan dan pelatihan yang dapat meningkatkan keterampilan dan daya saing tenaga kerja migran. Teknologi digital membawa peluang baru bagi pemberdayaan pekerja migran. Literasi digital dapat membantu pekerja migran untuk mengakses informasi mengenai hak-hak mereka, mendapatkan layanan keuangan, dan terhubung dengan keluarga di tanah air. Namun, banyak pekerja migran yang masih memiliki keterbatasan dalam mengakses dan memanfaatkan teknologi digital. Karena itu, peningkatan literasi digital menjadi bagian penting dalam upaya pemberdayaan pekerja migran. Untuk mengatasi berbagai isu tersebut, diperlukan upaya advokasi yang efektif dan berkelanjutan. Advokasi yang berfokus pada pemberdayaan tenaga kerja migran melalui perlindungan hak, peningkatan kesejahteraan, dan literasi digital menjadi sangat relevan untuk memastikan bahwa para PMI bisa hidup sejahtera di kemudian hari. Advokasi dapat berperan dalam memperjuangkan hak-hak pekerja migran di tingkat nasional dan internasional. Pun, mendorong perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan pekerja migran. Pemberdayaan pekerja migran melalui pelatihan keterampilan, peningkatan literasi digital, dan penyediaan akses terhadap layanan dasar adalah langkah-langkah konkret yang perlu diambil. GELAR PENGABDIAN MASYARAKAT INTERNASIONAL Upaya memberikan perlindungan hak, peningkatan kesejahteraan, dan literasi digital bagi PMI itu coba dilakukan Universitas Airlangga yang kini fokus pada kebermanfaatan bagi masyarakat. Salah satunya adalah melalui pengabdian masyarakat. Karena para pekerja migran berada di luar negeri, Unair menggelar pengabdian masyarakat internasional, bekerja sama dengan Universiti Teknologi Malaysia (UTM) di Johor Malaysia. Kolaborasi dengan UTM untuk menggelar community development itu sudah berlangsung dua tahun. Dalam pengabdian masyarakat tersebut, para dosen Unair dan UTM berusaha menggali kebutuhan masyarakat untuk dicarikan solusi bersama. Salah satunya adalah advokasi pekerja migran Indonesia itu di sekitar Johor, Malaysia, yang digelar Mei lalu. Tahun lalu program yang diangkat adalah obat herbal. Di Unair, program pengabdian masyarakat itu merupakan rangkaian kegiatan World University Association for Community Development (WUACD). Lembaga tersebut didirikan pada 2018 oleh Unair bersama 16 universitas dari berbagai negara seperti Australia, Amerika Serikat, Malaysia, Thailand, Taiwan, Turkiye, Mesir, Bangladesh, dan Kamboja. Kini anggota WUACD ada 41 universitas. Di antaranya adalah kampus-kampus papan atas seperti The University of Western Australia, Notre Dum University, dan Griffith University. Dari Asia Tenggara, ada Prince of Songkla Thailand dan kampus-kampus terbaik di Malaysia seperti Universiti Malaya dan Universiti Teknologi Malaysia. Pada pengabdian masyarakat itu, selain peningkatan literasi digital dan sosialisasi tentang hak-hak PMI, Unair fokus pada masalah PMI ilegal dan anak-anaknya. Sebab, selain jumlahnya yang sangat besar, PMI dan anak-anak tak berdokumen itu akan menjadi persoalan serius di masa depan. Konjen RI di Johor memperkirakan jumlah mereka mencapai ratusan ribu. Meski, tidak ada data yang pasti tentang jumlah PMI ilegal tersebut. Paling tidak, itu bisa dideteksi dari jumlah orang Indonesia yang masuk dan tidak keluar sebagaimana mestinya. Tahun 2022, misalnya, ada 628 ribu warga negara Indonesia (WNI) yang masuk melalui Johor dan sekitarnya. Yang keluar hingga batas izin tinggal hanya 414 ribu. Artinya, sekitar 214 ribu WNI berpotensi menjadi PMI ilegal (Disway, Mei 2024). Itu salah satunya karena di wilayah kerja Konjen Johor yang cukup terbuka. Banyak pelabuhan kecil yang menjadi tempat tujuan PMI ilegal dari Indonesia. PMI dengan status pekerja gelap itu menyulitkan posisi PMI itu sendiri. Sebab, hampir tidak ada perlindungan hukum. Selain permasalahan tersebut, masih ada permasalahan lainnya. Misalnya, gaji yang tidak dibayar, perlakuan buruk, dan pengeksploitasian. Itu permasalahan PMI-nya sendiri. Ada permasalahan PMI yang tidak kalah peliknya. Yaitu, keluarga PMI, anak-anak dari PMI yang ilegal itu. Anak-anak tersebut tidak dapat bersekolah di sekolah resmi Malaysia karena mereka tidak berdokumen. Itu akibat dari status orang tua mereka. Jumlah anak-anak tersebut ribuan, tersebar di beberapa daerah. Sementara ini ada yang menampung, sekolah ”tidak resmi” yang diadakan orang Indonesia karena alasan kemanusiaan dan hak pendidikan anak, yaitu semacam sanggar belajar. Permasalahan anak-anak PMI itu mendesak dicarikan solusi. Apalagi, jika usia mereka memasuki 18 tahun, mereka bisa ditangkap dan dihukum sebelum dideportasi. Solusi yang bisa ditawarkan adalah memberikan beasiswa agar anak-anak PMI ilegal itu bisa sekolah di Indonesia. Pemerintah harus turun tangan menyelamatkan mereka agar kelak tidak menjadi masalah di luar negeri. Selain itu, solusi preventif adalah melakukan sosialisasi dan penyuluhan langsung ke kantong-kantong TKI di Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Selain itu, sosialisasi bisa dilakukan melalui sosial media. Selama ini, banyak penawaran menjadi PMI ilegal melalui medsos seperti Instagram dan Facebook. Itu harus ditandingi dengan sosialisasi bahaya menjadi PMI ilegal melalui berbagai platform media sosial. Upaya melindungi PMI di luar negeri dan memastikan kesejahteraan mereka dan keluarganya di masa depan ini tidak mudah. Perlu upaya yang konsisten dan dukungan pemerintah dan para stakeholder agar hal itu bisa dicapai. Sebab, selain mereka adalah warga negara yang harus dilindungi, mereka juga memiliki kontribusi terhadap perekonomian Indonesia yang sangat besar. (*)
Sumber: